View Full Version
Ahad, 10 Jul 2016

Perda Penjaga Moral Dianggap Aturan Bermasalah

Sahabat VOA-Islam...

Pemerintah menghapus 3.143 peraturan daerah (Perda) yang bertentangan dengan aturan undang-undang, menghambat proses izin, birokrasi, dan investasi, serta membuat Indonesia kesulitan bersaing pada era globalisasi. Menurut Jokowi dalam menghadapi tantangan kebangsaan yang semakin berat ke depan, pemerintah pusat dan daerah harus menjadi satu kesatuan, memiliki visi dan arah tujuan yang sama, serta berbagi tugas.

Perda yang dimaksud dianggap menghambat investasi, memperpanjang birokrasi, tidak sejalan dengan semangat toleransi dan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (aturan di pusat) diantaranya perda bernuansa syariat yang danggap intoleran, perda anti miras (bukan hanya regulasi/pembatasan sebagaimana perpres ditingkat pusat) dianggap menghambat investasi. Perda bernuansa syariat bertujuan menjaga anak bangsa yang tengah dilanda degradasi moral, terutama kaum muda yang sangat mudah terpengaruh dengan kondisi dimana dia hidup dan bersosialisasi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa miras misalnya, menjadi penyebab utama kejahatan ataupun kecelakaan. Pemerkosaan, pembunuhan, dan masih banyak kasus ditengarai karena menegak minuman keras atau minuman beralkohol. Perda syariat datang untuk menjaga atau minimal mengatur pola peredaran miras sehingga tidak jatuh ditangan orang yang salah. Apalagi kita hidup di negeri yang mayoritas adalah kaum muslim, sehingga sudah sangat wajar seharusnya jika pelarangan akan adanya miras itu diberlakukan.

Namun jaman sekarang adalah jaman kapitalis, atas nama toleransi dan investasi, perda miras dianggap bermasalah. Bagiamana dengan turis yang datang dan kebiasaannya minum minuman yang beralkohol? Indonesia di era global seperti saat ini harus bisa menyediakan apa yang pasar inginkan. Tapi tidak terfikir bagaimana jika kaum muda di Indonesia sendiri yang justru mencontoh mereka, menjadikan budaya mereka sebagai budaya kaum muda tanpa bisa memfilternya? Sehingga walhasil rusaklah generasi muda.

Pikiran seperti ini kemudian dikembalikan pada masing-masing individu yang bisa bertahan atau tidak dengan gempuran budaya barat, padahal ada tangan besar yang membuat begitu sulit karena pada kancah kebijakan sistemik. Dan saya tidak bisa membayangkan bagaimana perusahaan akan ‘merasa bangkrut’ jika Indonesia memberlakukan pelarangan miras seperti seruan Allah dalam firmannya: Quran surat Al Maidah ayat 90-91 terkait dengan keharaman khamr atau minuman keras. Seharusnya bukan diatur distribusinya saja alias sebenarnya masih boleh dalam kondisi tertentu, tapi pelarangan secara menyeluruh yang memproduksi, yang menjual dan yang mengkonsumsi secara mutlak. Karena ini adalah perintah Allah yang sangat tegas ada dalam berbagai surat dan hadits.

Namun sekali lagi, era kapitalisme yang mengurat akar menjadikan standar kebijakan bukan pada seruan as syari’ (pembuat hukum yaitu Allah) tapi bagaimana keuntungan akan didapatkan sebesar-besarnya dengan jalur investasi. Sehingga pemerintah berupaya untuk mencabut perda yang dianggap bermasalah. Apakah perda penjaga moral itu bermasalah? Justru yang bermasalah adalah yang berusaha mencabut perda ini demi keuntungan segelintir orang semata atau lebih tepatnya para kapitalis semata.

Ini menambah bukti bahwa semangat penerapan syariat mustahil bisa diwujudkan dalam aturan di level daerah (Perda). Syariat harus diterapkan melalui UU yang berlaku untuk seluruh negeri. Bukan berorientasi pada keuntungan yang akan didapatkan para pemilik modal namun dalam rangka kebaikan seluruh umat manusia dengan diterapkannya syarah islam yang akan mengantarkan pada rahmat bagi seluruh alam. Semestinya disadari dalam sistem demokrasi yang menjadi pijakan pembuatan aturan bukanlah nilai kebenaran dan kebaikan masyarakat, namun kepentingan pemilik modal, investor dan kebebasan.

Saatnya menjadikan pro kontra penghapusan 3143 Perda ini sebagai momentum membangun kesadaran meninggalkan sistem demokrasi dan menghilangkan harapan untuk melaksanakan seluruh syariat dalam bingkai sistem liberal demokrasi. Karena hal ini tidak akan pernah bisa terjadi. Penerapan syariah secara total hanya bisa dalam bingkai negara. Yaitu negara yang melaksanakan syariat dalam naungan khilafah ala min hajj nubuwwah. [syahid/voa-islam.com]

                                                                                                        Kiriman Masyithoh Zahrodien (Mahasiswa UB Malang)


latestnews

View Full Version