Oleh: Edy Mulyadi*
Kopi Diusulkan Masuk Bursa. Begitu judul berita di sebuah harian nasional edisi awal pekan silam. Berita ini bersumber dari Ketua Kompartemen Industri dan Specialty Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (EAKI) Pranoto Sunaryo. Menurut dia, pelaku industri kopi ingin mengikuti jejak timah. Sejak pertengahan 2013, ekspor timah memang wajib didahului dengan transaksi di bursa berjangka sebagai salah satu mekanisme pembentukan harga.
Gagasan memasukkan kopi ke bursa tentu sah-sah saja. Ada sejumlah benefit yang bakal dipetik dari sini. Salah satu yang utama adalah, terbentuknya harga (price discovery) yang bakal menjad referensi bagi para pemangku kepentingan. Mereka ini antara lain, petani, pabrikan atau produsen kopi olahan, dan pedagang.
Yang dimaksud pedagang itu sendiri bisa dibagi dua. Pertama, pedagang fisik, yaitu mereka yang bersinggungan langsung dengan biji-biji kopi. Mulai dari pedagang pengumpul di tingkat petani sampai eksportir ke manca negara. Kedua, para pedagang di bursa yang bertranskasi tidak untuk kepentingan lindung nilai (hedging). Mereka inilah para risk taker alias spekulator yang membuat bursa jadi hidup dan ramai.
Singkat kata, kopi masuk bursa; yes! Tapi masalahnya menjadi berbeda, jika masuknya kopi ke bursa itu bersifat mandatory alias wajib. Apalagi, seperti dikutip dalam berita tersebut, Pranoto jelas-jelas terobsesi ingin mengulang sukses timah yang wajib melenggang ke bursa sebelum diekspor.
Beda karakteristik
Meng-copy paste sukses timah untuk kopi rasanya tidak pas. Setidaknya ada beberapa hal yang harus didudukkan dengan clear terlebih dahulu. Karakteristik timah di Indonesia sama sekali tidak serupa dengan kopi. Dari sisi volume, misalnya. Indonesia tercatat sebagai produsen timah terbesar kedua di dunia, setelah China. Pada 2014, total produksinya mencapai 66.000 metrik ton. Dari sisi ekspor, Indonesia malah bisa disebut sebagai eksportir timah terbesar di dunia. Dari jumlah tersebut, yang dikonsumsi di dalam negeri hanya 5% dari produksi.
Berbeda dengan China. Sebagai produsen timah terbesar dunia, Negeri Tirai Bambu tersebut memakai hampir seluruh hasil tambang timahnya untuk keperluan industri dalam negeri mereka. Padahal China menghasilkan 168.000 metrik ton.
Dengan peta seperti itu, Indonesia memang menjadi negara teramat penting dalam jagad pertimahan internasional. Bila kita mengurangi pasokan timah sebesar 50% saja per tahun, maka pasar dunia akan kalang kabut.
Sayangnya hal serupa tidak terjadi pada kopi. Sampai 2014, Indonesia memang masih menduduki peringkat keempat produsen dunia, dengan jumlah produksi 9,35 juta bag (@60 kg). Tapi angka itu tidak semestinya membuat kita bangga. Pasalnya, dibandingkan dengan Brazil yang jadi produsen nomor wahid, produksinya mencapai 45,342 juta bag. Jadi, angkanya benar-benar njomplang.
Bahkan, dibandingkan dengan posisi kedua dan ketiga yaitu Vietnam dan Kolombia yang masing-masing menghasilkan 27,5 juta bag dan Kolombia 12,5 juta bag saja, kita masih tertinggal jauh. Artinya, di ranah kopi internasional, Indonesia benar-benar tidak layak jual lagak.
Berbekal fakta tadi, adalah terlalu bersemangat (untuk menghindari kata: berlebihan) mewajibkan kopi masuk bursa sebelum diekspor. ‘Prosedur tambahan’ dalam mata rantai kegiatan ekspor seperti ini bukan mustahil justru menjadi ‘hambatan’ baru pasokan kopi Indonesia ke pasar internasional. Jika ini benar-benar terjadi, jangan menyesal bila pangsa pasar yang terganggu arusnya itu akan diisi negara-negara pesaing.
Harga premium
Persoalan lain yang harus diperhitungkan adalah, wajibnya kopi ke bursa sebelum otomatis akan menghapus harga premium yang selama ini diterima eksportir. Asal tahu saja, hubungan buyers dan eksportir kopi memang sangat unik. Mereka tidak segan-segan memberi ‘bonus’ di atas harga pasar, jika eksportir mampu memenuhi keinginannya. Di kalangan pelaku internasional, kopi jenis ini biasa disebut sebagai specialty coffee.
Yang disebut pesanan atau keinginan buyers ini benar-benar subjektif. Sama sekali tidak bisa distandarisasi apalagi digenerikkan. Biasanya, unsur-unsur keinginan itu meliputi cara penanganan pasca panen, penguasaan jalur distribusi atau daerah penghasil kopi, dan lainnya.
Dengan masuk bursa, hal-hal spesifik semacam itu atau specialty coffee dipastikan bakal hilang. Pasalnya, semua kopi yang masuk harus memenuhi standar yang telah ditetapkan. Itulah sebabnya harga premium yang selama ini dinikmati eksportir juga bakal menguap.
Padahal, justru di bidang specialty coffee inilah Indonesia menjadi jagoan. Tidak banyak negara yang mampu menandingi, apalagi mengalahkan. Bahkan tidak juga Brazil dan Kolombia sekali pun.
Tidak percaya? Simak saja cerita sukses Indonesia yang berhasil menyabet transaksi kopi senilai US$18 juta atau sekitar Rp240 miliar dari ajang pameran kopi Specialty Coffee Association of America (SCAA) Expo 2016 di Atlanta, Georgia, 14-17 April 2016, silam. Asal tahu saja, jumlah itu diperoleh hanya dari perusahaan-perusahaan Amerika Serikat saja.
Data lain yang menggembirakan, ekspor kopi Indonesia ke AS untuk periode Januari-Februari 2016 naik 17% ketimbang periode yang sama tahun sebelulmnya. Selain ke Amerika, promosi ekspor kopi Indonesia juga dilakukan di negara-negara lain, di antaranya ke wilayah Eropa.
So, baiknya jangan gegabah mewajibkan kopi masuk bursa sebelum diekspor. Kalau sifatnya optional, bukan mandatory, itu ok saja. Pemerintah harus menghitung baik-baik segala sesuatunya dari segala aspek dan sisi. Pelajari dan pastikan plus-minusnya. Jangan sampai sebuah keputusan yang diambil harus ditarik lagi hanya karena justru menimbulkan kerugian yang menyakitkan. [syahid/voa-islam.com]
*)Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)