View Full Version
Jum'at, 05 Feb 2016

Membumikan Ekonomi Islam

Oleh: Fajriyah Setiadiningsih

(Penerima Manfaat Beastudi Ekonomi Syariah Dompet Dhuafa)

Sahabat VOA-Islam...

Seandainya Pemerintah kita punya program setiap bulan memberi santunan misalnya Rp. 100.000 kepada setiap keluarga miskin, percayakah bahwa tidak butuh waktu sebulan, uang itu akan kembali ke kantong – kantor orang kaya di Ibu Kota? Sebagai contoh, nantinya uang itu akan di belanjakan oleh keluarga miskin tersebut untuk membeli: minyak goreng, beras, mie instan, tahu – tempe, bahkan pulsa telah menjadi kebutuhan primer jaman sekarang.

Dari barang – barang tersebut tidak banyak produk yang dihasilkan oleh masyarakat setempat. Minyak goreng sebagian besarnya hasil produk industry besar, maka uangnya akan mengalir ke mereka. Beras, kecuali kita tinggal di daerah lumbung padi, beras, tempe dan tahu pun didatangkan dari daerah lain bahkan sebagian diimpor. Sebagian produsen mie instant juga terdapat di ibu kota. Itulah yang terjadi di Negara kita, Indonesia yang masih sebagian besar system ekonomi nya menerapkan system ekonomi kapitalis[1].

Bicara tentang dunia, bukan berarti melupakan Indonesia. Namun membicarakan dunia, bermakna hatamnya permasalahan Indonesia. Hal itu yang pertama tercetus ketika saya memikirkan gejolak perekonomian yang marak di berita dewasa ini, yang kian menurun sebab keterpurukan ekonomi yang terjadi di Negara adidaya. Bank Indonesia menunjukkan, nilai tukar rupiah terhadap Dolar Amerika bahkan sempat melemah hingga mencapai Rp. 14.900. Dan naasnya, bukan hanya Indonesia, namun beberapa Negara berkembang pun ikut merasakan dampak tak sedar dari kondisi perekonomian kapitalis tersebut.

Setelah marxisme dan komunisme gagal, kapitalisme yang mendominasi perekonomian dunia juga sepertinya akan gagal. Krisis demi krisis yang terjadi di dunia barat seperti yang disampaikan di atas merupakan tanda – tanda kegagalannya. Jika permasalahan ekonomi yang terjadi sekarang diobati dengan model ekonomi yang sama, yakni kapitalis, maka penyakitnya bukan malah sembuh, namun semakin menjadi parah. Maka sudah saatnya kita obati model perekonomian yang dapat mengangkat penyakit sampai ke akarnya, yakni kembali kepada sistem ekonomi islam seperti yang diterapkan sejak jaman Rasulullah SAW sampai jaman khilafiyah.

 

Kenapa Ekonomi Syariah?

Sejarah akan kembali berulang, begitulah pepatah mengatakan. Berkaca dari sejarah, ekonomi berlandaskan syariat islam yang pernah dijalankan merupakan ekonomi yang menguntungkan. Bahkan yang fenomenal adalah, ketika periode pemerintahan Umar bin Abdul Aziz pada masa Bani Umayyah, tidak satu pun masyarakat yang bermental miskin. Pada masa itu, Pemerintah memberikan fasilitas – fasilitas yang dapat mendorong kreativitas masyarakat, hingga akhirnya perdagangan meningkat. Perdagangan meningkat berarti zakat yang harus dikeluarkan masyarakat pun bertambah, sampai mereka bingung kemana lagi sedekah yang dikeluarkan itu harus diberikan[2].

Semakin meningkatnya pertumbuhan umat muslim di seluruh dunia, urgensitas system ekonomi berdasarkan prinsip Islam pun semakin dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan pendapat Gambling dan Karim (1987) yang memberikan teori “Colonial Model” dengan menganggap bahwa jika suatu masyarakat memiliki ideologi atau pandangan hidup islam maka masyarakat akan menggunakan konsep ini dalam kegiatan sosial sehingga akan membentuk teori ekonominya[3]. Di samping itu, perkembangan lembaga keuangan syariah juga membutuhkan sumber daya insani yang tepat, artinya memahami benar konsep muamalah syariah, produk – produk keuangan syariah dan memberikan nilai kepuasan bagi konsumen atau pangsa pasar nya.

 

Membumikan Ekonomi Islam

Dilansir dari media online Republika.com, Direktur Pascasarjana STIE Ahmad Dahlan, Prof. Dr. Faturrahman Djamil menilai pemahaman SDM terhadap industri perbankan syariah belum komprehensif. Pekerja di sector keuangan syariah masih sedikit, padahal kebutuhannya cuku besar, yakni lebih dari 35 ribu orang. Itulah tantangan mendasar bagi perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, padahal jumlah muslim yang terbanyak di bandingkan Negara lain.

Padahal kini program ekonomi syariah sudah berada di bawah Direktorat Pendidikan Tinggi, yang mana seharusnya semakin memudahkan akses untuk memahami ekonomi islam. Namun kenyataan yang terjadi adalah, perkembangan lembaga keuangan syariah tidak sebanding dengan perkembangan sumber daya manusia nya. Sebagai contoh, saat ini, kebutuhan rata-rata sumber daya manusia perbankan syariah sekitar 5.900 orang per tahun. Padahal, Perguruan Tinggi yang meluluskan sumber daya manusia di sektor keuangan syariah hanya 1.500 orang per tahun. Dari 1.500 itu pun semua sesuai dengan kebutuhan industry[4].

Artinya, harus ada pengkaderan lebih dalam untuk para sumber daya insani ekonomi syariah ini agar memenuhi kualifikasi yang dibutuhkan di sektor ekonomi islam, terutama para pemuda dan mahasiswa. Sebab masa – masa mahasiswa adalah masa yang berapi – api, masa berevolusi menuju arah masa depan melalui segudang aktivitas di dalam dan luar kampus. Dan mahasiswa merupakan fase kehidupan yang paling kritis terhadap teori, isu maupun kebijakan yang informasinya kian bergulir ke telinga mereka.

Melalui tangan – tangan mahasiswa, dirasa perlu adanya pembimbingan akan wawasan ekonomi islam, untuk menjadikan mereka pakar dari suatu aspek ekonomi islam, agar mereka menjadi rujukan ekspansi ekonomi islam dan manfaat bagi di dalam maupun luar Indonesia.

Sebab umat islam tidak hanya terdaat di Indonesia, tapi juga banyak tersebar di seluruh penjuru dunia. Dan sebagai rahmat bagi seluruh alam, dampak dari ekonomi islam ini juga harus dirasakan bagi semua makhluk yang ada di bumi. Baik dari segi pemberdayaan sumber daya alam maupun bertransaksi secara adil kepada yang muslim maupun non muslim, sehingga ekonomi islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan yang berlangsung di muka bumi.

 

[1] Muhaimin Iqbal, Sharia Economics 2.0. Jakarta, Republika:2013, Hal. 11

[2]Herfi Ghulam Faizi, LC., Umar bin Abdul Azis. Cahaya Sirah: 2012, Hal. 40.

[3] Norhadi, Menggagas Rekonstruksi Akuntansi Syariah – Jurnal Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 1 April 2006.

[4]Syariahfinance.com


latestnews

View Full Version