Oleh: Mariyatul Qibtiyah*
Sebentar lagi, lebaran akan tiba. Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang lebaran akan terjadi arus mudik ke berbagai daerah di pelosok nusantara.Dari tahun ke tahun, jumlah pemudik semakin meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah orang yang bekerja atau melanjutkan pendidikannya ke kota-kota besar. Hal ini terjadi terutama karena kurangnya lapangan pekerjaan dan tidak adanya perguruan tinggi negeri di daerah.
Meningkatnya jumlah pemudik, belum diimbangi dengan meningkatnya layanan transportasi. Mulai dari alat transportasi yang kurang layak, jumlah penumpang yang melebihi kapasitas, sopir yang ugal-ugalan, banyaknya tindak kriminal, dan jalan yang rusak.
Menyediakan layanan transportasi umum yang nyaman dan aman merupakan tanggung jawab negara. Hal ini bisa diwujudkan melalui salah satunya adalah pembangunan infrastruktur yang baik. Secara nasional, jumlah jalan yang dibangun dianggap belum sesuai dengan kebutuhan. Pembangunan jalan semestinya disesuaikan dengan jumlah penduduk dan jumlah kendaraan yang melewatinya. Menurut pengamat otomotif, Soehari Sargo, di Indonesia panjang jalan hanya 160 km/1 juta penduduk. Sementara di Thailand atau Korea mencapai 800 km/1 juta penduduk. Di Jepang, panjang jalan bahkan mencapai 6000 km/1 juta penduduk (otosia.com, 1 September 2011).
...Menyediakan layanan transportasi umum yang nyaman dan aman merupakan tanggung jawab negara. Hal ini bisa diwujudkan melalui salah satunya adalah pembangunan infrastruktur yang baik...
Permasalahan jalan tidak terlepas dari pembahasan tiga hal, yakni penganggaran dan perencanaan jalan, pelaksanaan peruntukan jalan, dan mekanisme kewenangan pengelolaan jalan.Pertama,perbaikan jalan tergantung anggarannya. Pengalokasian anggaran pun harus melalui proses panjang, sehingga perbaikan jalan terkesan lama. Penganggaran proyek perbaikan jalan mengikuti penetapan anggaran tahunan kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang proyek yang biasanya dilakukan pertengahan tahun membuat pembangunan jalan praktis dimulai pada akhir tahun. Dana yang keluar pada musimpenghujan membuat kualitas aspal tidak cukup bagus.
Kedua,kerusakan jalan terkait konsistensi pelaksanaan peraturan pemakaian jalan, seperti jumlah muatan kendaraan maupun stratifikasi jalan. Stratifikasi jalan 1, 2, dan 3 tergantung pada kapasitas kendaraan, tetapi hal ini sering dilanggar. Seperti truk kelebihan muatan tidak pernah diturunkan muatannya di pos penimbangan jalan demikian juga pada stratifikasi jalan ketiga yang berada di daerah perumahan tetapi masih dilewati truk dan bus, sehingga jalan tersebut cepat rusak.
Disamping itu menurut Departemen Perhubungan (Dephub) kerusakan jalan yang terjadi belakangan ini bukan hanya akibat kelebihan muatan dan bencana alam. Kerusakan justru lebih banyak disebabkan oleh konstruksi jalan yang tidak memenuhi standar baik menyangkut kepadatan tanah, beton, dan aspal. Kerusakan lain adalah akibat sistem pengendalian air (drainase).
Ketiga,mekanisme kewenangan pengelolaan merupakan hal penting bagi efektifitas pengelolaan jalan. Di Indonesia persoalan kewenangan memperbaiki jalan terkotak-kotak. Dalam satu wilayah atau kota, penyelenggara dan penanggungjawab perawatan dan perbaikan jalan bisa berbeda-beda tergantung status jalan. Pembagian jalan mengikuti status jalan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Inilah yang sering membuat nasib jalan terkatung-katung karena lemahnya koordinasi dan beban anggaran yang diluar kemampuan penyelenggara jalan.
Memberikan Pelayanan publik Berkualitas Merupakan Tanggung Jawab Negara
Sistem transportasi yang terintegrasi telah lama dimiliki umat Islam. Jalan-jalan dibangun secara terencana, menghubungkan ibu kota negara dengan kota-kota lain. Selain itu, berfungsi pula menopang kegiatan komersial, sosial, administratif, militer, dan sejumlah hal lainnya. Hal ini tidak terlepas dari sistem politik Islam yang diterapkan oleh negara pada saat itu. Sistem yang memiliki keunggulan karena berasal dari Allah SWT sehingga bersifat pasti dan struktur pemerintahan sederhana.
Kepala negara memiliki kekuasaan penuh sehingga pemerintahan berjalan efektif dan efisien. Hal ini mampu menciptakan atmosfir ketakwaan yang kuat pada diri penguasa dan aparatnya. Lahirnya tanggung-jawab dan empati yang tinggi terhadap persoalan masyarakat, dan bersikap antisipatif dalam segala hal yang akan membahayakan masyarakat.Seperti yang diungkapkan oleh Sayyidina Umar Bin Khaththab RA “Seandainya seekor keledai terperosok di Kota Baghdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir karena pasti akan ditanya oleh Allah SWT, ‘Mengapa kamu tidak meratakan jalan untuknya?’.
Sistem politik Islam menyediakan layanan publik yang berkualitas dalam hal penyediaan infrastuktur jalan maupun jembatan. Ada 5 indikator pelayanan yang harus dipenuhi, yaitu memiliki aksesibilitas, mobilitas, keselamatan, kecepatan dan kenyamanan, Semua itu dapat dilakukan karena : Pertama, mengenai anggaran. APBN di dalam system Islam tidak dibuat dan disahkan setiap tahun karena pos pendapatan dan pengeluarannya telah ditetapkan oleh syariah. Sebagai contoh, pada pengeluaran terdapat pos pembiayaan untuk kemaslahatan dan perlindungan umat. Apabila pos tersebut tidak ditunaikan dapat menimbulkan dharar, termasuk di dalam pos pembiayaan kemaslahatan ini adalah perbaikan jalan umum.
Kedua, kewenangan pengelolaan jalan. Kewenangan pengelolaan jalan tidak terkotak-kotak sebagai jalan nasional-provinsi-kabupaten. Satu wilayah diurus oleh satu penanggungjawab, sehingga publik tidak dipingpong ketika melakukan pengaduan maupun meminta pertanggungjawaban penguasa ketika jalan rusak. Penyelenggara jalan hanyalah satu, yakni Wali/Amil Wilayah yang diangkat oleh pemimpin negara. Wali/Amil dalam melaksanakan kemashlahatan umat dibantu secara teknis oleh diwan kemashlahatan umum.
Ketiga,peraturan mengenai pemakaian jalan.Kepala negara memiliki hak untuk mengatur urusan rakyat. Kepala negara berhak melegislasi hal-hal mubah yang diperlukan untuk memudahkan pengaturan urusan rakyat. Hal-hal yang ditetapkan oleh penguasa otomatis menjadi undang-undang yang wajib secara syar’i dijalankan dan ditaati semua pihak terkait. Misalnya mengenai pembagian pengaturan stratifikasi jalan 1, 2, dan 3 tergantung dari kapasitas kendaraan. Disamping karena faktor keimanan rakyat dan aparat untuk menaati ketetapan hukum penguasa, keberadaan Al-Muhtasib atau qadhi hisbah memeriksa dalam perkara yang termasuk hak umum tanpa menunggu adanya tuntutan termasuk perkara yang menjamin dijalankannya ketetapan tersebut. Sehingga penggunaan jalan yang sesuai peruntukannya akan menjaga keawetan jalan tersebut.
Demikianlah, jika semua hal itu bisa dijalankan dengan baik, persoalan jalan bisa diatasi, kecelakaan bisa dihindari, mudik yang aman dan nyaman pun akan terwujud.(riafariana/voa-islam.com)
*Penulis adalah ibu rumah tangga yang tinggal di Bojonegoro
Ilustrasi: Google