Oleh: Fadh Ahmad Arifan*
Usia Pesantren Gontor memasuki 90 tahun. Para alumni merayakan dengan sujud syukur. Peringatan 90 tahun Gontor dipusatkan di masjid Istiqlal. Dihadiri 1500 alumni dan tokoh Nasional seperti Dr Hidayat nurwahid dan Lukman Hakim Saefuddin. Wapres Jusuf kalla turut diundang juga (CNN Indonesia today 28/5/2016). Gontor satu satunya lembaga yang paling banyak mendapat kuota beasiswa dari Universitas al-Azhar, Mesir. Rektor al-Azhar Prof Ahmad Tayyeb saat berkunjung ke Ponorogo menambah beasiswa dari 20 kursi menjadi 50 kursi untuk Muslim Indonesia. Dan penambahan 50 beasiswa lagi itu khusus buat Gontor.
Ada baiknya mengetahui bagaimana suka duka mengembangkan Pesantren ini. "Ya Allah jika perguruan yang saya pimpin ini tidak memberi faedah kepada masyarakat, lenyapkanlah dari pandangan mata saya dengan segera." begitulah doa yang dipanjatkan KH. Imam zarkasyi. Pendiri Ponpes modern Gontor bersama kedua kakak kandungnya. KH. Zarkasyi bukanlah orang sembarangan. Pendidikan keislamannya diperoleh dari perguruan Thawalib dan Kulliyatul Mualimin al-Islamiyah di Padang yang diasuh oleh Prof Mahmud yunus. Sepulang dari daratan Minangkabau, beliau terapkan hal hal yang ia lihat di daratan penghasil para Buya itu. Didirikan Badan Wakaf Pondok Modern Gontor. Tanah wakaf yang dimiliki gontor luasnya 255.931 Hektar. Dalam hal administrasi perwakafan, Gontor jauh lebih cepat dibandingkan Nahdlatul ulama. Ormas ini baru memiliki hak kepemilikan tanah dari Menteri dalam negeri pada tahun 1986 (Ensiklopedi ulama Nusantara, hal 424-426).
Mulai tahun 1936 didirikan juga pendidikan tingkat menengah pertama dan menengah atas yang lazim dikenal dengan "Kulliyatul mualimin al-Islamiyah". Sistem KMI hampir sama dengan yang pernah ditempuh kiai zarkasyi di Padang. Sepeninggal Trimurti, badan wakaf Gontor menetapkan 3 nama pengganti, KH. shoiman, KH Abdullah Syukri zarkasyi dan KH Hasan abdullah Sahal.
Saat 3 tahun pertama berdiri, jumlah santri 300 an, 7 tahun berdiri meningkat 500 orang baik santri putra dan putri. Pernah tersisa 16 santri karena masyarakat sekitar menganggap aneh sistem pembelajaran yang diterapkan kala itu. Tahun 1985 jumlahnya 2.200 dan 1996 melonjak jadi 3200 santri. (Majalah hidayatullah edisi Mei 2006, hal 76-78).
Banyak inovasi yang dilakukan pengasuh Gontor sehingga pesantren ini terkenal di Asia Tenggara dan Timur tengah. Alumninya tersebar hingga Thailand, Malaysia, Brunei, Afrika selatan dan Australia. Di kota Sidney, ada tokoh Muslim bernama Ustadz Ali Abdullah. Sosok bersahaja yang miliki istri Muslimah asal Indonesia ini pernah mondok di Pesantren Gontor selama 3 tahun. Kini beliau aktif berdakwah di luar kota Sidney terutama dalam hal mendampingi para pasangan suami istri yang berstatus muallaf.
Masih lekat dalam ingatan saya, Ibu saya memakai Gontor sebagai senjata pamungkas. Maksudnya bila saya tidak patuh dan menolak disuruh beli gula maupun beras, ibu akan menakut-nakuti, "Nggak patuh sama orang tua, minggu depan diberangkatkan ke Gontor". Pusinglah kepala saya tiap mendengar hal itu. Kalau ayah saya lain, beliau bilang Gontor bercorak modern, nanti kalau dikirim ke sana bisa dijamin bisa bahasa Inggris dan bahasa Arab. Memang benar, lulusannya menguasai salah satu bahkan dua bahasa asing tersebut.
Saya bukan alumni Gontor, tapi guru, kolega, tetangga depan rumah dan teman kuliah saya adalah alumni Gontor. Ustadz Hamzah utama, guru saya semasa SD adalah alumni Gontor, kini beliau berkhidmat untuk Ponpes Muhammadiyah al-Munawwaroh. Kemudian, kolega saya Pak Abdul Hamid, Bapak dua anak ini sekarang diamanahi menjadi Manajer di Ayam penyet Surabaya cabang kota Malang. Tetangga depan rumah saya yakni dr. Muhammad Fauzi yang kini menjadi direktur RS Salsabila husada di Kabupaten Malang . Begitu juga teman kuliah di Pascasarjana UIN Malang yang bernama Lia noviana, kini ia menjadi dosen Hukum keluarga Islam di STAIN Ponorogo.
Dekat dengan mereka, saya menangkap gambaran santri yang modern, berwawasan luas dan suka baca. Mereka tidak kolot dan enak diajak diskusi yang berat berat untuk ukuran anak pesantren pada umumnya. Mereka nyambung bila diajak ngobrol tentang Pemikiran Ali Syariati, Syed Naquib Alatas, konflik Suriah, ISIS hingga manajemen Franchise/waralaba. Salah seorang alumni saat saya tanyai apa bedanya menuntut ilmu di Gontor dibanding pondok pesantren lainnya? ia bilang, "Di pondok lain saya merasa diperbudak dan tidak mendapat pencerahan, tetapi saat di Gontor saya diberi pemahaman dan pencerahan.
Saya berhutang budi kepada "Gontor" kata alumni yang pernah tergabung dalam Pengurus Aswaja center NU Malang. Saya bukan alumni gontor, tapi... tidak menutup kemungkinan bila nanti punya anak, insya Allah saya daftarkan ke Gontor. Kualitas Pesantren ini sudah tidak diragukan lagi. Wallahu’allam. [syahid/voa-islam.com]
*) Penulis adalah Pengajar di MTs-MA Muhammadiyah 2 kota Malang