View Full Version
Senin, 12 Sep 2016

Sejahterakan Rakyat Tanpa Pajak

Oleh: Hanum Hanindita, S.Si. (Guru SD Khoiru Ummah 25 Bekasi)

Ketakutan Rakyat Terhadap Tax Amnesty

Saat ini, UU tax amnesty sedang marak diperbincangkan, beragam respon pun muncul dari masyarakat. Salah satu bentuk repson yang muncul adalah rasa takut akibat dari pemberlakuan kebijakan ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan tanggapan terhadap respon masyarakat tersebut. Beliau meminta Dirjen Pajak, seluruh Kanwil dan Kepala Kantor untuk memiliki atau membaca buku pegangan, sehingga mereka bisa menjawab secara konsisten atau sama pertanyaan masyarakat. "Kami memberikan tidak hanya instruksi tapi juga contoh, sehingga mereka (petugas pajak) bisa memberikan penjelasan secara mudah, tidak menakut-nakuti memberikan penjelasan dan kepastian, sehingga masyarakat tidak perlu beraksi secara khawatir tehadap pelaksanaan UU tax amnesty," imbuh Sri Mulyani.

http://finance.detik.com/read/2016/08/30/181221/3287162/4/sri-mulyani-tax-amnesty-sasar-wp-besar-petugas-pajak-tak-boleh-menakut-nakuti

Fuad Bawazier, Mantan Menteri Keuangan/Mantan Dirjen Pajak, juga ikut meberikan tanggapan. Salah satu saran yang diberikan belau adalah agar kebijakan bisa berhasil maka haruslah adil dan "berperasaan" dalam pelaksanaannya. Presiden, wakil presiden, para menteri, semua anggota DPR dan DPRD, para guberbnur, bupati, wali kota, para hakim,  jaksa, para jenderal dan politisi, direksi BUMN, polisi, bankers dan semua pejabat negara lainnya tanpa terkecuali, harus terlebih dahulu mengisi atau ikut Tax Amnesty sebagai contoh agar program ini berhasil.  http://www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/08/28/oclqd2385-tax-amnesty-pemerintahan-kalap-dan-ketakutan-rakyat-diuber-pajak-part2

 

 

Pajak Menzholim Rakyat

Secara sederhana arti tax amnesty adalah pengampunan pajak, yaitu adanya penghapusan pajak bagi Wajib Pajak (WP) yang menyimpan dananya di luar negeri dan tidak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak dengan imbalan menyetor pajak dengan tarif lebih rendah. Dengan dilakukannya tax amnesty ini, diharapkan para pengusaha yang menyimpan dananya di luar negeri akan memindahkan dananya di Indonesia dan menjadi WP baru yang patuh sehingga dapat meningkatkan pendapatan pajak negara.

Ketakutan masyarakat yang munculnya akibat pemberlakuan tax amnesty, adalah hal yang wajar. Hal ini disebabkan kebijakan ini awalnya ditujukan untuk pengusaha besar, eksportir dan para konglomerat. Namun nyatanya, kini diarahkan tidak hanya kepada pengusaha besar saja, tetapi ke semua wajib pajak (WP) sehingga masyarakat kecil termasuk pensiunan gelisah dan resah karena ketakutan dikejar  aparat pajak.

Dalam program tax amnesty, WP diharuskan mengungkapkan, serta melaporkan seluruh hartanya kepada  otoritas pajak, jika tidak ingin dikenakan denda yang relatif besar usai program tersebut berakhir. Masyarakat yang keberatan berasal dari golongan perpendapatan menengah ke bawah. Mereka menilai bahwa tarif tebusan yang nantinya dibebani oleh mereka selama periode tax amnesty  berlangsung, justru sangat berat.

Sekalipun pada saat pembahasan Rancangan Undang Undang, pemberian tarif tebusan bagi WP tertentu yang mengikuti progam tax amnesty memang telah dibicarakan bersama pemerintah. Akan tetapi, kesiapan regulator dalam pelaksanaan tax amnesty sampai saat ini masih dipertanyakan. Maka dari itu, perlu adanya suatu langkah penegasan.

Di luar dari sasaran pajak yang tidak jelas, muncul pertanyaan di benak kita. Mengapa di negeri yang begitu kaya dengan sumber daya alam seperti bermacam mineral, minyak dan gas (migas), serta batubara dan juga kekayaan lain berupa puluhan juta hektar hutan, kekayaan laut dengan jutaan ton ikannya, masih harus tetap memungut pajak dari rakyat ? Kemanakah uang hasil dari berbagai sumberdaya alam milik rakyat itu?

Tidak lain, sebagian besarnya masuk ke pihak swasta, khususnya pihak asing. Mengapa? Karena memang sebagain besar sumberdaya alam milik rakyat itu sudah lama dikuasai pihak swasta terutama pihak asing. Hal ini diperparah dengan penerapan otonomi daerah yang cenderung liberal, yang makin membuka peluang asing untuk menguasai langsung sumberdaya pada sektor yang strategis. Padahal penguasaan swasta apalagi asing atas sumber-sumber keayaan alam milik umat jelas haram karena bertentangan dengan nash-nash syariah, antara lain sabda Nabi saw.:

اَلنَّاسُشُرَكَاءٌفِيثَلاَثَةٍ :اَلْمَاءِوَالْكَلأِوَالنَّارِ

Umat manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara: air, pedang gembalaan dan api (HR Ibn Majah).

Inilah akibatnya jika diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini telahmembuka jalan bagi untuk menyerahkan SDA milik rakyat kepada pihaklain melalui mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA) dan privatiasi. Dalam hal ini, sistem kapitalisme telah mengizinkan pihak asing merampok segala kekayaan alam milik Indonesia, yang berakibat rakyat harus menanggung beban pajak yang seharusnya menjadi tugas negara dalam mensejahterakan rakyatnya.

 

Islam Sejahterakan Rakyat Tanpa Pajak

Pajak yang saat ini dipungut oleh pemerintah terasa membuat beban hidup rakyat semakin berat. Seiring dengan diberlakukannya kebijakan tax amnesty malah semakin menunjukkan keputus asaan pemerintah dalam menghadapi beban keuangan negara. Akhirnya, tak ada jalan lain lagi untuk melepaskan diri dari ini semua selain memeras rakyat. Bagaimana Islam memandang hal ini ?

Islam sebagai agam sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk di dalamnya juga telah mengatur sumber pendapatan dan pengelolaan keuangan negara. Dalam Kitab An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, Syaikh Taqiyuddin an-Nahbani (2004: 232) menjelaskan bahwa dalam Islam, negara (Khilafah) bisa memperoleh sumber-sumber penerimaan negara yang bersifat tetap yaitu dari: harta fa’i, ghanîmah, kharaj dan jizyah; harta milik umum; harta milik negara;‘usyr; khumus rikâz; barang tambang; dan zakat.

Dengan seluruh sumber di atas, pada dasarnya negara akan mampu membiayai dirinya dalam rangka mensejahterakan rakyatnya. Dengan demikian, dalam keadaan normal, pajak (dharîbah) sesungguhnya tidak diperlukan. Dalam negara Khilafah, pajak hanya dipungut sewaktu-waktu, yaitu saat kas negara benar-benar defisit. Itu pun hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya saja, tidak berlaku secara umum atas seluruh warga negara. Dalam hal ini, Khilafah tidak akan pernah memungut pajak secara rutin, apalagi menjadikannya sumber utama penerimaan negara (An-Nabhani, 2004: 238).

Hal ini bisa terjadi mengingat begitu melimpahnya penerimaan negara. Sebab, dari hasil-hasil SDA saja (jika sepenuhnya dimiliki/dikuasai negara), kas negara akan lebih dari cukup untuk mensejahterakan rakyatnya, dengan catatan tidak ada campur tangan pihak asing dalam mengelola sumber pendapatan negara.

Jelas ini semua akan terwujud jika pemerintah mengatur negara ini dengan syariah Islam, termasuk dalam pengaturan ekonomi dan keuangan negara. Sebagai langkah awal, maka Kaum Muslim perlu mewujudkan institusi penegaknya, yakni Khilafah Islam, sebagai satu-satunya institusi yang bisa menegakkan syariah Islam di tengah-tengah manusia. Penerarapan syariat islam sekaligus merupakan wujud ketakwaan kita kepada Allah SWT . Dengan ini kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dapat terwujud. Pada akhirnya, kaum Muslim akan menuai keberkahan-Nya, dari langit dan bumi. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. []


latestnews

View Full Version