Oleh: Sya'roni
(Sekretaris Jenderal Himpunan Masyarakat untuk Kemanusiaan dan Keadilan)
Akhirnya pemerintah pusat melalui Menko Kemaritiman Rizal Ramli yang didampingi sejumlah menteri dan pejabat terkait memutuskan untuk menghentikan secara permanen reklamasi Pulau G yang dikembangkan PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha Agung Podomoro.
Keputusan tersebut sebagai tindak lanjut atas temuan Komite Gabungan Reklamasi Teluk Jakarta yang menyatakan adanya pelanggaran berat yaitu karena banyak kabel-kabel listrik milik PLN, mengganggu lalu lintas kapal nelayan dan tata kelola reklamasi yang merusak biota.
Ada dua pihak yang sangat berang atas keputusan tersebut. Pertama tentu saja pihak pengembang yaitu Agung Podomoro dan pihak kedua adalah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atau yang oleh sebagian pihak didaulat sebagai Gubernur Podomoro.
Argumentasi penolakannya adalah bahwa kabel PLN sudah dipindahkan, sudah tidak ada nelayan yang lewat area pulau G dan proses reklamasi juga tidak merusak biota.
Bahkan Ahok juga menohok Rizal Ramli dengan menyatakan bahwa yang berhak menghentikan reklamasi adalah Presiden Jokowi dikarenakan dasar hukum pelaksanaan reklamasi adalah Kepres dan Perpres.
Dasar hukum yang dimaksud adalah Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Preman dan PKL
Sikap Ahok dan Podomoro yang secara terang-terangan menolak keputusan penghentian reklamasi Pulau G bisa diibaratkan seperti preman dan PKL yang terkena razia. Agung Podomoro diibaratkan sebagai PKL, sedangkan Ahok sebagai preman pemilik kawasan.
'PKL' Agung Podomoro kecewa berat karena merasa sudah mendapatkan izin dan bahkan sudah memberikan kontribusi yang sangat besar sesuai keinginan 'preman' pemilik kawasan. Diantara kontribusinya adalah membangun rusun dan membangun gedung parkir polisi. Bahkan diisukan juga ada aliran dana reklamasi Rp 30 milyar yang mengalir ke teman 'preman'.
Namun sayang 'PKL' Podomoro belum juga menyadari bahwa izin yang dipegangnya ternyata bodong karena belum ada Perda yang mengatur reklamasi dan juga karena Majelis Hakim di PTUN Jakarta pada 31 Mei 2016 telah mengabulkan gugatan nelayan atas Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Nomor 2.238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta kepada PT Muara Wisesa Samudra.
'Preman' yang sudah terlanjur menjamin 'PKL' tentu harus terlihat bertanggung jawab atas terjadinya penggusuran. Maka wajar jika 'preman' tersebut terlihat ngotot melawan adanya penggusuran.
Perlawanan membabi-buta
Perlawanan yang dilakukan oleh 'preman' tentu saja membabi-buta dan tidak terarah karena diliputi kepanikan yang besar. Misalnya melontarkan kekonyolan bahwa yang bisa menghentikan reklamasi hanyalah Presiden Jokowi karena presidenlah yang mengeluarkan kepres sebagai dasar hukum.
'Preman' tidak mengetahui bahwa dalam kasus ini presiden hanyalah pembuat dasar hukum yang berupa kepres dan perpres. Sementara yang mengawal pelaksanaan dasar hukum tersebut adalah aparat bawahan presiden. Sehingga jika ditemukan ada kegiatan yang tidak sesuai dasar hukum maka aparat berhak menghentikan kegiatan tersebut.
Sebagaimana lazimnya penggusuran-penggusuran yang terjadi di Jakarta, Gubernur dan DPRD sebagai pembuat Peraturan Daerah (Perda) tidak pernah terjun langsung memimpin penggusuran. Cukup aparat terkait yang melaksanakan penggusuran atas dasar menjaga marwah Perda.
Apakah di setiap penggusuran bisa berjalan mulus? Kebanyakan pasti ada perlawanan. PKL yang sudah membayangkan kerugian yang sangat pasti habis-habisan menolak penggusuran tersebut. Apalagi kebanyakan PKL merasa sudah 'legal' karena sudah memberi kontribusi kepada preman pemilik kawasan. Padahal faktanya, legal dalam perspektif PKL sejatinya adalah illegal karena berpegang pada izin yang bodong.
Kepret Sang Rajawali
Kepret Menko Kemaritiman Rizal Ramli dalam kasus reklamasi pulau G telah menghidupkan kembali harapan publik. Sebelum ini ada kesan apa yang dikehendaki oleh Ahok dapat berjalan sempurna.
Para nelayan yang menjadi korban reklamasi tadinya juga mulai pupus harapan. Sebagaimana diketahui, para nelayan yang dirugikan adanya reklamasi Pulau G telah melayangkan gugatan ke PTUN dan oleh Majelis Hakim PTUN gugatan tersebut dikabulkan, namun sayang Ahok menganggap remeh keputusan tersebut.
Keluarnya keputusan Menko Kemaritiman Rizal Ramli menutup reklamasi Pulau G telah menghidupkan kembali semangat para nelayan untuk terus melawan kebijakan Ahok. Keputusan tersebut juga bisa dianggap sebagai eksekusi atas putusan Majelis Hakim PTUN. Dan yang terpenting keputusan tersebut telah menggusur ambisi keserakahan di proyek reklamasi. [syahid/voa-islam.com]