Sahabat VOA-Islam...
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari komisi yang membidangi energi menganggap Indonesia sedang mengalami darurat energi. Pasalnya, Indonesia tidak mempunyai cadangan energi nasional.
“Cadangan nasional kita tidak punya, nol, itu sangat berbahaya untuk negeri kita yang berpenduduk 240 juta orang,” tutur Dito Ganinduto di Hotel Royal Kuningan Jakarta, Selasa (29/3).
Dia memaparkan bahwa PT Pertamina (persero) hanya memiliki cadangan energi sebanyak 18 hari yang ingin ditingkatkan menjadi 30 hari, sedangkan untuk cadangan nasional, Indonesia masih belum mampu untuk membuat stok. (aktual.com 29/3/16)
Ini sebuah ironi ketergantungan energi (impor) di bumi nusantara yang melimpah energi, maka perlu memahami faktor-faktor yang berpengaruh ketergantungan migas sifatnya berkelanjutan seolah-olah tidak dapat dibendung, padahal Indonesia tergolong negara surplus energi (1977 dan 1995). Perlu dilihat dari sisi internal dan eksternal, antara lain:
Pertama, faktor internal. Beberapa hal yang dominan mempengaruhi kadar ketergantungan atas kebutuhan energi di Indonesia meliputi: (1) terbatasnya kilang minyak. Hingga kini, kita cuma memiliki 6 buah kilang yang berada di Balikpapan, Sorong, Balongan, Cilacap, Dumai dan Plaju. Semenjak 1994-an memang tak ada lagi penambahan (dan pembangunan) kilang, meski rencana bahkan studi kelayakan pernah dan telah dilakukan. Tak layak, atau karena ada power lain yang menghalangi?
(2) berperannya jaringan Mafia Ekonomi dimana mereka dapat mempengaruhi policy bidang energi di Indonesia, ketika terbetik kabar bahwa ‘mafia’ ini yang menghambat gerak laju pembangunan kilang melalui jaringannya, memang perlu pendalaman lebih jauh; (3) belitan skema ekonomi neoliberalisme yang kian meraja-lela di republik ini, dan (4) berlangsungnya praktek-praktek Mafia Migas di dunia perminyakan nasional.
(5) praktik liberalisasi itu yaitu dengan disahkannya Undang-undang Migas No. 22 Tahun 2001 yang draftnya dibuat oleh USAID dan didukung oleh IMF serta Bank Dunia kemudian disahkan oleh anggota DPR, UU itu jelas-jelas mengokohkan liberalisasi sektor migas yaitu melepaskan monopoli negara atas migas melalui BUMN dalam hal ini Pertamina kepada swasta.
Kedua adalah faktor eksternal. Keberadaan The Seven Sisters. Tak bisa dipungkiri, bahwa kuku-kuku korporasi (MNCs) global milik adidaya dunia telah kuat tertancap investasinya di Indonesia. Lonjakan harga dan gejolak pasar minyak beberapa tahun terakhir seolah memberi amunisi bagi era kebangkitan dan bermunculannya pemain-pemain global baru di bidang minyak dan gas dari negara-negara berkembang. Tidak sedikit di antara mereka adalah badan usaha milik negara.
Selama ini, industri minyak dunia dikuasai oleh tujuh perusahaan minyak raksasa dari negara maju, yang sering dijuluki sebagai ”The Seven Sisters”. Ketujuh pemain besar dari negara maju ini adalah Exxon, BP, Royal Dutch Shell, Mobil Oil, Texaco, Gulf, dan Chevron. Mereka sangat kuat karena menguasai sekitar 40 persen pasokan minyak dunia.
Alasan mengapa ’The Seven Sisters’ begitu penting adalah karena mereka yang membuat aturan (rule makers), mereka menguasai industri dan pasar. Kini, Seven Sisters yang baru yang membuat aturan dan perusahaan-perusahaan minyak internasional itu hanya menjadi pengikut (rule takers), ujar Robin West, Chairman PFC Energy, sebagaimana dikutip harian Financial Times. Dulu, ketujuh perusahaan minyak raksasa ini mengambil alih dominasi dan kepemimpinan pasar dari ”Seven Sisters” (julukan yang pertama kali diberikan oleh pakar energi Italia Enrico Mattei) generasi pertama, yang menguasai industri minyak dunia pasca-Perang Dunia II.
Taqiyuddin An Nabani mengingatkan, “Penjajahan merupakan metode baku kapitalis sedang yang berubah hanya cara dan sarananya” (1977). Tak boleh dielak siapapun, bahwa skema (dan tujuan) kolonialisme dimanapun-sampai kapanpun dipastikan tak akan pernah berubah, yaitu penguasaan ekonomi dan pencaplokan sumberdaya alam (SDA) negara target melalui cara mencari bahan baku semurah-murahnya dan menciptakan pasar seluas-luasnya. Ini yang mutlak ditanam di benak kita.
Merujuk statement An Nabhani, bahwa perilaku offensive geopolitik modern yang dikembangkan Barat ialah menguasai ekonomi dan SDA di negeri target menyamar (dan menumpang secara gelap) pada gerak investasi, manajemen konflik, capacity building, atau kalau perlu secara terang-terangan melalui militer sebagaimana invasi koalisi militer pimpinan Amerika (AS) di Irak (2003-2012) dan Afghanistan (2001-20013) dengan aneka dalih, bahkan agaknya model tersebut terus berlanjut hingga kini melalui pintu (isue) baru bertajuk Islamic State of Irak and Syam (ISIS).
Ia juga sering berkedok gerakan massa mengatasnamakan HAM, demokrasi, pemimpin tirani atau kadang-kadang via pintu bencana sebagaimana kasus di Haiti, ataupun cover memerangi wabah penyakit (Ebola, Flu Burung) ala ‘pendudukkan’ di Afrika, dll. Bagi pemimpin yang sadar akan (geopolitik) potensi kekayaan alamnya, niscaya tidak mau diatur oleh kolonialisme global melalui tangan dan kaki-kaki Multinational Corporations (MNCs) serta variannya.
Pintu masuk paling gampang di negara berkembang memang isue demokrasi, korupsi,freedom, intoleransi, dsb karena racun-racun global itu sudah “diterima” masyarakat internasional di berbagai negara, akan tetapi sering juga via manajemen konflik berupa adu domba (devide et impera) di negeri yang diincar SDA-nya.
Setelah timbul konflik, tahap berikutnya adalah “intervensi” atas nama capacity building, atau bahkan operasi militer berdalih pembelaan HAM, mengejar ISIS, menegakkan intoleransi dari salah satu pihak yang berkonflik di dalam negeri tersebut. Itulah sisi lain cara “investasi asing” dari perspektif kolonialisme di sebuah negara bila dicermati secara benar.
Sebagai penegasan, liberalisasi sektor hilir (sektor niaga dan distribusi) setelah liberalisasi sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) telah sempurna dilakukan. Liberalisasi migas adalah penguasaan yang lebih besar kepada swasta (asing) dan pengurangan peran negara. Kebijakan seperti ini jelas akan sangat merugikan dan menyengsarakan rakyat yang notabene adalah pemilik sumberdaya alam itu sendiri. Liberalisasi dilakukan untuk memenuhi tuntutan pihak Asing. Dan untuk itu, pemerintah tega mengabaikan aspirasi mayoritas rakyatnya. [syahid/voa-islam.com]
Penulis: Umar Syarifudin – Syabab HTI