Oleh: Eka Rahmi Maulidiyah
(Mahasiswi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya)
Peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari kondisi penerus bangsanya yaitu pemuda. Pemuda merupakan aset negara untuk mewujudkan perubahan. Pemuda adalah agent of change. Namun, miris melihat kondisi pemuda saat ini. Pemuda mengalami krisis moral sehingga banyak kerusakan yang ditimbulkan.
Banyak pemuda yang senang minum-minuman keras, tawuran, berjudi, pemuda menjadi pemakai dan pengedar narkoba, pemuda melakukan pemerkosaan beramai-ramai, banyak pemuda yang sudah tidak perawan lagi, banyak pemuda yang melakukan aborsi, banyak pemuda yang melakukan seks pra-nikah dengan senang hati, banyak pemuda yang terkena HIV/AIDS, pemuda suka berfoya-foya dengan gaya hidup hedonis, dan masih banyak lagi kerusakan yang dilakukan oleh pemuda.
Coba kita telusuri lebih lanjut dari segi pendidikan yang diterima oleh pemuda. Pendidikan yang ada pada SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi hanya diarahkan agar menjadi pengisi pasar. Mereka hanya diarahkan agar setelah menempuh pendidikan setinggi-tingginya outputnya untuk bekerja, bekerja, dan bekerja. Mereka hanya diarahkan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang setinggi-tingginya. Uang yang banyak dijadikan sebagai sumber utama kebahagiaan. Mereka tidak diberikan bekal moral, yang mana hanya akan didapatkan jika mereka diberikan pendidikan agama. Iya, benar. Memang ada mata pelajaran agama atau mata kuliah agama. Namun, apa sih sebenarnya yang diajarkan? Yang diajarkan hanyalah terkait ibadah ritual semata, shalat, zakat, puasa, haji. Mereka tidak diajarkan bahwa agama juga mengatur kehidupan manusia secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan oleh sistem pendidikan sekuler yang diterapkan saat ini.
Pendidikan sekuler memandang nilai-nilai Islam dan aturan-aturan Islam tidak ada. Mereka sama sekali tidak digunakan dalam kehidupan. Dari penerapan pendidikan sekuler, lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai dan aturan-aturan Islam. Pemuda diberikan pengertian bahwa terdapat 4 kebebasan dasar dalam hidup, yaitu kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan berperilaku, dan kebebasan berkepemilikan.
Pemuda dibebaskan ingin beragama apa saja. Hari ini mau beragama Islam, besok mau beragama Kristen, boleh. Mau beragama atau tidak, silakan. Pemuda diajarkan bahwa semua agama itu baik. Tidak ada yang tidak baik. Ini merupakan suatu hal yang ambigu, tidak jelas. Benarkah semua agama benar? Apa buktinya?
Pemuda dibebaskan dalam berpendapat. Mau berpendapat untuk membelokkan akidah seseorang, boleh. Mau berpendapat apa saja boleh. Asal tidak mengganggu kebebasan orang lain, pendapat apapun boleh disampaikan entah berlawan dengan agama, menghina nabi, atau menggadaikan keyakinan. Tentu hal ini tidak patut dibiarkan.
Pemuda bebas dalam berperilaku. Hampir semua orang menggunakan alasan kebebasan berperilaku dalam melakukan free sex. Apalagi jika perbuatan tersebut dilandaskan atas dasar suka sama suka. Hal tersebut tidak dilarang, malah dilindungi oleh HAM. Mereka yang melakukan free sex atas dasar suka sama suka tidak akan dikenai hukuman.
Pemuda dibebaskan dalam berkepemilikan. Mau punya pulau pribadi? Boleh. Mau menguasai gunung emas? Boleh. Mau memiliki kekayaan sebanyak-banyaknya? Boleh. Padahal seharusnya manusia tidak boleh menguasai harta milik umum yang digunakan untuk kemaslahatan banyak orang, bukan hanya satu orang saja.
Untuk menghindari pendidikan sekuler yang salah kaprah tersebut, dibutuhkanlah peran orang tua. Orang tua sebagai panutan anaknya dalam melakukan aktivitas apapun. Orang tua berperan besar dalam pendidikan anaknya. Apalagi, ketika anaknya masih berusia dini. Menurut Fasli Jalal, Ph.D, Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda, Depdiknas, pendidikan di usia dini merupakan pondasi yang amat kuat dalam menentukan perkembangan selanjutnya. Maka dari itu, ”Kalau tidak baik pondasi yang kita bangun di usia dini, bangunan tidak akan kokoh.”
Sebelum pemahaman anak disusupi oleh pemahaman sekuler, orangtua harus menanamkan akidah yang benar terlebih dahulu kepada anak. Hal ini ditujukan agar anak-anak menjadi penerus bangsa yang hebat, yang taat kepada Allah SWT dan aturan-aturan-Nya, yang melahirkan peradaban Islam seperti zaman Kekhilafahan Umayyah, Abasiyah, dan Utsmaniyah.