Oleh: Novia Darwati, S.Pd.
(Pengurus Lembaga Kajian Islam dan Bahasa Arab “An-nisaa” Surabaya)
Beberapa waktu lalu majalah satir Charlie Hebdo kembali beraksi dengan menghina kaum muslim. Dua kartun yang seolah merujuk pada gambaran sosok muslim dan muslimah tanpa busana menghiasi cover majalah mereka. Ini adalah kesekian kalinya Charlie Hebdo dengan paham kebebasan berpendapatnya (liberalisme) menghina kaum muslimin.
Banyak pendapat yang muncul dalam menanggapi kasus ini. Salah satunya adalah mengenai kemungkinan bahwa apa yang dilakukan redaksi Charlie Hebdo adalah water test bagi kaum muslimin. Water test merupakan teori tentang cara suatu pihak memunculkan isu tertentu untuk mengetahui respon dari obyek yang diinginkan. Sederhananya, jika kaum muslim diam saja ketika Charlie Hebdo menghina dengan hinaan yang menodai kehormatan dan kewibawaan kaum muslim, maka musuh Islam akan tahu seberapa kecil kekuatan kaum muslimin saat ini. Dengan memahami kekuatan lawan, akan lebih mudah mengetahui cara mengalahkannya.
Kekuatan yang Belum Menyatu
Walaupun dari hinaan ini terlihat masih banyak kaum muslimin yang peduli pada kasus tersebut, tapi juga mununjukkan seberapa lemah umat Islam ketika tidak bersatu. Kaum kafir terus-menerus menghina, seolah muslim tak bisa melakukan apa-apa. Pengorbanan demi menjunjung tinggi agama ini sudah dilakukan dengan banyak cara, yang menjadi “tumbal” tidak sekedar harta, tapi nyawa pun menjadi taruhannya. Ternyata semua itu belum lah cukup. Satu hal yang tidak dimiliki kaum muslim saat ini, sebuah kesatuan. Kesatuan dimana kekuatan berasal dari segala penjuru tempat para muslim berada dan berpusat menjadi satu kekuatan utuh. Islam tidak memiliki satu kepemimpinan saat ini. Satu kepemimpinan yang akan menjaga kewibawaan kaum muslim di tengah kaum kafir.
Mari kita kembali menilik sejarah peradaban Islam! Sebelum hijrah ke Mekkah, kaum muslim begitu dihinakan, disiksa, dan lain sebagainya. Namun semua mengalami perubahan yang cukup signifikan setelah Rasul dan para shahabat hijrah ke Madinah. Penduduk Madinah menyerahkan kepemimpinan utuh pada Rasul. Bukan sekedar sebagai kepala suku, tapi sebagai kepala negara. Mulai saat itulah kewibaan Islam tampak begitu jelas. Kekuatan bersatu padu dalam satu kepemimpinan Rasulullah. Tak ada yang berani menghina kaum muslim dan negara Islam, baik ketika dipimpin oleh Rasul sendiri maupun saat telah dipegang oleh para shahabat terpilih dan seterusnya untuk menggantikan kepemimpinan Rasulullah yang telah wafat.
Di sisi lain, sejarah mencatat dengan jelas, bagaimana sosok khalifah Mu’tasim yang mendengar kabar berita seorang muslimah dilecehkan oleh salah satu pemuda kafir Romawi langsung menggerakkan tentaranya mulai dari gerbang ibukota di Baghdad hingga ujungnya mencapai kota Ammuriah untuk membela muslimah tersebut. Sekian banyak pasukan untuk membela satu orang muslimah! Menggentarkan musuh, membela kebenaran, meninggikan kewibawaan kaum muslim di kancah internasional.
Kini tak ada lagi al-Mu’tasim, tak ada lagi negara yang menyatukan kekuatan kaum muslim. Hingga islam yang mulia ini terhinakan dengan karikatur dan gambar-gambar tak senonoh. Seberapa pun water test menunjukkan banyaknya kaum muslim yang masih peduli dengan masalah yang menimpa agamanya, tapi kaum muslimin belum bisa terbebas dari penghinaan-penghinaan semacam ini, bagai buih di lautan. Wahai al-Mu’tasim, kaum muslim rindu sosok pemimpin sepertimu! [syahid/voa-islam.com]