View Full Version
Kamis, 30 Jun 2016

Ahox dan A Hoax Democracy

Oleh: Hanif Kristianto (Analis Politik dan Media)

Jagad politik Indonesia senantiasa menarik dan penuh intrik. Selesai satu episode berlanjut episode berikutnya dengan lakon berbeda. Parodi politik ini dimainkan dalam bentuk drama yang menjadi tontonan publik. Rakyat yang tak mengerti peristiwa politik, hanya melihat kepongahan elit politik. Hasilnya, rakyat kian gelisah dan tidak percaya dengan orang yang mengkalim pembela wong cilik. Alam demokrasi hanya menjadikan rakyat sebagai stempel duduk di kursi kekuasaan.

Dalam kegelapan informasi politik, publik hanya mengandalkan media massa. Mengingat media massa memiliki fungsi klasik sebagai pembentuk wacana pendapat umum (public opinion). Media massa dengan kemampuannya dalam membuat agenda, dapat memancing perhatian publik untuk menyatakan: “apakah ia setuju atau tidak terhadap gagasan yang dilemparkan oleh media massa?”. Perlu diingat, media massa saat ini masuk pada zona konglomerasi segelintir pemodal. Tak heran suatu saat bersanding dengan penguasa. Di saat lain bersebrangan dengan penguasa. Semua bergantung konsensi dan arah angin keberuntungan untuk menghinakan dan memuliakan seseorang.

Kehebatan media dalam memengaruhi pendapat umum dapat dilihat dalam fenomena Ahok (Basuki Tjahaja Purnama/BTP). Gubernur Jakarta itu menjadi fenomena baru dalam alam demokrasi. Bagaimana tidak, berangkat dari Belitung Timur, lalu gagal di Medan, ternyata dapat hoki di Jakarta. Sikap ‘garangnya’, buka-bukaan, dan keberaniannya menjadi daya tarik bagi pemuda dan rakyat yang tidak berideologi dan hedonis. Para pemuja media sosial dan Ahoker membranding sosok Ahok, seolah menjadi idaman pada tahun 2017.

Tak sedikit, rakyat yang sejatinya memendam amarah melampiaskannya dengan membuka kedok Ahok. Penggusuran yang dilakukan dengan menggunakan tangan kepolisian dan tentara dikritisi oleh beberapa elemen masyarakat Jakarta. Bahkan untuk memberi tandingan sepadan dimunculkanlah Gubernur Muslim Jakarta (GMJ). Hal ini sebagai bentuk ‘kegeraman’ dan ‘kengerian’ dengan sikap pemipin yang jauh dari welas asih dan peneduh rakyat. Apakah Ahok berhenti? Ternyata tidak. Ahok memainkan jurus kungfu lainnya, seolah-olah selalu ada yang baru dan wow!

 

A Hoax Democracy

Demokrasi memang menipu(hoax). Mau bukti? Sudah banyak bertebaran dan menjadi korban dari tipuan demokrasi. Ahok pun sudah membeberkannya terang benderang. Ahok mengeluarkan pernyataan: “Pak Jokowi tidak akan bisa jadi Presiden kalau tidak disokong pengembang ”, “Podomoro sudah setor Rp 2 Triliun lebih untuk izin reklamasi”,”saya pengen bilang, Pak Jokowi tidak bisa jadi Presiden kalau ngandalin APBD. Saya ngomong jujur kok. Jadi selama ini kalau Bapak Ibu lihat yang terbangun sekarang, rumah susun, jalan inspeksi, waduk semua itu full pengembang. Kaget nggak?” Pernyataan Ahok mengingatkan pada komedi putar. Rakyat saat ini dibuat terperanjat oleh sikapnya dan tertawa mengetahui topeng penguasa sesungguhnya.

Istilah Demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat tidak berlaku lagi. Teori usang demokrasi itu berubah dari rakyat, oleh segelintir elit, untuk kepentingan elit dan pemodal. Mustahil demokrasi tanpa modal dan uang. Di tengah arus matrealisme, keuangan menjadi asas pertama. Rakyat pun tidak ambil pusing. Ada uang abang disayang dan dipilih, tak ada uang abang ditendang. Politik demokrasi seperti judi. Modal cekak jangan coba-coba cari peruntungan, bisa-bisa dapat pentungan.

Hoax demokrasi sesungguhnya akan diucapkan oleh elit penguasa dalam tindakan dan pikirannya sendiri. Ahok sudah membuktikannya, ketika ada yang tidak setuju dengannya media menulis dengan sebutan Gubernur Podomoro. Kemunculan kasus reklamasi pantai utara Jakarta, RS Sumber Waras, Penggusuran di bantaran kali dan beberapa kampung, serta skandal bus Trans Jakarta sesungguhnya pukulan telak bagi pelaku demokrasi. Ahok merupakan salah satu produk demokrasi yang gagal dan menipu. Jika hal ini terjadi, yang salah bukan saja orangnya tapi juga sistem demokrasi itu sendiri.

Kondisi seperti ini hendaknya menyadarkan kepada publik di seantero jagad bahwa ungkapan demokrasi itu Islami dan Islam itu demokrasi telah runtuh. Jangan mengaitkan demokrasi hanya dari segi musyawarah, namun pada faktanya rakyat tidak pernah diajak bermusyawarah. Justru yang terjadi, elit bermusyawarah dalam kebatilan untuk mengamankan diri, kelompok, kawan yang berjasa, dan bisnisnya dari jeratan hukum. Ngakunya di depan rakyat ini negara hukum, namun mereka sendiri tak taat hukum. Inilah bukti kesekian kali negeri ini diatur dengan hukum rimba.

Tingkah pola dan manuver Ahok dapat menjadi kartu truf untuk membongkar cabal (jejaring) oligarki yang memimpin negeri ini. Ditambah lagi dengan statemen anti asing, aseng, dan asong. Hal ini menunjukan bahwa negeri ini tak lepas dari pengaruh pemodal asing AS, Rusia, dan Barat, tapi juga dari pemodal Timur seperti China, Jepang, dan Korea. Publik pun akhirnya menyadari bahwa penguasanya adalah asong (dagang) negeri ini atas nama konstitusi dan legislasi. Sungguh menyedihkan.

Hal yang lebih penting sebagai peringatan dini (early warning) bagi penguasa adalah dalam sejarah kekuasaan tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan tanpa dukungan rakyat. Kekuasaaan seorang raja atau presiden bagaimanapun kuatnya akan runtuh manakala rakyatnya sudah tidak mendukung pemerintahannya. Jatuhnya Presiden Soeharto, Presiden Idi Amin di Uganda, kaisar Haila Silassie di Ethiopia, Presiden Marcos di Filipina, Presiden Saddam Husein di Irak adalah bukti sejarah bahwa kekuasaan bisa ditumbangkan oleh kehendak orang banyak, sekalipun pemerintahan itu dijalankan dengan cara-cara diktaktor.

Tampaknya di Indonesia kejatuhan rezim itu tidak lama lagi. Asalkan muncul kesadaran bahwa penguasa negeri ini tidak betul-betul melayani rakyatnya. Karpet merah tak layak diinjak kaki-kaki rakyat menuju istana. Karpet merah hanya layak untuk mereka yang bersepatu dan berdasi yang hendak merenggut negeri ini. Saatnya publik sibuk membuat opini untuk membongkar setiap manuver dan makar penguasanya.

Gunakan segala daya upaya yang ‘low cost’ (sedikit biaya) dan ‘high impact’ (luas pengaruh). “Public opinioin is often described as a controlling force” dan juga “public opinion as the great source of power”.(Opini publik seringkali dijelaskan sebagai kontrol kekuatan dan opini publik sebagai kekuatan yang maha dahsyat). Tetap eling lan waspada. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version