Oleh: Alimudin Baharsyah. S. Sos
Ketua Badan Eksekutif Kordinator Nasional Badan Kordinasi Lembaga Dakwah Kampus (Ketua BE Kornas BKLDK) 2016-2017
SELAMA 70 tahun Indonesia berdiri, umat Islamlah yang paling banyak dirugikan. Dengan dalih harus toleran, umat ini dipaksa mengatur kehidupannya bukan dengan aturan yang bersumber dari Islam. Padahal 87 % lebih penduduk negeri ini beragama Islam. Sedangkan menjalankan aturan islam merupakan bagian dari ibadah yang diwajibkan oleh Allah swt.
Lalu, apakah salah jika umat Islam menginginkan Islam yang mengatur hidupnya?
Jika merujuk kepada UU 45 pasal 29 ayat 2, negara akan menjamin umat beragama untuk menjalankan Agamanya. Bahkan tanpa UU itupun, umat Islam tetap harus menjalankan Agamanya sebagai konsekwensi keimanan kepada Allah swt.
Namun jaminan yang tertera dalam UU itu tak kunjung terealisasi. Setiap upaya penerapan aturan Islam dianggap sebagai bentuk Intoleran kepada Agama lain. Padahal tuduhan itu tidak pernah terbukti sema sekali. Salah satu contoh, umat Islam yang ingin menerapkan syariat Islam dianggap sebagai teroris yang akan menyebabkan perpecahan. Hal ini tidak sesuai dengan fakta dimana selama belasan abad umat Islam dalam naungan khilafah Islamiyah mampu nenerapkan Islam dan menyatukan berbagai ras, Agama, suku dan budaya di dunia. Tentu pendapat itu merupakan fitnah yang sangat keji terhadap syariat Islam yang agung.
Yang lagi ramai diperbincangkan adalalah kasus penertiban warung nasi yang buka saat bulan Ramadhan di serang yang menimpa Ibu Saeni (53 th). Banyak yang berpendapat bahwa apa yang dilakukan satpol pp karena adanya peraturan daerah Intoleran nomor 2 tahun 2010 tentang Penyakit masyarakat yang dikeluarkan oleh walikota Serang. Padahal sejatinya perda itu untuk melindungi hak umat Islam menjalankan ibadah puasa. Ada perda saja orang berani langgar, apalagi jika tidak ada.
Kasus itu terus diblow-up media nasional online sehingga mengundang simpati banyak orang. Isu ini dimanfaatkan oleh kaum liberal dan pemerintah Jokowi untuk menyudutkan syariat Islam dan upaya penghapusan perda Islami. Upaya itu terlihat jelas ketika Pemerintah melalui tim kementrian dalam negeri langsung mengevaluasi perda nomor 2 tahun 2010 itu. (CNN, 14/06/2016). Tak tanggung, Jokowi pun turut menyumbang korban razia untuk menunjukan ketidaksukaannya terhadap perda yang dianggap intoleran tersebut.
Bukan hanya itu, sebelumnya perda yang melarang perederan minuman keras juga akan dihapus karena dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi asing. Padahal sangat jelas, beberapa pelaku kejahatan seksual dilakukan setelah menenggak minuman keras. Yang paling diuntungkan dalam hal ini adalah perusahan dan importir minuman keras.
Dari beberapa kejadian diatas bisa kita simpulkan bahwa rezim jokowi hari ini memang anti Islam dan pro kapitalis. penghapusan perda Islami untuk menunjukan kebencian mereka kepada Islam dan merupakan bentuk pengabdian mereka kepada tuan-tuannya yaitu kaum pemilik modal (kapitalis) baik lokal maupun asing. Hal ini juga menunjukan ketakutan pemerintah akan tegaknya syariat Islam di Indonesia, karena mengancam eksistensi mereka yang selama ini menzalimi rakyat.
Selama sistem yang digunakan untuk memilih penguasa dan menetapkan aturan menggunakan Demokrasi, maka akan lahir rezim-rezim yang benci terhadap Islam. Maka sudah sepatutnya kita campakkan Demokrasi dan terapkan Sistem islam. Wallahu alam. [syahid/voa-islam.com]