View Full Version
Senin, 26 Sep 2016

Perawi Hadits Tidak Luput dari Dosa?

Oleh: Zaqy Dafa

Dalam usaha meruntuhkan keaslian dan kebenaran Al-Quran Hadits, para musuh Islam seringkali melontarkan berbagai kritik dan pemahaman baru yang tidak pernah diucapkan sebelumnya oleh para ulama Islam. Bahkan karena cara pandang mereka yang memang tidak mau menerima kebenaran kecuali yang sesuai dengan pemikirannya, menjadikan mereka menggunakan argumen-argumen dangkal dan tidak sesuai kaidah keilmuan.

Salah satu yang paling laris dan paling sering digunakan oleh kalangan liberal adalah tentang sifat kemanusiaan para perawi Hadits. Menurut mereka, para rawi Hadits adalah manusia yang tidak luput dari salah dan dosa, mereka bukanlah sosok yang maksum seperti para Nabi. Lalu bagaimana umat Islam wajib mengimani keaslian dan kebenaran ribuan bahkan jutaan Hadits yang mereka riwayatkan dari Rasulullah ShallaLlahu 'alaihi wa Sallama? Mereka menggambarkan bahwa jika seseorang berkata dalam suatu forum, tentu perkataan tersebut akan berbeda jika diucapkan di forum yang lain. Hal inilah yang menjadikan para rawi tersebut tidak lepas dari pengubahan terhadap lafazh dan makna sabda Rasulullah ShallaLlahu 'alaihi wa Sallama.

Ucapan seperti ini seringkali didengar dari para mahasiswa, dosen, hingga penulis yang telah terjangkiti virus liberalisme dan keraguan terhadap Al-Quran Hadits. Mereka menganggap bahwa para rawi Hadits Rasulullah ShallaLlahu 'alaihi wa Sallama sama dengan mereka, seringkali berbuat dosa, hidup dalam lingkungan yang mudah maksiat, dan seterusnya. Mereka mengganggap tingkat inteligensi, moral, dan kehidupan para rawi Hadits tersebut sama seperti mereka sekarang.

Bagi para pengusung argumen diatas, perlu ditegaskan bahwa Allah Ta'ala menciptakan pada diri manusia dua tabiat, yakni tabiat baik dan tabiat buruk. Hal ini berbeda dengan malaikat yang hanya diberi tabiat untuk taat dan berlaku baik, juga berbeda dengan setan yang hanya diberi tabiat senang melakukan hal-hal buruk.

Allah mengutus para Rasul kepada seluruh umat manusia, sebagian mereka lalu ada yang mendapat hidayah hingga mencapai tingkat tertinggi, dan sebagian lain tersesat hingga menjadi lebih hina dari binatang. Orang-orang yang mendapat hidayah tersebut kedudukannya dapat mengungguli para malaikat dalam hal keimanan dan istiqamah dalam ketaatan, dan usaha keras mereka menghindarkan diri dari maksiat dan dosa. Orang-orang yang berada di taraf tersebut adalah Rasul beserta para pengikutnya.

...menolak seluruh riwayat Hadits Rasulullah ShallaLlahu 'alaihi wa Sallama hanya karena alasan para rawinya adalah manusia jelas mengingkari meodologi dan etika keilmuan. Padahal, banyak dari mereka yang berani menjuluki dirinya kaum intelektual dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan

Jadi, baik buruknya sifat dan perulaku manusia adalah karena amal perbuatan yang dia lakukan, bukan karena sifatnya sebagai manusia seperti yang didengungkan oleh kaum liberal. Dalam masalah periwayatan Hadits, jika orang yang meriwayatkannya merupakan figur yang dikenal baik dan mulia maka tentu riwayatnya dapat diterima dan dipertanggungjawabkan kebenarannya. Sebaliknya, jika orang yang meriwayatkannya dikenal memiliki kekurangan dalam inteligensi dan moralitas, maka riwayatnya harus dikaji ulang bahkan bisa tidak diterima.

Dalam usaha menyeleksi secara teliti dan serius seluruh riwayat Hadits ShallaLlahu 'alaihi wa Sallama, para ulama sampai membuat satu cabang ilmu khusus tentangnya yaitu ilmu al-Jarh wal al-Ta'dil. Ini adalah satu cabang ilmu Musthalah Hadits yang digunakan untuk mengetahui kapasitas para rawi Hadits mulai zaman Shahabat hingga zaman-zaman setelahnya. Para ulama menulis ratusan jilid kitab al-jarh wa al-ta'dil yang isinya adalah jutaan informasi yang dihumpun susah payah oleh mereka tentang kapasitas hafalan dan intelektual rawi serta rekam jejak yang menunjukkan keadilannnya. Ilmu al-jarh wa al-ta'dil merupakan diskursus keilmuan yang sangat canggih buatan ulama untuk mencari data diri seseorang. Ilmu ini telah ada mulai zaman para Shahabat empat belas abad silam, dimana sampai sekarang Barat modern tidak pernah membuat disiplin ilmu tandingan yang setara dengannya.

Hadits yang diterima dalam Islam adalah ketika diriwayatkan oleh seorang yang beragama Islam, mencapai umur baligh, berakal, dlabit (memilki hafalan kuat), tsiqah (berkelakuan baik), dan selamat dari perilaku-perilaku fasiq dan merendahkan harga diri. (Ibn Katsir, al-Ba'its al-Hatsits: 92-93) Adapun riwayat seorang yang tidak memiliki kriteria-kriteria diatas maka tidak diterima. Penentuan kriteria yang sangat ketat seperti ini dilakukan oleh para ulama untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya kesalahan dan pembohongan dalam periwayatan Hadits. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa menolak seluruh riwayat Hadits Rasulullah ShallaLlahu 'alaihi wa Sallama hanya karena alasan para rawinya adalah manusia jelas mengingkari meodologi dan etika keilmuan. Padahal, banyak dari mereka yang berani menjuluki dirinya kaum intelektual dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.

Sebetulnya argumen kemanusiaan para pembawa risalah Islam bukanlah hal baru. Alasan tersebut hanyalah omongan basi yang diulang-ulang dari para pengingkar ajaran Islam zaman kenabian yang telah dijawab tuntas oleh Al-Quran empat belas abad silam. Allah Ta'ala berfirman: "

قَالُوا إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُنَا تُرِيدُونَ أَنْ تَصُدُّونَا عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُنَا [إبراهيم : 10]

“Mereka berkata, "Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi (membelokkan) kami dari apa yang selalu disembah nenek moyang kami.” (QS. Ibrahim: 10-11)

Dan memang demikian, usaha meruntuhkan ajaran Islam itu adalah semangat kaum kafir musuh umat Islam yang tidak akan pernah ridha dengan Islam dan berusaha menggiring orang untuk mengikuti ajaran dan kesesatan tiada akhir agama mereka. WaLlahu A'lam[syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version