Oleh: Eka Rahmi Maulidiyah
(Mahasiswa Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya)
Reklamasi merupakan pembuatan daratan baru yang wilayahnya berasal dari perairan seperti laut atau sungai yang ditimbun dengan tanah baru di atasnya. Pada umumnya reklamasi dilakukan untuk memperbaiki daerah berair yang rusak menjadi daerah yang bisa dimanfaatkan. Daerah tersebut bisa dimanfaatkan sebagai lahan pemukiman maupun objek wisata.
Baru-baru ini, pemerintah Jakarta memperbolehkan pereklamasian teluk Jakarta Utara untuk dijadikan sebagai apartemen baru oleh kapitalis (pemilik modal). Alasannya karena mereka kekurangan lahan untuk bisnis terpadu. Lahan yang ada di Jakarta Timur dan Selatan sudah padat penduduk dan harga tanahnya juga sangat mahal. Maka dari itu para kapitalis merayu pemerintah untuk memperbolehkan pereklamasian teluk Jakarta Utara tersebut.
Suhendro Prabowo, Vice President Director and Chief Operating Officer Jakarta PT Intiland Development Tbk, mengatakan bahwa penjualan property di lahan reklamasi jauh lebih menguntungkan daripada di lahan daratan. Bayangkan, betapa untungnya kapitalis jika mereka berhasil membangun apartemen mereka dari hasil reklamasi. Mereka pasti akan mendapatkan keuntungan yang sangat besar karena apartemen yang akan mereka jual tentu hanya bisa dibeli oleh kalangan elit saja.
Namun, hasil rapat Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di Kantor Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya disepakati bahwa reklamasi ini dihentikan untuk sementara. Mengapa? Menurut Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, ada tiga indikasi buruk yang akan dihasilkan jika reklamasi itu tetap berjalan. Indikasi tersebut yaitu pencemaran, kerusakan lingkungan hidup, dan keresahan sosial masyarakat.
Selain itu, ternyata Pemprov DKI Jakarta melanggar hukum dalam menerbitkan izin reklamasi pada UU No. 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 30 ayat 3 dan Perpres No. 112/2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sungguh tidak bisa dinalar, pemerintah yang membuat peraturan tapi nyatanya pemerintah juga yang menyalahi aturan.
Bukan hanya itu saja masalahnya, dalam reklamasi ini juga terdapat kasus suap, korupsi dan kolusi. Buktinya M. Sanusi, DPRD sekaligus Presdir Agung Podomoro Land Tbk Ariesman Widjaja, tertangkap karena kasus suap. Aguan dan Suny Tanuwidjaja yang merupakan staf khusus Gubernur DKI juga terlibat dalam kasus ini. Kasus korupsi dalam reklamasi ini merupakan kasus grand corruption. Hal ini dikarenakan kasus tersebut berkaitan dengan kebijakan publik yang dibuat hanya untuk kepentingan kapitalis, bukan untuk kepentingan rakyat.
Dalam Islam, daerah yang merupakan kepentingan umum seperti teluk, danau, atau pesisir pantai itu haram untuk dikuasai hanya sebagian kelompok saja. Daerah tersebut harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat. Bukan malah diberikan kepada kapitalis agar mereka bisa meraup keuntungan besar.
Reklamasi juga tidak boleh membahayakan fisik, lingkungan, maupun sosial, apalagi menambah masalah baru seperti korupsi. Hal tersebut semata-mata untuk memberikan kemaslahatan kepada rakyat dan menjaga lingkungan demi mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin.