View Full Version
Rabu, 19 Oct 2016

Pengemis Tajir: Profesi yang Menjanjikan?

 

Oleh: Yane Agustina, Muslimah HTI

Desakan ekonomi membuat sebagian masyarakat di negeri ini berpikir keras untuk menyelamatkan hidup dan kehidupannya. Di tengah persaingan peluang kerja yang sulit di era MEA ini, jalan pintas pun mereka tempuh: Menjadi Pengemis.

Dahulu orang mengemis hanya untuk menyambung kehidupan hari itu atau beberapa hari kemudian saja. Atau bisa jadi seseorang mengemis karena seluruh harta miliknya habis karena bangkrut, atau karena bencana, atau meninggalkan hutang, dan belum memperoleh pekerjaan. 

Namun kini, pengemis malah menjadi satu “profesi” yang menjanjikan. Betapa tidak, pendapatan pengemis dan pengamen di ibukota disinyalir rata-rata ada yang mencapai hingga Rp 200.000 per hari atau Rp 6 juta per bulannya. Bukti yang tidak terelakkan adalah ketika dunia maya dihebohkan oleh foto pengamen di DKI Jakarta yang sedang menukar uang recehan hingga ratusan ribu di minimarket kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Foto itu diunggah akun Facebook Izharry Agusjaya Moenzir pada Rabu (7/10/2015). (http://www.beritadunia.net/)

Beberapa hari yang lalu, seorang pengemis bernama Muklis, diamankan Dinas Sosial Jakarta Selatan pada Selasa (11/10/2016). Pria berusia 64 tahun  ini diamankan saat hendak duduk di trotoar flyover Kebayoran Baru, Jakarta. Muklis, menurut   Kepala Suku Dinas Jakarta Selatan,Mursyidin, membawa  uang Rp 90 juta di tiga kantong celananya yang berlapis tiga. Jauh-jauh datang dari Padang, Sumatera Barat, Kakek Muklis telah mengemis selama 6 tahun di belantara Ibukota. Hal mencengangkan lainnya adalah, uang yang dimiliki Muklis ini semuanya baru. Ternyata, kakek satu ini rajin menukarkan uang hasil dia mengemis sehingga semua uang yang ia miliki menjadi baru.(http://news.detik.com)

Mengemis sebagai “profesi” tidak dijumpai dalam masyarakat Islam di masa Rasulullah SAW. Kalaupun ada yang meminta-minta, memanglah kondisi mereka sebagai orang fakir dan miskin, yang orang-orang kaya diantara mereka didorong oleh Allah SWT untuk menolongnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui” [al-Baqarah/2 : 273].

 

Kepada Rasulullah pernah datang seorang  pengemis, maka beliau yang mulia, tidak langsung memberinya uang.  Bertanyalah beliau kepada pengemis itu, “Apakah kau memiliki sesuatu di rumahmu?”

Dijawab oleh pengemis itu, “Ada, ya Rasulullah. Aku memiliki pakaian dan sebuah cangkir.” Rasul pun memintanya untuk membawa barang yang disebutkan. Sesampainya pengemis dari rumahnya, Rasul mengumpulkan para sahabat.

“Adakah diantara kalian yang ingin membeli ini?” Tanya Rasulullah Saw sembari menunjukkan pakaian dan cangkir milik pengemis.

Segera, ada sahutan dari salah seorang sahabat beliau, “Aku sanggup membelinya seharga satu dirham.” Sang Nabi melanjutkan, “Adakah yang ingin membayar lebih?” Ternyata, Rasulullah melelang dua harta milik pengemis itu.

Dijawablah oleh sahabat lain, “Aku mau membelinya seharga dua dirham, ya Nabiyullah.” Maka sahabat inilah yang berhak memiliki pakaian dan cangkir milik pengemis.

Rasululah pun memberikan hasil penjualan kepada pengemis sembari berpesan. Kata Nabi, belilah kebutuhan untuk keluargamu dengan uang ini. Sebagiannya yang lain untuk membeli kapak. Rasul juga memerintahkan pengemis itu kembali kepada beliau setelah membeli kapak.

Setelah menyerahkan makanan kepada anak dan istrinya, pengemis itu menemui Rasulullah sambil membawa kapak, sesuai yang diperintahkan. Nabi bersabda, “Carilah kayu sebanyak mungkin dan juallah.”

Dua pekan kemudian, sosok yang mulanya berprofesi sebagai pengemis itu mendatangi Sang Nabi. Dari hasil mencari kayu, ia memiiki uang sebanyak 10 dirham.

Rasul pun bersabda, “Hal ini lebih baik bagimu. Karena meminta-minta hanya membuat noda di wajahmu, kelak di akhirat.”

Dari kisah ini dapat disimpulkan, bahwa Rasul sebagai penguasa pada saat itu, menjalankan tanggung jawabnya berupa menyediakan hal yang dapat mendatangkan rizki bagi seorang peminta-minta yang datang padanya, sehingga ia tidak lagi mengemis.

Kalaupun kondisi seorang peminta-minta tersebut memanglah tidak dapat lagi berusaha dan bekerja untuk mendapatkan uang atau makanan bagi kehidupannya, penguasa yang memahami Islam akan memberinya makanan yang ia butuhkan pada saat itu, seraya mencarikan  kerabat yang masih hidup yang dapat bertanggung jawab untuk menafkahinya sesuai ketentuan syara’. Jika tidak dapat ditemukan satupun kerabat yang mampu menafkahinya atau ia hidup sebatang kara, maka baitul maal akan menanggung nafkah orang tersebut.

Dengan demikian jelaslah, tidak ada celah bagi sebuah sistem yang diatur dengan aturan Allah dan rasulNya, yang menjadikan masyarakatnya bermental lemah: hidup meminta-minta dan menggantungkan diri pada belas kasihan orang.

Buruknya menjadikan pengemis sebagai “profesi” telah diriwayatkan dari Sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا زَالَ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ، حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِيْ وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ.

“Seseorang senantiasa meminta-minta kepada orang lain sehingga ia akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya”.[1]

Diriwayatkan dari Hubsyi bin Junaadah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ.

“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api” [2].

Diriwayatkan dari Samurah bin Jundub Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َالْـمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ، إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِيْ أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ.

“Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu” [3]

Bolehnya rakyat meminta kepada penguasa, jika kita dalam kefakiran karena penguasa adalah mas’ul (penanggung jawab) rakyatnya, yang pengaturan harta kaum Muslimin berada di tangannya. Penguasa di masa kejayaan Islam, di mana Islam diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan dalam sistem Khilafah, tidak akan sulit membantu rakyatnya yang miskin dan tidak mampu lagi berusaha. Hal ini dikarenakan ditopangnya sistem kehidupan dan kenegaraan oleh sistem politik Islam yang mumpuni, dan sistem ekonomi Islam yang tangguh.

Ia akan menjadi sebuah negeri yang Negara nya optimal melakukan pengelolaan terhadap seluruh sumber daya alam yang dimilikinya, demi kemashlahatan umat. Kekayaan alam seperti emas di papua, dan berbagai tambang minyak di negeri muslim, dalam pengelolaan sistem ekonomi Islam yang kuat, dan ditopang oleh sistem pemerintahan Islam dalam bingkai khilafah Islam akan mampu menuntaskan tidak hanya masalah kemiskinan dan pengemis, tapi juga seluruh masalah dalam kehidupan manusia. InsyaAllah. [syahid/voa-islam.com]

 

Marâji’:
1. Al-Qurâ`nul-Karim.
2. Al-Mustadrak.
3. Al-Mughamarat al-Mutamawwilin Baina al-Hajat wal Ihtirâf, karya Shâlih bin ‘Abdullah al-Utsaimin.
4. Al-Mu’jamul-Kabir.


latestnews

View Full Version