SURAT PEMBACA:
Bom Thamrin dan Kriminalisasi Atas Nama Islam
Kamis 14 Januari 2016 lalu telah terjadi serangkaian ledakan dan baku tembak yang bertempat di Jalan MH Thamrin, Jakarta. Berita ini langsung menjadi trending topik di berbagai media massa. Dengan spontan banyak pihak yang menduga bahwa kasus ini berkaitan erat dengan kelompok, gerakan ataupun organisasi yang berlabel Islam. Seolah-olah tak ada pilihan lain bahwa pelaku teroris adalah muslim (baca: orang yang beragama Islam).
Hal ini tentu berdampak pada meluasnya Islam fobia. Indonesia yang notebene merupakan penduduk kaum muslim terbanyak di dunia, justru akan menjadi anti untuk memperdalam agamanya sendiri. Opini yang terbentuk di masyarakat adalah opini yang keliru, semakin menyudutkan Islam, kegiatan dakwahnya, hingga pada provokasi keji untuk menyebut Islam sebagai sarang teroris. Hal ini tentu merupakan salah satu bentuk kriminalisasi atas nama Islam.
Islam merupakan agama yang memberi rahmat bagi seluruh alam. Tindakan teror jelas merupakan tindakan yang tidak dibenarkan dalam Islam. Tindakan teror ini merupakan tindakan dzalim, Islam melarang dengan tegas untuk bunuh diri, membunuh orang lain tanpa haq, merusak milik pribadi dan fasilitas umum (termasuk tempat ibadah), merusak pohon-pohon, menimbulkan korban dan ketakutan serta kegelisahan yang luas.
Peristiwa yang kemudian dikenal ‘Bom Thamrin’ ini dijadikan alasan untuk mempercepat revisi UU No.15/2003 terkait pemberantasan tindak pidana terorisme. Pasalnya, revisi ini memberi peluang bagi aparat penegak hukum untuk berlaku semena-mena terhadap terduga (bukan tersangka) pelaku teror. Perang melawan terorisme menjadi benteng pelegalan atas penangkapan, penahanan, dan interogasi kepada terduga secara subjektif dari pihak penegak hukum. Hal ini sangat memungkinkan untuk melahirkan kembali rezim yang otoriter ala Orde Baru atau bahkan lebih buruk dari itu.
Tindakan teror jelas-jelas bukan dari Islam. Masyarakat harus cerdas dalam mengambil dan menerima informasi yang beredar. Waspadai kriminalisasi terhadap Islam dan juga para pengemban dakwahnya. Ingatlah bahwa Alloh swt berfirman dalam QS Al-Anbiya [21] ayat 107 yang artinya “Tidaklah kami mengutus kamu (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” Wallohu a’lam bish showab.
Demikian surat pembaca ini saya sampaikan. Atas perhatian Anda, saya ucapkan terimakasih.
Kiriman Farida Septiany, Bandung