Sahabat VOA-Islam...
Musnah satu tumbuh seribu, itulah peribahasa yang cocok untuk menggambarkan bagaimana kondisi kejahatan di Indonesia. Tiap tahunnya bukannya berkurang tapi malah bertambah. Lagi-lagi kebanyakan diakibatkan karena miras, minuman setan itu telah cukup banyak menelan korban, mulai dari kasus over dosis hingga kejahatan seksual dan pembunuhan. Kondisi seperti ini tiada henti terus berulang.
Baru-baru ini kapolda mengadakan kegiatan pemberantasan miras jelang ramadhan. Berpuluh-puluh ribu miras dimusnahkan menggunakan buldoser. Lalu yang jadi pertanyaannya adalah apakah semua itu akan berpengaruh bagi peredaran miras itu sendiri di kalangan masyarakat. Nyatanya tidak, miras tetap ada, baik yang berlabel resmi maupun tidak. Budaya konsumsi miras telah menjangkiti hampir seluruh elemen masyarakat tak peduli tua atau muda, laki-laki atau perempuan, bahkan remaja yang notabene masih berstatus sebagai pelajar pun tak luput dari pengaruh buruk peredaran miras. Lebih mirisnya lagi miras tetap dijual bebas di warung-warung yang mendapat ijin penjualan.
Ini hanyalah salah satu wajah buruk dari sistem Kapitalisme yang telah menyulap yang halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal, semua itu asalkan ada yang namanya duit, para pemodal bisa melakukan apa saja termasuk ikut mengintervensi pembuatan UU Miras. Dan sudah menjadi rahasia umum jika pemerintah baru bertindak ketika sudah ada korban berjatuhan, bahkan sangat kelihatan sekali mereka abai terhadap masalah ini. Padahal miras jelas haram dan juga merugikan.
Ketika Islam datang khamr masih diperbolehkan, tetapi ketika ada ayat Allah yang melarang khamr, maka sikap para sahabat pun sami’na wa atho’na. Bahkan mereka segera membuang sisa khamr yang ada pada sloki tanpa menawar-nawar untuk meminumnya lagi. Dan dalam konteks sistem politik islam itu sendriri, khilafah mampu memberantas kejahatan sekecil apapun hingga ke akarnya, dan dapat melakukan control terhadap sumber-sumber yang bisa mengakibatkan kejahatan termasuk miras atau khamr.
Sudah jelas bahwa demokrasi adalah sistem rusak yang merusak, umat harus kompak menggantinya dengan kontrak politik yang baru, yang mampu memberi jaminan perlindungan keamanan dan menjauhkan dari kemaksiatan. Saatnya Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah menaungi umat, dibawah kepemimpinan yang satu, yakni seorang khalifah yang adil. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Linda Puspita