Sahabat VOA-Islam...
Di era yang sekarang ini, perkembangan teknologi berbasis internet kian melejit. Namun sayang, sesuatu yang bernilai positif ini - seperti kemudahan dalam mengakses informasi- tak ubahnya turut memberikan dampak yang mengerikan pula.
Pokemon Go adalah contoh riil. Permainan yang dikembangkan Niantic Lab bersama dengan Nintendo dan The Pokemon Company mampu menyedot perhatian dunia. Di Indonesia misalnya, meski belum dirilis secara resmi, nyatanya keberadaan aplikasi tersebut sudah menjadi perbincangan hangat di dunia nyata dan maya.
Lantas, apa masalahnya??
Pengamat Sosial dan Budaya Universitas Indonesia, Devie Rahmawati (17/7/16) menyampaikan bahwa 'game online memiliki stimulus yang membuat pemain penasaran dan tertantang'. Hal ini tentu memicu terjadinya adiksi (atau candu) yang berlebihan. Kondisi ini berujung pada kelalaian para gamers. Sebagian besar dari mereka rela menghabiskan waktu berjam jam hanya demi kepuasan sesaat ini. Kemudian dari segi ekonomi pun sama merugikannya. Diberitakan, salah seorang pelajar di Blitar Jawa Timur, tertangkap basah mencuri uang di kantor Kepala Sekolah.
Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena candu game online. Seolah belum cukup, dampak lebih lanjut, mental dan psikologis secara tidak langsung akan terganggu. Tingkah laku pun semakin diluar akal sehat. Terbukti dengan aksi nekat yang gamers lakukan dengan memainkan ponsel di tengah jalan, tanpa memperhatikan keselamatan. Ini tentu berbeda dengan permainan konvensional tanpa alat bantu gadget. Dimana mereka diharuskan melakukan interaksi secara langsung dengan lawan bermain. Sehingga tidak menjadikan mereka sebagai anti sosial.
Namun sayang, rentetan dampak buruk yang terpapar di media media seolah tidak cukup membuat masyarakat, terlebih kaum muslimin sadar bahwa mereka tengah diperbudak dengan permainan semacam ini. Parahnya, sedikitpun tidak pernah terbesit dalam pikiran kaum muslim jika ini merupakan strategi Barat dalam merongrong Islam. Melemahkan pemuda pemudinya, bahkan anak anak muslim yang diharapkan menjadi harapan masa depan pun tidak luput dari target mereka.
Memang benar, sekilas saja tiga objek diatas -game, Islam, dan Barat- seolah tidak memiliki keterkaitan satu sama lain. Namun jika dicermati lebih mendalam, keberadaan game semacam ini adalah salah satu dari tiga point ghazwul fikr yang sedang mereka gencarkan. Food, Fun, and Fashion. Tiga kombinasi yang nyatanya sedikit berhasil menghancurkan kaum muslim secara perlahan. Pemilihan metode halus ini bukan tanpa alasan, melainkan kepahaman mereka tentang kekuatan sejati kaum muslim yang terletak pada Al Quran dan Al Hadist. Kepahaman mereka kaum Barat bahwa Islam tidak akan hancur dengan cara konvensional (seperti militer) jika dua hal tadi masih menancap kuat dalam benak. Sekali lagi mereka paham, bahwa kaum muslim memegang kuat semboyan 'hidup mulia atau mati syahid'. Alhasil, perang pemikiranlah yang mereka jadikan sebagai alternatif. Setidaknya, jika tujuan pemurtadan tidak tercapai, mereka berhasil menjauhkan pemikiran dan akidah Islam dari penganutnya.
Dan lagi lagi, kapitalisme lah yang ada dibalik semua ini. Pelaku industri hanya berorientasi pada pencapaian keuntungan yang sebesar besarnya tanpa menelaah lebih jauh kemungkinan dampak yang menimpa masyarakat. Masyarakat hanya dijadikan tumbal. Konsumen penyuplai kucuran profit bagi mereka. Inilah yang menjadi titik cacat dari ideologi kapitalisme.
Bagaimana pandangan Islam??
Sejatinya, kesenangan psikologis dan hiburan adalah dua hal natural yang ada pada diri manusia. Islam pun tidak melarang pemenuhan tersebut dengan catatan tidak menyalahi hukum syara' dan tidak berlebihan (sesuai porsi). Adapun terkait dengan jenis game ini, setidaknya harus ada 3 komponen yang saling bersinergi. Di lingkup keluarga, orangtua wajib melakukan pengawasan kegiatan anak sekaligus mematok batasan waktu. Perlu ditanamkan pula pemahaman secara continue mengenai fiqh prioritas yang mengajarkan anak ketepatan dalam memilih dan memilah jenis kegiatan.
Disamping itu dibutuhkan kerjasama antarmasyarakat dalam penyampaian opini atau keluhan atas dampak yang mereka rasa. Sehingga keseragaman pendapat ini mampu mendesak aparat pemerintah untuk bertindak cepat dalam upaya pemblokiran game semacam ini. Terakhir adalah peran negara. Yang dalam hal ini semestinya lebih peka mengamati dampak dan lebih tegas dalam penetapan kebijakan. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Maya A,Kedamean, Gresik