Oleh: Hafodhah silmi
(Aktovis Lembaga Dakwah Sekolah Kabupaten Magetan)
Sahabat VOA-Islam...
Siapa sangka, minum kopi bersama sahabat berakhir petaka. Baru menyesap satu sedotan es kopi Vietnamese di kafe, Mirna merintih kesakitan. Ia mual dan kejang. Tak lama kemudian, Mirna meninggal. Uji forensik sementara menduga ia keracunan sianida.
Polisi masih bekerja keras mengumpulkan alat bukti demi menemukan tersangka peracun maut kopi Mirna. Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya - Kombes Krishna Murti menandaskan pentingnya investigasi ilmiah (scientific crime investigation) dalam mengumpulkan alat bukti dan menemukan tersangka.
Islam memiliki pandangan berbeda secara metodologis dalam hukum-hukum pembuktian, tidak mendewakan metode saintifik dalam mendakwa / menuduh seseorang. Hukum-hukum pembuktian (ahkam al-bayyinaat) menurut Islam adalah sama seperti halnya hukum-hukum Islam yang lain, di mana ia merupakan hukum-hukum syara' yang digali dari dalil-dalil yang bersifat tafshiliyyah (terperinci).
Syeikh Ahmad ad-Daur mendefinisikan bukti (al-baiyyinat) sebagai semua hal atau perkara yang dapat membuktikan sesuatu dakwaan. Bukti juga merupakan hujah bagi orang yang mendakwa atas dakwaannya. Islam menjelaskan bahawa al-baiyyinat (bukti) itu terdiri dari 4 jenis yaitu:
(i) Pengakuan
(ii) Sumpah
(iii) Kesaksian
(iv) Dokumen-dokumen bertulis yang meyakinkan.
Kesemua jenis baiyyinat (bukti) yang telah disebutkan di atas adalah digali dari Al-Quran dan juga As-Sunnah. Sedangkan indikasi (qarinah) yang bersumber dari sains tidak dianggap (tidak termasuk) sebagai bagian dari pembuktian (baiyyinat) yang syar'ie, meskipun indikasi itu bersifat qatie (pasti). Sebab, tidak ada satu dalil/nash pun yang menunjukkan bahawa indikasi (qarinah) merupakan baiyyinah yang syar'ie.
Jadi selama Jessica tidak mengakui, dan tidak ada kesaksian yang memadai serta juga sumpah dan dokumen tertulis maka tidak boleh menuduh atau mendakwa seseorang sebagai peracun kopi Mirna. Untuk mengatakan/memasukkan sesuatu itu sebagai baiyyinat (bukti), maka ia hendaklah berdasarkan dalil, bukannya berdasarkan akal, apalagi jika semata mengandalkan metoda saintifik.
Pengakuan (al-iqrar) telah ditetapkan sebagai salah satu metode pembuktian berdasarkan nash yg jelas, yang tercantum di dalam Al-Quran dan juga Hadis. Rasulullah SAW ketika bertanya tentang seorang jariyah (hamba perempuan) yang terbunuh, siapakah yang telah membunuhnya, kemudian disebut nama si fulan dan si fulan, yang mengisyaratkan kepada nama seorang Yahudi, baginda tidak menetapkan ucapan itu sebagai "bukti" (baiyyinah) meskipun baginda tetap melakukan penyelidikan terhadap lelaki Yahudi tersebut berdasarkan apa yang didengarnya tadi.
Selanjutnya, lelaki Yahudi itu dipanggil dan dia mengakuinya, maka Yahudi itu pun dibunuh (qisas). Demikianlah Rasul Saw tetap menjadikan "pengakuan" sang Yahudi sebagai pembuktian yang sah sementara informasi dan penyelidikan hanyalah berposisi sebagai "indikasi" (qarinah)yang harus diselidiki terlebih dahulu, dan tetap tidak boleh dijadikan sebagai bukti.
Upaya inilah yang di masa sekarang disebut dengan cross examination (uji silang), yaitu mengajukan bermacam-macam pertanyaan kepada tertuduh, oleh beberapa pemeriksa sekaligus jika diperlukan, sehingga tertuduh akan mengaku secara sukarela, karena tak bisa mengelak lagi mengingat setiap jawaban akan selalu diuji silang dengan jawaban lain sehingga kalau berbohong akan jelas sekali kontradiksi dan inkonsistensinya. (M. Abdullah al-Masari, Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 18)
Demikianlah meski bukan termasuk metode pembuktian dalam Islam, pendekatan saintifik (seperti hasil laboratorium forensik) boleh dimanfaatkan sebagai upaya memperoleh pengakuan (al-iqrar) dari para tertuduh. Hal tersebut dibolehkan, selama cara yang digunakan memperoleh pengakuan tidak dilakukan dengan paksaan (al-ikrah), baik paksaan fisik (seperti pukulan) maupun non fisik (seperti ancaman). Sebab syarat terpenting dari pengakuan adalah ikhtiyar (tidak adanya paksaan). (M. Abdullah Al-Masari, Huquq al-Muttaham fi Al-Islam, hal. 12).
Namun yang tidak boleh adalah mengutamakan bukti-bukti saintifik untuk mendakwa seseorang, ini salah dari sisi Islam dan merupakan suatu kezaliman. Ahkamul bayyinat (hukum-hukum pembuktian) di dalam Islam telah jelas dan sempurna sejak zaman Rasulullah dan tidak boleh diubah karena sains dan teknologi.
Ini bukan bermakna bahwa Islam menolak sains tetapi sains lah yang musti digunakan bersesuian dengan Islam. Walaupun terbukti bahawa sains banyak membantu dan amat bermanfaat untuk manusia, tetapi sains hendaklah tunduk kepada Islam, bukannya Islam yang tunduk kepada sains.
Dalam sains itu sendiri masih mungkin terjadi kekeliruan dan ketidakpastian. Justru, menghukum seseorangb berdasarkan sains, selain menyalahi hukum syarak, akan menyebabkan kezaliman kepada si tertuduh. [syahid/voa-islam.com]