Oleh: Eka Sugeng Ariadi
(Mahasiswa Pascasarjana Unesa Surabaya)
Literasi, dalam makna bahasa maupun istilah, sebenarnya bukanlah “makanan” yang asing di telinga masyarakat negeri ini. Namun literasi dalam makna yang lebih luas dan mendalam masih baru dikembangkan oleh praktisi ahli literasi, yang kemudian didukung sepenuhnya oleh pemerintah dengan terbitnya Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 tentang Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
Melalui buku Panduan Gerakan Literasi di Sekolah Menengah Pertama yang baru diterbitkan dan dipublikasikan tahun ini, pemerintah menyampaikan tuntutan kompetensi peserta didik pada abad ke-21 ini adalah berkemampuan dan keterampilan membaca yang berujung pada kemampuan memahami informasi secara analitis, kritis, dan reflektif. Sehingga pengertian Literasi Sekolah dalam konteks GLS dikonstruksi sebagai berikut; kemampuan mengakses, memahami, dan menggunakan sesuatu secara cerdas melalui berbagai aktivitas, antara lain membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara. Maka untuk menunjang cita-cita mulia tersebut, tentu telah disusun dan disuguhkan berbagai langkah strategis dan bermacam-macam teknik dan kegiatan yang berkualitas. Sebagaimana yang direkomendasikan oleh Fisher, Frey & Williams (2002) dalam artikelnya Seven Literacy Strategies That Work.
Urusan membaca, melihat, menyimak, menulis, dan/atau berbicara, meski skill ini menjadi domain mata pelajaran bahasa, bukan berarti mata pelajaran non-bahasa tidak bisa menelurkan peserta didik yang berliterasi tinggi. Telah menjadi sebuah keniscayaan, literasi merupakan kemampuan dasar bagi pengembangan semua mata pelajaran atau disiplin ilmu. Berkembangnya ilmu pengetahuan justru karena berkembangnya tingkat literasi yang dimiliki. Semakin tinggi tingkat literasi para pembelajarnya semakin cepat dan tinggi pula perkembangan ilmu pengetahuannya. Begitu pula keterkaitan antara satu disiplin ilmu dengan ilmu yang lain tidak dapat dielakkan di era digital seperti sekarang ini, contoh: pengembangan software ilmu hitung (matematika) sangat membantu perkembangan ilmu ekonomi, ilmu alam, bahkan juga ilmu agama dan seterusnya.
Oleh karenanya, literasi lintas disiplin sangat penting dilakukan. Bukan sekedar untuk mengembangkan ilmu pengetahuan yang bersangkutan, lebih jauh dari itu, untuk meningkatkan taraf literasi dan kecerdasan pembelajarnya serta menjadikan mereka sebagai pembelajar sepanjang hayat yang memiliki budi pekerti luhur.
Selain lintas disiplin, penulis memandang perlu juga mempertimbangkan pemerian pemahaman yang tepat dan benar mengenai literasi religi yang tentu saja lintas dimensi, baik dimensi ruang, waktu, atau kehidupan. Bilamana, pemerintah menginginkan revolusi karakter sebagai salah satu prioritas utama dalam programnya, karena memang secara faktual karakter negeri ini dipandang berada di titik terbawah dan lebih buruk daripada kondisi yang lalu maupun dari cita-cita ideal yang diinginkan, maka perlu revolusi karakter secara menyeluruh.
Literasi religi lintas dimensi ruang dan waktu serta kehidupan sangat penting untuk dimasukkan dalam prinsip pengembangan dan pembelajaran dalam tiga tahapan literasi yang sudah ditetapkan dalam semua bidang ilmu yang diajarkan mulai dari tingkat sekolah hingga perguruan tinggi. Alasan paling sederhana adalah semua jenis literasi di dunia ini pasti terkait erat dengan literasi religi, karena semua adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, dan telah memberikan panduan lengkap untuk berliterasi dengan semua makhluk ciptaan-Nya.
Jargon penulis adalah literasi religi lintas dimensi meneguhkan literasi ideologi; literasi dengan tingkat analisis kritis yang mendalam yang memuat konteks social, politik, ekonomi, dan lain sebagainya (Street, 1995) dan sekaligus menguatkan program Gerakan Literasi Sekolah serta program Revolusi Karakter bangsa yang dicanangkan oleh pemerintah. Sebagai manusia dan bangsa yang berkarakter pasti akan senantiasa belajar dari berbagai dimensi ruang, waktu dan kehidupan yang telah lalu maupun yang akan datang.
Sebagaimana pepatah pengalaman adalah guru terbaik acuan untuk refleksi diri, melihat kelemahan dan kekuatan serta menyiapkan segala perbaikan yang diinginkan pada dimensi sekarang dan dimensi yang akan datang. Bila aspek ini diabaikan atau tidak secara eksplisit disampaikan maka esensi kegiatan literasi untuk menjadikan peserta didik berkualitas, yang memiliki kemampuan analitis, kritis, reflektif, tepat dan benar sesuai tuntunan agama dan tuntunan masyarakat serta negara menjadi kurang maksimal.
Contoh fakta bagaimana keadaan berliterasi tanpa disertai literasi religi yang baik adalah beberapa hari yang lalu terbongkar kasus penipuan penggandaan uang berkedok padepokan atau komunitas orang beragama. Korban yang paling mencengangkan adalah seorang anggota Majelis Ulama Indonesia Pusat lulusan S-3 dari luar negeri menjadi (tidak merasa menjadi) korban dan ternyata membela sekuat tenaga si penipu dirinya di berbagai media massa. Ini contoh ‘luar biasa’, ada orang kena tipu, penipunya malah dibela sekuat tenaga dan pengikutnya pun tidak sedikit yang mencontohnya.
Contoh ‘terpanas’ adalah ada anggota ormas Islam di level Pusat dan pernah menjadi Pimpinan salah satu lembaga negara, secara terang-terangan di media membela mati-matian si pemimpin kafir yang sekaligus penista agamanya sendiri. Tidak sebatas membela di kafir penista agamanya, bahkan ulama-ulamanya sendiri dituding-tuding, disalahkan dan dipelototi dengan alasan atau logika yang dia rusak sendiri. Sang ulama (MUI), dimana sudah berliterasi dengan baik dan benar, justru dimarahi karena dianggap tidak berhak mentafsirkan al Qur’an, yang berhak hanyalah Allah Swt dan Rasul-Nya. Namun, ternyata dia sendiri yang bukan ulama justru kemudian mentafsirkan ayat al Qur’an, terlebih lagi dia juga lupa bahwa si kafir penista yang dibelanya juga mentafsirkan al Qur’an.
Ya, inilah contoh nyata dahsyatnya praktik literasi religi yang tidak pemahaman yang tepat dan benar. Bagai dua mata pisau yang tajam, literasi religi akan memberikan kedahsyatan untuk menjadikan lebih baik namun disisi lain menjerumuskan ke jalan yang lebih buruk. Lalu apa sebaiknya literasi lintas religi tidak perlu disisipkan ke literasi disiplin ilmu yang lain? Ini tentu tidak benar dan justru memperparah kualitas manusia dan melawan fitrahnya sebagai manusia beragama.
Penulis kutipkan pesan manusia terbaik di segala literasi yang ada di dunia ini, the master of literacies yaitu Muhammad Shallallahualaihi wa sallam. Beliau berpesan,
“Orang yang cerdas itu adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya, dan yang mengerjakan untuk kehidupan setelah kematian. Dan orang yang bodoh itu adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berandai-andai kepada Allah” (HR. Turmudzi).
Jelas kiranya bahwa orang yang cerdas bukan semata-mata ditunjukkan dengan rentetan gelar pendidikan, IQ tinggi, dan literasi disiplin ilmu yang diakui di semua negara dan lain sebagainya. Akan tetapi, orang cerdas adalah yang mampu menundukkan hawa nafsunya sendiri, merdeka dari ajakan syetan, bebas dari penghambaan kepada orang kafir dan sebaliknya senantiasa menjadikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai satu-satunya pedoman menjalani kehidupan. Yang kedua, orang cerdas adalah siapapun yang melakukan perbuatan di dunia, bersamaan dengan itu dia senantiasa berfikir efek atau akibat atau manfaatnya kelak pada kehidupan akhirat.
Artinya dia telah mampu berliterasi lintas dimensi ruang dan waktu, jauh ke depan, dari dimensi dunia hingga dimensi akhirat, yang tentu saja semua aktifitasnya dalam arahan, bimbingan dan petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya. Inilah kedahsyatan konsep literasi religi yang pasti lintas dimensi dan lintas disiplin yang diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dijamin 100%, konsep ini akan melahirkan prototype generasi cerdas, berkualitas, santun, berakhlak, dicintai penduduk langit dan bumi.
Tinggal kita, keluarga, masyarakat dan negara ini mau mengadopsi konsep ini atau tidak. Diantara pembaca pasti ada yang mengatakan, ini bukan negara Islam jadi yang sulit untuk diterapkan dan dimasukkan dalam visi misi pemerintah dalam mencerdaskan warga negaranya. Tentu boleh saja berpendapat seperti ini, namun perlu diingat bahwa negara ini juga bukan negara atheis atau komunis atau kapitalis.
Negara ini adalah negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, yang sudah sepatutnya menjadikan perintah Tuhan sebagai rujukan pertama dan utama dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sila pertama tersebut bukanlah diperuntukkan bagi individu-individu warga negara tertentu tapi bagi semua warga negara termasuk penyelenggara negara.
Oleh karena itu, bila ingin jadi manusia cerdas luar dalam, apapun disiplin ilmunya, literasinya harus berliterasi religi yang tepat dan benar sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya. [syahid/voa-islam.com]