Oleh: Niswah Silmi Fatimah
(Mahasiswa Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya)
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) berencana akan mencabut 3.266 peraturan daerah (Perda) larangan miras karena dianggap menghambat investasi dan pembangunan. Meski dengan rencana demikian, Mendagri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa dengan pencabutan perda-perda tersebut bukanlah dapat diartikan bahwa pemerintah mendukung peredaran minuman beralkohol.
Peraturan yang dimaksud, yakni Peraturan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengendalian, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A (Kadar alkohol dari 1-15%). Pemerintah ingin minuman beralkohol tidak dilarang sepenuhnya, melainkan hanya perlu diatur peredaran penjualannya. Perda-perda itu akan berorientasi pada prinsip itu (Kompas.com, 20/5/2016).
Namun setelah ramai di media dan mendapat banyak tanggapan, Mendagri Thahjo Kumolo melalui siaran pers, Sabtu (21/5) membantah telah membatalkan Perda tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol di daerah. (Tribunnews.com, 22/5).
Rencana pencabutan perda miras oleh Kemendagri sebenarnya bukan hanya terjadi baru-baru ini. Pada awal tahun 2012, Kemendagri juga mencabut beberapa Perda Miras dengan alasan menyalahi peraturan yang lebih tinggi, yaitu Kepres No. 3/1997. Dalam Kepres tersebut, minuman beralkohol (minol) hanya diatur dan dibatasi, dan tidak boleh dilarang total. Perda yang melarang total diinstruksikan untuk dicabut. Namun akhir ceritanya ialah kepres tersebut digugat ke Mahkamah Agung (MA) sebagai tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum. Selanjutnya dibuatlah Perpres No. 74/2013 untuk menggantikan Kepres tersebut. Dalam Perpres tersebut dicantumkan bahwa minuman beralkohol golongan A boleh dijual di toko pengecer dalam bentuk kemasan, serta memberikan wewenang kepada bupati atau walikota dan gubernur untuk DKI Jakarta menetapkan pembatasan peredaran minuman beralkohol dengan mempertimbangkan karakteristik dan budaya lokal.
Bila ingin dilihat lebih dalam lagi terkait fenomena pencabutan perda yang mengatur minuman beralkohol telah berulang kali menuai penolakan, maka dapat ditemukan bahwa alasan yang logis dibalik setiap penolakan tersebut adalah tidak sebandingnya keuntungan yang didapatkan dari penjualan miras/minuman beralkohol dengan dampak yang diakibatkannya pada masyarakat baik dari segi sosial maupun kesehatan. Konsumsi alkohol yang berlebihan memiliki berbagai efek negatif seperti: Penurunan kesadaran, kurangnya koordinasi fisik dan mental, gangguan pada ingatan saat mabuk, berbagai komplikasi berkelanjutan akibat konsumsi rutin (seperti kanker, gagal jantung, penyumbatan pembuluh darah, stroke, tekanan darah tinggi, gangguan mental, dan lain sebagainya), hingga paling fatal mengakibatkan kematian. Itu baru efek negatif terhadap kesehatan. Efek negatif terhadap sosial antara lain: Penarikan diri dari lingkungan, maraknya kekerasan dan pelecehan seksual (seperti pada kasus Yuyun), tingginya angka kriminalitas (baik dari manifestasi efek negatif kesehatan maupun upaya ilegal untuk mendapatkan minuman beralkohol), dan masih banyak lagi.
Dampak positif alkohol ialah membuka peluang investor untuk menanam modal, dengan begitu akan membuka lapangan pekerjaan. Sementara apabila dihitung dampak negatif dari biaya perawatan pasien-pasien dengan penyakit terkait alkohol mulai dari penyakit ringan seperti anemia, sampai sirosis hati, depresi, kanker dan lain-lain, juga dihitung dari dampak sosial yang ditimbulkan seperti diperketatnya keamanan (akibat maraknya kriminalitas à yang terkadang menimbulkan jatuhnya korban), serta rusaknya generasi muda terutama. Maka dapat disimpulkan bahwasannya minuman beralkohol seharusnya dilarang konsumsinya karena dampak negatifnya yang begitu luas.
Pertimbangan dalam menentukan keputusan penerapan sebuah aturan tidaklah cukup apabila hanya disandarkan pada penghasilan yang akan didapat, peningkatan investasi ataupun pembangunan. Lebih dari itu, sangat diperlukan visi sebuah negara yang jelas untuk melindungi generasi, menjaga fungsi akal sehingga generasi mampu berpikir kritis dan benar. Bahkan masalah miraspun butuh peran negara untuk mengatasinya.
Suatu negara “pemimpin” yang mampu mengatasi berbagai konflik pelik Indonesia dan dunia, negara tersebut adalah Khilafah Islamiyah yang menggunakan syariat Islam sebagai dasar negara & rambu-rambu untuk mengatur seluruh urusan masyarakat. Ternyata dalam Islam telah ada syariat tentang miras atau khamr, QS Al-Baqarah ayat 219, “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya.” Wallah a’lam bi ash-shawab. [syahid/voa-islam.com]