View Full Version
Senin, 12 Sep 2016

Cukupkah Memperketat Syarat Caleg Artis?

Oleh: Puput Hariyani, S.Si*

Keterlibatan kalangan selebritis dipanggung politik mengundang banyak respon oleh sebagian pihak. Banyak pihak yang berharap kepada kalangan ini. Namun tidak sedikit pula yang pesimis dan menyangsikan kemampuan mereka. Mampukah kalangan artis membawa nafas baru bagi perjalanan kinerja dewan? Akankah mereka membawa perubahan yang lebih baik?

Kekawatiran ini yang kemudian memunculkan wacana untuk memperketat syarat caleg artis dengan alasan karena para anggota DPR dari kalangan artis kurang aktif dalam menjalankan perannya, dirasa minim kualitas, tidak professional, atau tudingan hanya sebagai pelengkap agar partai politik bisa memenuhi syarat ambang batas untuk memperoleh kursi di parlemen.

Sementara pihak lain berpendapat tidak setuju jika hanya calon legislatif dari kalangan artis saja yang diperketat. Seperti pendapat Anggota Komisi II DPR Arteria Dahlan, “jika syarat caleg diperketat harus diberlakukan bagi semua yang maju dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2019, tidak hanya tertuju bagi kalangan artis”. Pendapat senada disampaikan oleh Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulklifi Hasan menegaskan ketidaksetujuannya terhadap wacana tersebut. Dia menilai pembatasan itu sama saja membatasi hak seseorang (Sindonews.com).

Pro dan kontra ini masih terus bergulir, hingga akhirnya banyak bermunculan alternatif solusi yang ditawarkan dari berbagai kalangan. Mulai dari memanfaatkan keberadaan sekolah kader agar mampu memperkenalkan banyak hal kepada seluruh kadernya, ada juga yang mengusulkan syarat pencalonan anggota legislatif menjadi urusan partai politik (parpol). Artinya partai politik pengusungnya yang harus bertanggungjawab terhadap kualitas kader yang diusungnya, dengan demikian tidak harus ada pengetatan syarat caleg artis karena semuanya dikembalikan pada partai masing-masing.

 

Kinerja Dewan Tidak Memuaskan

Jika ditelisik lebih dalam, carut marutnya negeri ini termasuk wacana pengetatan syarat caleg artis menunjukkan adanya ketidakpuasan rakyat terhadap kinerja anggota legislatif. Pada dasarnya pengetatan syarat caleg artis dengan alasan kapasitas, ada kemungkinan calon legislatif artis yang baru terjun ke kancah politik beresiko tinggi untuk disetir oleh partai politik, mengarahkan kebijakan sang artis di parlemen karena mereka tidak memiliki bekal dan pengetahuan politik yang cukup. Mirisnya lagi caleg dari kalangan artis lebih berpeluang besar untuk menjabat karena masyarakat pemilih di Indonesia berasal dari golongan menengah ke bawah yang memiliki banyak masalah sosial. Jadi besar kemungkinan mereka akan memilih caleg artis sebagai hiburan juga.

Namun sangat disayangkan, jika hanya kalangan artis saja yang dituduh dan dipermasalahkan tidak memiliki kapasitas. Padahal rekam jejak anggota dewan selama ini secara keseluruhan bisa kita saksikan secara terbuka dan kinerjanya jauh dari kata memuaskan. Publik berulang kali disuguhi raport merah dan selalu berakhir dengan kekecewaan. Kasus korupsi, pelanggaran etika, perebutan kursi jabatan sudah menjadi hal yang menjemukan bagi masyarakat dan itulah hari-hari mereka tatkala menjabat. Dari sini sudah jelas, seharusnya menjadi evaluasi bersama bagi seluruh aleg atau caleg baik dari kalangan artis atau bukan. Bagaimana kinerja mereka selama ini, apakah sudah mewakili urusan rakyat, memperjuangkan hak mereka dan menyalurkan aspirasi, atau malah sebaliknya anggota dewanlah yang menyerahkan hak-hak rakyat kepada asing dengan melonggarkan perijinan asing untuk menguasai Sumber Daya Alam (SDA) milik rakyat, menikmati sebagian besar harta rakyat, membuat undang-undang yang merugikan rakyat, dsb.

Memang benar anggota legislatif mewakili rakyat, mewakili untuk hidup enak, mobil mewah, rumah megah, keliling pulau bersama keluarga, menerima parsel gadget berkelas, memakai gaun branded, dll. Sementara rakyat harus gigit jari dan terus meratapi nasib serta penyesalan kenapa dulu memilih mereka. Selama ini kinerja dewan yang tidak beres dan tak mewakili rakyat bukan sekedar mereka tidak amanah atau tidak punya kapasitas, tapi lebih dari itu karena mereka berada dalam sebuah habitat yang tidak tepat yakni kehidupan kapitalis-liberal yang dipadukan dengan sistem demokrasi yang memiliki karakter berbeda. Demokrasi menghendaki peran besar dari masyarakat sementara kapitalis-liberal menghendaki peran besar dari anggota dewan yang berperan sebagai legislator yang digandeng oleh para pemodal, kemudian meniscayakan ketidaktepatan peran, sehingga timbul beragam masalah.

 

Saatnya Umat Berdaya Dengan Islam

Saatnya masyarakat open mind dansemakin cerdas agar mereka tidak selalu dan selalu merasa tertipu. Meski demikian masyarakat masih memiliki alternatif untuk berdaya dengan memilih gagasan sistem Islam yang memberikan sebenar-benarnya posisi dengan hadirnya majelis umat yang benar-benar akan menjadi representasi dari rakyat. Dalam pandangan Islam majelis umat jelas berbeda dengan DPR meskipun sama-sama dipilih oleh rakyat. Dari sisi pemilihan, majelis umat dipilih oleh rakyat bukan untuk menjalankan kedaulatan rakyat tetapi menjalankan hukum syariah, dari segi tujuan mereka dipilih untuk melaksanakan syura’ dan pengawasan terhadap Kholifah. Singkatnya anggota majelis umat adalah wakil yang mewakili kaum muslim dalam menyampaikan pendapat tanpa keberatan apapun dan melakukan muhasabah.

Demikian pula, dari sisi keanggotaan boleh dari muslim maupun non-muslim. Non-muslim memiliki hak menyampaikan pendapat mereka mengenai kedzaliman penguasa yang menimpa orang-orang non-muslim, tanpa adanya pencekalan. Dengan demikian tugasnya bukanlah sebagai legislator tetapi dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat menyampaikan pendapat dan muhasabah. Wallahu’alam bi ash-showab. [syahid/voa-islam.com]

 

*Penulis Koordinator Lajnah Khusus Sekolah MHTI Jember, Staff Pengajar Salah Satu Sekolah di Jember


latestnews

View Full Version