Sahabat VOA-Islam...
Kasak-kusuk Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) akan mencabut 3.266 Peraturan Daerah (Perda), diantara Perda tersebut berisi pelarangan minuman beralkohol.
"(Perda) yang saya cabut itu karena mereka (pemerintah daerah) menyusun Perdanya bertentangan dengan peraturan dan perundangan," ujar Tjahjo Kumolo saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam (Kompas.com, Jumat (20/5/2016).
Menurut Tjahjo pencabutan Perda-Perda itu bukan berarti pemerintah mendukung peredaran minuman beralkohol. Pemerintah ingin minuman beralkohol tidak dilarang sepenuhnya, melainkan hanya perlu diatur peredaran penjualannya. Perda-Perda itu akan berorientasi pada prinsip itu.
Rencana pencabutan Kemendagri mendapat banyak tanggapan, salah satunya dari Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) di DPR, Arwani Thomafi mengatakan tindakan Mendagri seharusnya memperhatikan beberapa hal.
Pertama, adalah alasan suatu Perda dapat dibatalkan selain bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah karena bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau kesusilaan.
Kedua, pencabutan Perda sangat tidak beralasan jika demi kepentingan investasi justru kepentingan masyarakat umum yaitu mencegah bahaya buruk dan jatuhnya korban jiwa akibat miras justru diabaikan.
Ketiga, apabila alasan yang digunakan adalah peraturan yang lebih tinggi, semestinya Mendagri menyadari dan bersikap arif dengan menunggu selesainya pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol yang saat ini masih dibahas di DPR. Keempat, secara nyata dalam hal Daerah menerbitkan Perda Miras adalah demi melindungi masyarakatnya seperti yang dilakukan oleh Pemda Provinsi Papua dan Pemda Manikwari serta Pemda lainnya. Dalam keterangan pers yang diterima Okezone, Minggu (22/5/2016).
Kata anggota Komisi II DPR RI ini, Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) telah memasuki Pembahasan ditingkat Panitia Kerja (Panja). Ada tiga pandangan yang berkembang di Pansus selama ini;
Pertama, pendapat yang mendorong RUU ini memiliki semangat untuk melakukan pelarangan minuman beralkohol tanpa pengecualian alias melarang total. Kedua, mereka yang mendorong agar RUU ini berisi larangan minuman beralkohol namun dengan pengecualian. Misalnya ritual keagamaan dan kepentingan Pariwisata secara terbatas. Kelompok yang kedua ini seperti yang ada dalam draft RUU usulan DPR. Yang ketiga, adalah kelompok yang mendorong membolehkan minuman berakohol namun dengan pengecualian. Minol tidak perlu dilarang hanya perlu dilakukan pengendalian atau pengaturan saja.
Dari pernyataan Kemendagri, dapat disimpulkan bahwa ada Undang-Undang diatas Perda Pelarangan Minuman Keras yang lebih tinggi, sehingga pemerintah mencabut Perda. Sementara fakta mengatakan, terjadinya tindak kriminal dan kecelakaan berada di bawah kendali miras. Semakin hari, kasus-kasus tersebut semakin memarak. Apakah undang-undang yang dikatakan lebih tinggi jauh lebih penting ketimbang Perda larangan miras? Begitulah undang-undang yang selalu tumpang tindih kerap mewarnai peraturan negeri ini.
Tanggapan Ketua Panitia Khusus (Pansus) RUU Larangan Minuman Beralkohol (Minol) bahwa alasan Kemendagri akan mencabut Perda miras karena menghambat investasi. Jelaslah di sini ada kepentingan segelintir orang hingga mengabaikan kepentingan masyarakat secara umum. Kerap pemerintah tidak berpihak pada suara masyarakat yang menginginkan kebaikan, hal yang sudah biasa pemerintah berpihak pada kepentingan pemodal atau pengusaha. Selama ini, produksi miras memberikan keuntungan besar bagi produsen. Inilah yang mendasari pemerintah akan mencabut Perda miras.
Adapun pernyataan Komisi II DPR RI ini, Pansus RUU larangan Minuman Beralkohol (Minol) melakukan kompromi terhadap demikianlah cara pemerintah masih mengkompromikan penutupan miras yang jelas-jelas membawa bahaya besar. Sebagai alasan pemerintah, penutupan miras secara total akan menghalangi investasi dan pembangunan. Pemerintah seolah menjadikan fakta maraknya kriminalitas ibarat kabar sekedar berlalu lalang. Sehingga Pemerintah masih membolehkan peredaran miras hanya saja dibatasi, tempat penjualan, dan pengonsumsinya.
Demikianlah, seserpih aturan buatan manusia yang selalu mengkompromikan hal-hal yang membawa bahaya besar dengan alasan kepentingan dan keuntungan. Wajarlah masyarakat mendesak penutupan miras, selain miras tidak boleh dikonsumsi dalam agama, bahayanya telah nampak di depan mata. Miras menghilangkan kesadaran akal, mampu mendorong melakukan kejahatan seperti pemerkosaan dan pembunuhan yang kian merajalela. Selama pemerintah menjadi payung membolehkan produksi dan konsumsi miras, maka tunggulah kehancuran negeri ini.
Dalam Islam, sedikit atau banyaknya minuman yang memabukkan tetap tidak boleh dikonsumsi. Betapa sempurnanya Islam mengatur kehidupan manusia. Aturan yang datang 1400 tahun yang lalu, namun selalu sesuai dengan zaman. Siapakah yang lebih mengetahui yang terbaik untuk manusia selain Penciptanya? Bahkan aturan Islam memberi sanksi terhadap orang yang meminum miras baik sedikit ataupun banyak jika terbukti di pengadilan denga hukum cambuk 40 kali atau 80 kali.
Sanksi tidak semata-mata berlaku selama pemerintah tidak menutup produksi miras secara total. Larangan keras terhadap produksi miras dan masih ada yang mengkonsumsi, maka hukuman akan jatuh. Dengan aturan ini, akan menciptakan rasa aman bagi seluruh manusia. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Zainab (Mahasiswa)