View Full Version
Selasa, 19 Jan 2016

Kriminalisasi Guru Atas Nama Perlindungan Anak

Sahabat VOA-Islam...

Edan benar, zaman sekarang. Semuanya serba terbalik, yang salah jadi baik sedangkan yang baik jadi salah. Seorang guru disebuah Pondok Pesantren di Tulungagung, terancam akan dilaporkan oleh orang tua santri ke pihak berwajib. Dikarenakan memberi hukuman kepada anaknya dengan cara menggunduli rambutnya.

Hukuman diberikan karena santri tersebut kedapatan pacaran di area pondok. Merasa tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu, orang tua wali santri tersebut menuntut pihak sekolahan ke jalur hukum atau  memberi ganti rugi sebesar Rp 6.000.000,00.

Kita mungkin masih ingat kasus yang menimpa Aop Saupudin, guru honorer di SDN V Panjalin Kidul, Majalengka diseret ke pengadilan dan mendapat hukuman tiga bulan penjara. Gara-gara mencukur rambut siswanya, ia dikenai pasal tentang perbuatan tidak menyenangkan

Nasib lebih tragis diterima salah satu guru di Tanjung Dereb, ia harus memilih diberi denda 20 juta atau tahanan 1 bulan karena mencubit salah seorang muridnya yang kedapatan menyembunyikan sandal milik temannya

Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam proses mencerdaskan bangsa. Sebagaimana tertuang dalam UU no 14 tahun 2005 menjelaskan tentang guru dan dosen adalah pendidik profesional dengan tugas utamanya mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini melalui jalur formal pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Sehingga kewajiban seorang gurulah untuk mengarahkan para siswanya menjadi manusia yang beriman dan bertakwa.  Sebagaimana tertuang dalam UU no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. Pasal 3 Bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri.......”

Hanya saja peran guru tersebut tidak bisa maksimal terlaksana sebagaimana kondisi sekarang. Karena terbentur dengan banyak hal. Salah satunya adalah dengan UU Perlindungan anak.

 

UU perlindungan anak, benarkah melindungi anak?

UU perlindungan anak memang mempunyai niatan baik, sebagai upaya melindungi anak dari kekerasan. Tetapi ketika prinsip dasar yang dipakai adalah liberalisme maka tidak akan sesuai dengan sifat alamiah manusia. Pasal 2 tentang perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi. Definisi yang dipakai seperti kekerasan, diskriminatif adalah definisi yang akhirnya membuat kacau proses pendidikan itu sendiri. Karena definisi yang longgar dan tidak jelas batasannya.

Sekedar menjewer, mencubit atau membentak maka seorang guru sudah terkena pasal perbuatan tidak menyenangkan atau sudah melakukan kekerasan pada anak. Apalagi yang dimaksud anak dalam UU PA tersebut adalah usia 18 tahun ke bawah. Padahal di dalam Islam jelas anak usia 10 tahun kita boleh memukulnya jika dia tidak mau melakukan kewajiban sebagai seorang muslim. Misalnya sholat, menuntut ilmu atau kewajiban yang lain. Tentu saja pukulan yang dibolehkan adalah pukulan yang tidak membekas. Karena fitrahnya anak belum bisa membedakan antara yang baik dan buruk sehingga memerlukan pendampingan dan arahan dari orang tua, guru dan masyarakatnya

Islam mengatur dengan jelas apa sajakah fungsi guru. Pertama, adalah  pembentukan kepribadian Islam sebagaimana tujuan penciptaan manusia. Yakni untuk menaati perintah dan larangan Allah. Sehingga guru tidak boleh mengajarkan apa saja yang bertentangan dengan Islam. Kedua, guru menjadi teladan atas muridnya. Dari sini mencegah guru-guru yang melakukan perbuatan tidak baik. Standar baik dan tidak baik adalah halal dan haram. Dan ketiga, guru mengajarkan anak tentang keahlian yang dibutuhkan dalam kehidupan.

Segala hal diatas bisa dilakukan oleh seorang guru jika guru ditopang dengan seperangkat aturan yang jelas. Salah satunya adalah keberadaan sistem yang menjamin semua orientasi yang dibangun berdasarkan ketakwaan kepada Allah. Berbeda dengan kondisi sekarang, guru menjadi terbatas dan takut akan ancaman pidana jika melakukan tindakan disiplin kepada muridnya. Dalam sistem Islam guru tidak bisa melakukan sesuatu yang melebihi kapasitasnya sebagai seorang guru, karena terdapat sistem sanksi, qisos, uqubat dsb. Sudah jelas aturannya dalam Islam.

Banyaknya masalah menunjukkan kegagalan dari sistem yang sekarang. Perundang-undangan yang tumpang tindih tidak jelas, sehingga mau dibawa kemana masyarakat ini juga tidak jelas. Jalan terakhir adalah kembali kepada sistem Islam yang didalamnya terdapat aturan yang komprehensif dan manusiawi. Sistem Islam dibangun atas ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan aturan yang tegak berdasarkan Al Quran dan Sunah. Saatnya para guru memperjuangkan tegaknya sistem Islam. [syahid/voa-islam.com]

Penulis: Heni Satika (Pendidik di SD Alam Mutiara Umat Tulungagung-Jatim)


latestnews

View Full Version