View Full Version
Kamis, 30 Jun 2016

Terintimidasinya Umat Islam pada Kasus Ibu Saeni

Sahabat VOA-Islam...

Donasi untuk Ibu Saeni, pengusaha warung makan yang dagangannya disita Satpol PP Serang telah ditutup pada tanggal 12 Juni 2016. Jumlah uang yang terkumpul adalah Rp. 265.534.758 Dengan total 2.427 (Dua Ribu Empat Ratus Dua Puluh Tujuh) Donasi, (merdeka, 12/06).

Sebelumnya diberitakan, sebuah warung makan di Serang, Banten, milik seorang perempuan berusia lanjut dirazia Satpol PP, Jumat (10/6). Ibu tersebut memohon sambil menangis agar semua dagangannya tidak disita. Peristiwa ini mendapat perhatian luas dari masyarakat, khususnya pengguna media sosial. Banyak kecaman atas tindakan penertiban itu dan muncul gerakan untuk menyalurkan donasi bagi ibu pemilik warung yang dirazia tersebut.

Pemberitaan razia warung ibu Saeni tidak hanya ramai diperbincangkan di dalam negeri saja, bahkan di beberapa negara. Membaca headline news di google tentang ibu Saeni setidaknya, ada 7 negara international memuatnya menjadi headline news dengan poto wajah ibu Saeni yang menangis, sungguh angle yang  sempurna. Negara-negara itu adalah Inggris, Belanda, Thailand, Malaysia, Singapur, Australia, Hongkong, Taiwan, semua seragam judulnya "Ramadan Raid". Kesannya Indonesia yang mayoritas muslim dengan keras memaksa masyarakatnya untuk berpuasa.(diantaranya: http://www.channelnewsasia.com/news/asiapacific/ramadan-raid-on-frail/2867548.html).

Kejadian ini berawal dari penerapan perda kota serang yaitu Perda Nomor 2 Tahun 2010 yang mengatur larangan bagi setiap pengusaha restoran, rumah makan atau warung dan pedagang untuk menyediakan tempat dan melayani makanan dan minuman pada siang hari selama bulan Ramadhan. Aturan sosial itu sebenarnya sudah menjadi kearifan lokal masyarakat Banten dan juga sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal.

Persoalan utama bukan pada regulasi lokal terkait larangan berjualan makanan tetapi cara penindakan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang yang cenderung kurang santun. Karena cara Satpol PP yang kurang santun saat itulah sebenarnya yang menimbulkan kemarahan masyarakat. Namun belakangan ini video razia warteg ibu saeni yang menjadi viral di media sosial, menimbulkan opini lain di masyarakat. terbangun opini bahwa arah perda syariah itu mengancam kebhinekaan, berbau diktator, diktator mayoritas dan tidak adil. Umat islam yang berpuasa dianggap tidak toleransi terhadap orang yang tidak berpuasa, dengan kejam melarang pemilik warung berjualan di bulan puasa dan dianggap menutup penghasilan pemilik warung. opini masyarakat tersebut seolah menyudutkan umat islam. Padalah kenyataanya pemilik warung tidak dilarang selama 24 jam penuh dalam sehari untuk tidak berjualan, mereka hanya dilarang untuk berjualan di siang hari saja.

Masyarakat menunjukan simpati luar biasa terhadap korban razia oleh satpol PP kabupaten Serang. Hanya melihat dari sisi kemanusiaan saja. Tidak melihat maksud dari adanya aturan pelarangan berjualan makanan di siang hari, adalah salah satu cara untuk menjaga ibadah puasa masyarakat maksimal dan kondusif. Termasuk jual beli yang berdosa apabila menjual barang dimana penjual tahu bahwa barangnya akan digunakan orang untuk maksiat, atau jual-beli itu untuk memberi makan orang Muslim baligh di siang hari.

Begitu pula tidak boleh menjual makanan kepada orang yang terkena kewajiban puasa, yang diperkiran makanan itu akan dimakan di siang bulan Ramadhan. Apakah semua pemilik warung makanan yang buka disiang hari melayani pembeli (makan ditempat) dengan menanyai agama mereka terlebih dahulu, tentulah akan sangat jarang sekali hal ini dilakukan. Pelarangan berjualan makan di siang hari pada bulan ramadhan ini, selain memaksimalkan ibadah puasa masyarakat, juga menjaga agar para penjual makanan tidak melakukan dosa.

UUD ’45 pasal 29 juga menjelaskan : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Artinya, orang yang menjalankan agama itu berhak dilindungi. Hal-hal yang mengganggu, negara wajib mecegahnya. Termasuk hal yang dapat mengganggu menjalankan puasa. Inilah kewajiban negara, mendidik warganya menjadi orang yang taat agama, bukan mendidik melanggar agama.

Semestinya pemerintah tidak hanya merazia, tapi membangun suasana ruhiyah Ramadhan di semua kalangan tidak saja hanya pada penjual makanan. Kisruh razia penjual makanan di di siang hari di bulan ramadhan tidak akan terjadi manakala, negara menerapkan syariat islam secara tegas. Tidak akan ada lagi perdebatan atas kasus serupa yang hanya berlandaskan kasihan atau hanya simpati. Mengenyampingan aturan syariat, logika sosial yang digunakan dan bukan lagi logika agama yang dikedepankan.

Masyarakat akan secara sadar dengan sendirinya, bagi yang melanggar/tidak melaksanakan kewajiban sebagai umat islam memang harus ditegur atau bahkan diberi hukuman. Saling mengingatkan, tidak acuh terhadap satu sama lain, karena pada dasarnya beriman itu tidak bisa sendiri, ada kewajiban setiap individu mengingatkan dan mengajak yang lainnya kepada kebenaran. Wallahu ‘alam bish Showab[syahid/voa-islam.com]

Kiriman Dewi Linanti, Bandung


latestnews

View Full Version