View Full Version
Selasa, 19 Jan 2016

Fenomena Spirit Beragama dalam Nuansa Sekulerisme

Oleh: Febianty B.P.S, S. Pi*

Sahabat VOA-Islam...

Beberapa waktu yang lalu, Bupati Batang Yoyok Riyo Sudibyo mengeluarkan surat edaran yang berisi imbauan melaksanakan shalat berjamaah lima waktu di masjid.

Surat edaran bernomor 800/SE/2045/2015 ini ditujukan untuk Aparat Sipil Negara (ASN), kepala dinas, dan seluruh jajaran satuan perangkat kerja daerah dan TNI/Polri. Tak terkecuali untuk lingkungan perusahaan swasta, sekolah, madrasah, pondok pesantren, rumah sakit, dan berbagai komunitas profesi yang ada di daerahnya.

Dalam surat edaran tertanggal 28 Desember 2015 tersebut, juga dihimbau agar semua elemen menghentikan seluruh kegiatan saat adzan berkumandang dan segera melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah di masjid terdekat. (VIVA.co.id).

Selain Bupati Batang, Gubernur NTB, M Zainul Majdi (2 November 2015) dan Kapolda Sumsel, Irjan Pol. Prof. Dr. Iza Fadri (yang sekarang sudah dimutasi ke MABES POLRI), juga menebitkan himbauan serupa. Hal ini banyak diapresiasi positif oleh masyarakat karena ini juga merupakan sebuah inovasi yang diharapkan akan membawa dampak positif, misalnya meningkatkan dispilin kerja dan lain sebagainya.

Namun ada juga pihak yang kontra, sebut saja Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLsa) Jawa Tengah, yang menyatakan tidak sependapat dengan keluarnya surat edaran yang ditandatangani langsung oleh Bupati Batang, Yoyok Riyo Sudibyo, tersebut.

Direktur eLsa Jawa Tengah, Tedi Kholiluddin, menilai maksud dan tujuan pemerintah mengenai aturan itu - secara substansi - memang baik. Namun, pihaknya tidak sepakat jika imbauan itu dituangkan dalam sebuah surat edaran atau kebijakan negara.

Menurut Tedi, sebagai pemimpin yang mewakili otoritas pemerintah, semestinya harus netral dari klaim agama. Jangan sampai otoritas kewenangan itu digunakan untuk mendiskreditkan golongan agama tertentu di masyarakat.

"Ini hampir mirip seperti Piagam Jakarta tapi dalam konteks spesifik. Kesalahannya, imbauan itu dibuat sebagai aturan. Kalau seruan saja sebagai imbauan kultural mungkin masih bisa diterima," tegasnya.

Aturan spesifik soal perilaku agama, kata Tedi, bukanlah tanggungjawab otoritas sebuah institusi negara, karena hal itu merupakan wilayah privat. Dalam konteks ini, semestinya, negara masuk dalam ranah universal agama. (VIVA.co.id).

Sekulerisme Mengkebiri Semangat Beragama Ummat Islam

Terlepas dari pro-kontra tentang adanya Surat Edaran tersebut, semestinya kita coba berpikir lebih kritis dan mendalam. Adanya spirit para Pimpinan Daerah untuk menjalankan salah satu kewajiban beragama, yaitu sholat berjamaah, patut kita apresiasi dan ini adalah sebuah prestasi yang seharusnya bisa meningkat secara kualitas dan tidak hanya berhenti disini.

Karena bila tidak ditindaklanjuti dengan implementasi berbagai aturan agama Islam yang lain, maka akan sangat mengkerdilkan kesempurnaan Islam sebagai sebuah “Way of Life”. Fenomena ini sangat mungkin terjadi dalam kehidupan yang serba sekuler, di mana agama hanya dipandang sebagai urusan privat dan “haram” dikaitkan dengan urusan publik.

Inilah pemasalahan mendasar yang kita hadapi sebagai ummat Islam. Sehingga kita akan sangat sulit menerapkan Islam secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, karena akan berhadapan dengan seperangkat aturan formal, yang justru mengajak kita untuk meninggalkan aturan agama. Slogan yang sangat akrab di telinga kita misalnya.

“Jangan bawa-bawa agama dalam masalah politik, jangan bawa-bawa agama dalam masalah ekonomi, pendidikan, dan sebagainya,” merupakan sebuah gambaran yang nyata, bahwa sekulerisme telah mengakar dalam tubuh ummat Islam.  

Sekulerisme mendoktrinkan pemisahan agama dari kehidupan dan Negara.  Berlandaskan sekularisme itu, agama Islam tidak boleh dijadikan dasar pengaturan negara dan masyarakat; pemimpin harus terbuka, tidak memihak satu agama dan pengaturan berbagai urusan rakyat tidak berpatokan pada Islam.

Dari sinilah masalah-masalah cabang akan muncul. Islam sebagai “Problem Solver” kehilangan fungsi dan vitalitasnya. Islam hanya dipahami sebagai agama ritual yang hanya mengatur cara beribadah kepada Allah S.W.T, mengurus masalah orang mati, dan mengajarkan bagaimana  cara mengusir setan serta bagaimana cara untuk memperoleh manfaat-manfaat yang bersifat materiil melalui berdoa dan aktivitas ritual lainnya. Benar-benar reduksi dan distorsi yang luar biasa dari sebuah agama dan ideologi yang sempurna.

 

Islam Rahmat Bagi Semua

Islam adalah dien agung yang menjelaskan seluruh aspek kehidupan. Islam datang dengan seperangkat aturan multidimensi yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia yang lain. Ini tercermin pada hukum-hukum yang mengatur masalah mu’amalat (IPOLEKSOSBUDHANKAM) DAN UQUBAT (Sistem Saksi). 

Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Ini tercermin pada hukum-hukum yang mengatur masalah akhlaq, makanan dan pakaian. Tidak hanya itu, Islam juga mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Ini terefleksi pada hukum ibadah (rukun Islam) dan aqidah (keyakinan/rukun Iman).

Sehingga harus kita pahami bersama, bahwa Islam adalah agama yang sempurna, yang mengatur secara holistik kehidupan manusia, mulai permasalahan yang sangat kecil, seperti tata cara masuk kamar mandi, sampai urusan tata negara. Sehingga amatlah sempit, ketika  spirit beragama ini hanya dibatasi untuk masalah ibadah ritual saja, seperti sholat berjamaah.

Akan sangat bermakna dan berdampak positif bagi keteraturan dan ketentraman masyarakat, apabila para pemimpin juga menerapkan seluruh aturan atau hukum-hukum Islam yang mengatur wilayah publik. Misalnya, bagaimana mengatur segala bentuk interaksi social, politik, ekonomi, pendidikan, yang ada di masyarakat menurut aturan Islam. Dari sinilah akan tampak, keagungan Islam sebagai rahmat bagi semua, tidak terkecuali bagi non Muslim. Karena aturan Islam yang bersifat public (umum) tidak hanya cocok bagi muslim, tapi juga non muslim.

Inilah yang perlu dipahamkan kepada semua, sehingga tidak akan lagi timbul anggapan bahwa ketika Islam diterapkan dalam kehidupan masyarakat dan negara, akan muncul diskriminasi. [syahid/voa-islam.com]

*) Penulis adalah alumni Institut Pertanian Bogor (angk 35), praktisi pendidikan, public speaking


latestnews

View Full Version