View Full Version
Ahad, 09 Oct 2016

Hubungan Mesra Politik dengan Islam

Oleh: Yati Sulastri, S.TP

(Pemerhati masalah politik, tinggal di Cicalengka Bandung)

Larangan politisasi islam mencuat seiring dengan banyaknya seruan dari kaum muslimin untuk menolak pemimpin kafir pada pilkada DKI. Mereka berdalih bahwa islam tidak boleh dipolitisasi. Bahkan kalo bicara menolak pemimpin kafir dianggap sebagai SARA yang tidak layak untuk dikedepankan. Bahkan masjid istiqlal pun tidak boleh untuk digunakan sebagai tempat ysng membahas tentang politik.

Memang inilah yang terjadi selama puluhan tahun di tengah-tengah umat. Ketika faham sekulerisasi sudah menyelimuti kaum muslimin, maka kata politik seolah tabu untuk dibicarakan oleh umat Islam. Pertanyaannya benarkah ketika umat Islam bicara politik itu dianggap sebagai politisasi Islam yang kotor? Karena dianggap selama ini agama suci sedang politik itu kotor.

 

Memaknai Politisasi Agama

Sebutan politisasi agama layak disematkan disaat agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek dalam memenangkan pemilu, lalu setelah pemilu agama malah ditinggalkan. Yang terjadi justru para elit politik yang muslim bahkan yang bukan muslim pun mencitrakan dirinya lebih islami. Banyak viral di medsos yang justru menampakkan bagaimana kunjungan mereka ke pesantren atau masjid-masjid semata demi menarik simpatik umat Islam. Namun alangkah ironisnya saat mereka terpilih justru Islam dan umat islam dicampakkan begitu saja. Inilah yang dikatakan sebagai politisasi agama! Yang merupakan buah dari sistem demokrasi liberal saat ini yang mementingkan kelompoknya diatas kepentingan umat bahkan kepentingan agama. Naudzubillah..

Lantas, bagaimana dengan suara-suara yang mengatasnamakan Islam kemudian berdalih bahwa haram dipimpin oleh seorang pimpinan yang kafir atau suara suara umat yang menyatakan bahwa haram memilih pemimpin perempuan. Apakah mereka juga mempolitisasi agama demi kepentingan siapa? Tentu saja gelombang opini dan suara umat yang terus menggema saat ini di Jakarta dan berbagai daerah adalah murni suara Al-Qur'an dan As-Sunnah dan merupakan bentuk amar ma'ruf nahi munkar dari umat Islam untuk Indonesia yang lebih baik.

Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishad Fi al-I'tiqad menyatakan 'Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penhaga niscaya akan musnah'

Memang sejak runtuhnya daulah khilafah Islam tahun 1924, umat Islam tidak lagi punya negara sebagai perisai umat. Hingga kini umat Islam hidup di bawah racun sekulerisme dan liberalisme. Islam dijauhkan dari benak umat Islam. Termasuk makna politik, yang dijauhkan dari umat Islam. Makna politik disempitkan sebatas kekuasaan saja dan karena di alam demokrasi ini yang namanya politik itu dianggap kotor, maka bicara politik saat ini dianggap kotor. Maka tidak sedikit kelompok islam yang justru melarang bicara politik di masjid tapi saat yang sama mereka membolehkan 'ceramah'nya kandidat parpol yang notabene nonmuslim di masjid-masjid. Sungguh ini realita yang terbalik bukan?

 

Makna Politik dalam Islam

Lantas bagaimana seorang muslim berpolitik? Bahkan bolehkah berpolitik? Tentu saja harus dimaknai dulu bagaimana pandangan Islam tentang politik. Dalam bahasa Arab, politik berasal dari kata saasa-yasuusu-siyaasat(an) yang artinya mengurusi/memelihara. Samih 'Athif dalam bukunya, As-siyaasah wa As-Siyaasah Ad-Duwaliyah, menulis bahwa politik (siyasah) merupakan pengurusan urusan umat, perbaikan, pelurusan, menunjuki pada kebenaran dan membimbing menuju kebaikan.

Dari definisi ini jelas bahwa makna politik dalam Islam tidak terbatas rebutan kekuasaan dan kedudukan semata tapi mencakup aspek yang lebih luas yaitu pengaturan seluruh urusan umat. Hal ini sangat sejalan dengan Syariat Islam itu sendiri yang bersifat Syamil (menyeluruh) dan kaamil (sempurna). Maka Islampun mengatur urusan umat mulai dari ibadah ritual dengan sholat, ahlak juga pengaturan muamalah mulai dari ekonomi, hukum sampai dengan pemerintahan. Bukti yang paling nyata adalah kitab-kitab fikih para ulama yang membahas mulai dari thoharoh sampai kepada imamah.

Maka jelas, Syariat Islam memiliki dimensi yang sangat luas termasuk masalah kepemimpinan. Begitu pula dengan qudwah Rasulullah SAW, sebagai kepala negara yang memimpin Madinah saat itu, beliau tidak hanya mendirikan masjid sebagai tempat sholat saja. Tapi menjadikan masjid sebagai tempat bermusyawarah tentang pengaturan urusan umat mulai dari baitul mal sampai kepada strategi perang. Inilah hakikatnya menghidupkan dan memakmurkan masjid. Bahkan di masjid Nabawi hingga kini berdiri kokoh ustuwanah wufud (tiang delegasi) karena disitulah Rasulullah menerima tamu-tamu kenegaraan. Terdapat pula ustuwanah haris (tiang penyangga) dimana disitulah Ali bin Abi Thalib mengawal Rasulullah SAW dan ditugasi menyampaikan pesan kepada para tamu.

Jadi sangat jelas bagaimana Islam dan politik memiliki hubungan mesra bahkan satu kesatuan. Bicara politik ya bicara Islam itu sendiri. Bahkan Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Iqtishad Fi al-I'tiqad menyatakan "Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penhaga niscaya akan musnah". Begitu pula Ibnu Tayimiyah juga menegaskan "jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak" (Ibnu Taymiyah, Majmu al-Fatawa,XXVIII/394).

Dengan demikian menjauhkan Islam dengan politik sangatlah bertentangan dengan Syariat Islam itu sendiri yang justru mengatur dan mewajibkan politik. Adapun kondisi saat ini dimana banyak terjadi depolitisasi Islam, tidak terlepas dari cengkeraman sekuleristik dan kapitalistik yang menjadi alat musuh-musuh Islam untuk menjauhkan Islam dari kejayaannya yaitu khilafah sebagai perisai umat.

 

Perlunya Poros Politik Islam

Saat ini justru yang dibutuhkan adalah mengembalikan politik Islam kepada makna sesungguhnya. Poros politik ini bisa merupakan orang atau organisasi baik di parlemen ataupun ekstra parlemen, yang senantiasa mengikuti berita politik, mengamati, menganalisa kemudian memberikan masukan serta teguran apabila tidak sesuai dengan politik islam. Dengan demikian akan muncul para politikus yang berjuang untuk umat, berpihak kepada umat, menjalankan semuanya sesuai dengan Syariat Allah SWT.

Bukan para elit politik instan karbitan yang muncul pakai peci dan mengunjungi pesantren demi mendulang suara, namun ketika mereka menang, bukan sistem Islam yang diterapkan, justru melanjutkan rezim sebelumnya yang tidak sesuai dengan Islam, dan tidak berpihak kepada kepentingan umat. Wallahu A'lam bissowab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version