View Full Version
Senin, 18 Apr 2016

JK dan Reshuffle Jilid Dua

Oleh: Engkus Munarman*

“Rizal Ramli itu petarung,” kata  Sjafii Maarif, suatu ketika.  Pernyataan itu kemudian diamini Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia. Mungkin karena itu pula (baca: Rizal Ramli adalah petarung), pada 12 Agustus 2015 Jokowi memasang RR, begitu dia biasa disapa, sebagai  Menteri Koordinator bidang Kemaritimiman yang kemudian diubah menjadi Kemenko Maritim dan Sumber Daya.

“Saya sudah bicara dengan Presiden Jokowi,” ujarnya saat orang mempersoalkan perubahan nomenklatur tersebut. Dan, belakangan orang yang paling kencang menyoal soal nomenklatur ini adalah Jusuf Kalla (JK).

Ihwal reshuffle atawa perombakan kabinet, kembali berhembus kencang. Maklum, publik sudah lama diombang-ambing dalam ketidakpastian. Buat para pengusaha, ketidakpastian adalah momok yang amat menakutkan dan sering harus dibayar sangat mahal.  Mereka perlu betul memastikan, siapa akan duduk sebagai apa dan bagaimana kebijakannya.

Salah satu orang yang paling berkepentingan dengan kepastian reshuffle, ternyata juga JK. Tidak sulit memahami soal ini, terutama jika dikaitkan dengan latar belakangnya yang saudagar. Maklum, kepretan-kepretan RR, demikian Rizal Ramli biasa disapa, banyak membuat para pemburu rente kalang kabut. Entah ada hubungannya antara pemburu rente dan embel-embel nama JK sebagai Wakil Presiden, tapi faktanya bisnis keluarga JK memang jadi menggurita.

Untuk soal-soal seperti ini, RR memperkenalkan kosa kata baru, Pengeng alias penguasa merangkap pengusaha. Menurut dia, penguasa adalah pekerjaan mulia. Begitu juga dengan pengusaha. Keduanya sama-sama mulia. Tapi, kalau digabung di satu orang, melakukan dwifungsi, ya penguasa juga dan pengusaha juga, itu adalah malapetaka buat rakyat dan bangsa kita.

Kosa kata yang dilontarkan ini nyaris berbarengan dengan heboh pertemuan keluarga JK dengan petinggi Freeport. Publik sendiri menilai  pertemuan tadi sarat aroma KKN dan tidak etis. Salah satu topik mereka adalah, keluarga JK akan memperoleh 40% saham smelter yang akan dibangun Freeport. Itulah sebabnya, JK jadi uring-uringan.

Satu hal yang pasti, bapa toa (dalam bahasa Bugis/Makassar; kakek) JK memang punya ‘urusan’ yang sejarahnya lumayan panjang dengan  Rizal Ramli. Kisah itu, paling tidak, dimulai pada saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan mengumumkan susunan kabinet putaran pertamanya. Waktu itu, SBY sudah memplot RR untuk duduk di kursi Menko Perekonomian, atau Menteri Keuangan, atau Menteri BUMN.

Tapi JK mematahkan semua opsi itu pada menit-menit terakhir. SBY yang terkenal santun itu berhasil ditekuk. Itulah sebabnya pengumuman kabinet waktu itu mundur beberapa kali, dari semula direncanakan pukul 15.00  menjadi setelah lewat pukul 22.00. Itu pun setelah akhirnya Rizal Ramli menolak tawaran menjadi Menteri Perindustrian yang disodorkan SBY sebagai ‘langkah kompromi.’

“Saya kan bukan job seeker. Bukan orang yang cari-cari pekerjaan,” tukas RR ringkas, saat ditanya kenapa dia menolak tawaran sebagai Menteri Perindustrian.

Neolib vs Konstitusi

Membaca perseteruan RR-JK, pada hakekatnya kita disuguhkan pada pertarungan ekonomi konstitusi versus geng neolib. Pada tiap semburan kalimat JK, selalu saja sarat dengan pesan-pesan mazhab ekonomi yang doyan menyerahkan segala sesuatunya kepada mekanisme pasar. Ini memang tidak mengherankan, terlebih lagi jika dirunut latar belakang daeng Ucu, sapaan JK saat muda, yang memang saudagar. Ditambah dengan kekuasaan dalam genggaman, maka JK pun menjelma jadi Pengpeng sejati yang sakti mandraguna.

Sebaliknya, Rizal Ramli sudah sejak mahasiswa dikenal sebagai penyokong dan pejuang ekonomi konstitusi. Perdebatan kilang laut atau darat untuk Masela, misalnya, sejatinya adalah pertarungan antara geng neolib dan kelompok konstitusi. Geng neoloib adalah pihak-pihak yang ingin menyedot sumber daya alam lalu menjual/mengekspor dengan harga murah, tapi mendapat bagian dari prilaku pemburu rente. Sebaliknya, kelompok konstitusi menghendaki adanya pengembangan wilayah, multiplier effect, dan percepatan pertumbuhan ekonomi Maluku dan Indonesia Timur lainnya.

Maka, adalah normal belaka bila RR dan JK tidak bisa akur. Keduanya nyaris mustahil akan berjalan seiring dalam harmoni membangun negeri. Itulah pula sebabnya, JK melihat wacana reshuffle jilid dua ini sebagai momentum untuk mendepak RR. Segala daya dan upaya ia lancarkan, agar ‘si duri dalam daging’ itu bisa segera dicungkil.

Dengan dana besar dan jaringan yang dimilikinya, JK serta kelompoknya berkali-kali membidik RR. Mulai dari hal-hal substantif (listrik 35.000 mw, pembangunan smelter, kilang blok Masela, dan lainnya) sampai pada hal-hal teknis, bahkan yang remeh temeh.

Mempersoalkan nomenklatur kementrian yang dipimpin RR adalah salah satu bukti JK dan gengnya telah kehabisan amunisi soal-soal subtantif. Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur itu sudah membahas soal ini dengan Jokowi, bahkan sejak awal ketika ditawari posisi itu. Itulah sebabnya Presiden tidak pernah mempersoalkannya. Kenapa malah JK yang uring-uringan. Lagi pula, kalau pun mau menyoal, harusnya kan dilakukan sejak Agustus tahun silam, saat RR awal menyuarakan ke publik.

100% hak prerogatif Presiden

Buat JK, RR benar-benar membuat kesal. Dia kian jengkel, karena tidak berdaya mendepak dari kabinet. Biar bagaimana juga, daeng Ucu ini pasti paham betul, bahwa perkara angkat-mengangkat dan copot-mencopot menteri adalah 100% hak prerogatif Presiden. Namun dia ingin mengulang sukses di masa SBY. JK terus melakukan tekanan-tekanan kepada Presiden, terutama di menit-menit terakhir.

Sepertinya, kali ini dia kena batunya. Sebagai orang Solo, Jokowi memang terkesan klemar-klemer. Tapi, ternyata dia bisa juga  tegas dalam ‘menghabisi’ bawahan yang ngeyel dan tidak kunjung pintar menangkap pesan Presiden. Tindakan Jokowi yang sengaja memanggil Sudirman Said dan Amin Suharyadi ke ruang VVIP bandara Supadio, Pontianak, hanyaa untuk mendengarkan keputusannya memilih kilang darat, jelas menyiratkan hal ini. Keduanya benar-benar dipanggil dan tidakbicara sepatah kata pun. Luar biasa!

Kalau ada gondok meter (maksudnya alat untuk mengukur kegondokan alias kekesalan seseorang), mungkin gondok meter JK terhadap RR sudah pada level puncak. Orang Betawi menyebutnya  sudah sampe ubun-ubun. Itulah pula sebabnya, dari salah satu orang dekatnya, konon, Kalla pernah menyatakan kepada Presiden. “Pilih saya atau dia (Rizal).”

Sayangnya yang jadi Presiden adalah Jokowi. Kalau saya, dengan enteng saya akan berkata, “tentu saya pilih Rizal Ramli, dong. Lha wong keberadaan sampeyan selama ini cuma ngeribetin  dan bikin gaduh belaka. Lagi pula, sampeyan dan para menteri pilihan sampeyan juga makin jelas tidak sejalan dengan trisakti dan nawacita yang jadi materi utama kampanye capres saya.”

Akhirnya, saya hanya ingin mengatakan, soal perombakan kabinet, sudahlah pak JK. Anda sudah terlalu kenyang. Nanti bisa muntah, lho.... (*)

Engkus Munarman, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Energi dan Lingkungan (PKEL)


latestnews

View Full Version