Oleh: Sri Nurhayati, S.Pd.I
(Pengisi Keputrian SMAT Krida Nusantara)
Sudah hampir satu bulan ini, kaum muslim masih dan akan terus menyuarakan tuntutannya terhadap tindakan penghinaan dan penistaan Al-Quran oleh Ahok. Sebagaimana yang bisa disaksikan di Youtobe, dia menyatakan,
“jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongi pake Surat al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa-apa.”(Republika.co.id).
Pernyataan Ahok ini, kontan memunculkan reaksi keras dari berbagai komponen umat Islam terhadap sikap Ahok yang telah menistakan Al-Quran. Bahkan reaksi ini tidak hanya di Indonesia, tapi penjuru dunia pun mengecam hal ini. Seperti yang dilakukan oleh Persatuan Ulama Muslim Internasional Ulama / Rabithah Ulama al Muslimin yang diketuai Syeikh Amin al Hajj mengeluarkan tanggapan resmi lewat akun twitternya, “ Rabithah Ulama al Muslimin mengutuk dan mengecam pelecehan Al-Quran dan syariat (Islam) yang dilakukan oleh Gubernur Jakarta, serta menuntut diusut ke pengadilan.” @muslimsc.
Munculnya reaksi yang besar terhadap tindakan keji sang Gubernur ini adalah suatu hal yang wajar, bahkan sudah menjadi kewajiban dan keharusan bagi kita seorang muslim yang masih memiliki keimanan. Tidak akan tinggal diam ketika Allah dan Rasul serta Kalamullah terhinakan oleh mereka kaum kufar dan para sekutunya.
Islam Akan Terus Terhinakan
Pelecahan dan penistaan terhadap Islam, baik terhadap Allah, Rasul-Nya serta Kitabullah, bukanlah hal yang baru pertama muncul. Sudah sejak lama penghinaan dan penistaan ini muncul. Bagaimana di Amerika sana, muncul penghinaan terhadap junjungan kita Nabi Muhammad SAW, melalui sebuah kalikatur yang menggambarkan Nabi SAW sebagai seorang yang gila seks dan seorang teroris. Begitu pula pada 2010 lalu adanya aksi pembakaran Al-Quran yang hendak dilakukan oleh Terry Jones, seorang pendeta sekte Kristen di Florida. Tindakan keji terhadap Al-Quran juga dilakukan oleh tentara-tentara Amerika Serikat dan sekutunya dipenjara-penjara Afganistan dan Irak. AlQuran dijadikan sasaran tembak, dibuang di toilet sampai dikencingi.
Tindakan-tindakan keji yang dilakukan mereka, sudah tentu mengundang reaksi keras dari kaum muslim baik di dalam negeri atau luar negeri. Namun, tindakan keji ini tidak ditanggapi serius oleh mereka para penguasa kaum muslim. Sikap diam pemerintah terhadap pelecehan dan penistaan terhadap Islam, merupakan sebuah tindakan diskriminasian terhadap Islam dan kaum muslim.
Pendiskriminasian ini dapat kita lihat dari tindakan para penegak hukum dalam merespon kasus ini, penanganannya terkesan bertele-tele. Berbeda halnya ketika pelecehan itu menimpa presiden, dengan sigap mereka menangkap pelaku yang merupakan rakyat kecil. Tapi berbeda ketika seorang Ahok menghina Kalamullah, polisi terkesan menunda-nunda. Bukannya memanggil Ahok sebagai pelaku penghinaan, tapi justru memanggil stafnya. Padahal pelaporan kasus ini sudah hampir berjalan satu bulan ini. Tapi Bareskrim baru memanggil Ahok hari Senin kemarin (24 Oktober 2016), itu pun hanya meminta klarifikasi terhadap video yang berisikan penghinaannya terhadap Al-Quran.
Hal yang samapun menimpa Islam dan kaum muslim sebelumnya, terkait kasus pembakaran Masjid di Tolikara, Papua. Mereka para pelakunya tidak ditindak tegas, bahkan yang paling menyakitkan mereka diundang presiden ke Istana. Tapi berbeda halnya ketika terjadi pertikaian melibatkan kaum muslim, seprti yang terjadi di Medan beberapa bulan lalu, yang disalahkan kaum muslim yang dianggap tidak toleransi.
Hal ini tak mengherankan, karena hukum yang ada sering tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Ini terbukti, banyak proses hukum yang lebih cepat tanggap ketika para pelakunya hanya rakyat biasa dan kaum yang lemah. Tapi berbeda ketika pelakunya para penguasa atau pengusaha kelas kakap dan kaum yang memiliki kekuatan.
Perbedaan siakap ini, hal yang tidak mengherankan, karena hokum yang ada lahir dari aturan yang bobrok yakni sekulerisme. Paham yang telah memisahkan agama dari kehidupan. Darinya lahir aturan-aturan yang berasal dari kebodohan dan kesombongan manusia. Sehingga tak akan mampu mewujudkan keadilan bagi manusia sendiri. Karena aturan yang ada hanya dibuat untuk memenuhi kepentingan mereka yang mampu mengendalikan para pembuat aturan. Selama sekulerisme ini masih bercongkol, Islam dan kaum muslim hanya akan menjadi korban penghinaan yang tak bisa bertindak apa-apa untuk menghukumi para penghinaanya.
Penghinaan, pelecehan, penistaan yang dilakukam oleh musuh-musuh Islam tidak akan pernah berhenti. Karena sampai kapan pun mereka tidak akan pernah rela sampai kita mengikuti millah mereka.
Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Wajib bagi seorang muslim untuk memuliakan dan mensucikan. Oleh karena itu barang siapa yang berani menhinakan Al-Quran akan ditindak tegas.
Jika pelakunya muslim, maka dia dihukumi murtad dari Islam. Hal ini ditegaskan dalam Surat at-Taubah ayat 65-66, “Jika kamu bertanya kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab,’Sesungguhnya, kami hanya bersendau gurau dan bermain-main saja’. Katakanlah,’Mengapa kepada Allah, ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kalian selalu menistakan? Kalian tidak perlu meminta maaf karena kalian telah kafir setelah beriman.”
Imam Ibnu Qudamah al Maqdisi menyatakan terkait ayat ini, “Siapa saja mencaci Allah SWT telah kafir, sama saja dia lakukan dengan bercanda atau serius. Begitu juga orang yang mengejek Allah, ayat-ayat-Nya, para Rasul-Nya atau kitab-kitab-Nya.”(Ibn.Qudamah, Al-Mughni, 12/298-299)
Hal yang sama ditegaskan pula oleh Qadhi Iyadh,”Ketahuilah, siapa saja yang meremehkan Al-Quran, mushafnya atau bagian dari Al-Quran, atau mencaci-maki Al-Quran dan mushafnya, ia telah kafir (murtad) menurut ahli ilmu.” (Qadhi Iyadh, Asy-Syifa, II/1101). Inilah hokum syariah yang juga disepakati oleh para fukaha dari kalangan Hanafi, Maliki, Hanbali dan berbagai mazhab lainnya.
Lalu, jika pelaku penghinaan ini ada non-muslim, maka hukumannya terdapat dalam surat At-Taubah ayat 12, “ Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)_nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, perangilah para pemimpin kaum kafir itu.”
Dalam ayat ini, Allah menyebutkan orang kafir yang mencerca dan melecehkan agama Islam sebagai gembong kafir, alias bukan sekadar kafir biasa. Karena itu segala bentuk penistaan terhadap Islam dan syiar-syiarnya sama dengan ajakan perang. Pelakunya akan ditindak tegas. Seorang musli yang melalukan penistaan dihukumi murtad dan dia akan dihukum mati, jika pelakunya kafir ahludz-dzimah, dia akan terkena ta’jir yang berat, bisa sampai dihukum mati.
Namun aturan semua itu hanya bisa dilaksanakan ketika Islam diterapkan dalam bingkai Khilafah. Tanpa Khilafah Al-Quran tidak ada yang melindungi. Penistaan terhadapnya akan terus berulang, bahkan di negeri kaum muslim sendiri. Karena itu saat ini kita tidak hidup dalam naungan Khilafah, sementara para penguasa kita saat ini tidak melakukan tugas dan tanggung jawab untuk membela agama AllahSWT. Maka kewajiban kita saat ini adalah tidak lain berjuang bersama demi tegaknya kembali Khilafah.
Khilafahlah yang akan menerapkan Al-Quran dan As-Sunnah, menegakkan syariah sekaligus menjaga kekayaan, kehormatan dan kemulian umat Islam sehingga mereka tidak akan pernah dihinakan lagi. Seperti halnya Sabda Rasulullah SAW,
“Imam (Khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya”. (HR. Muslim). Wallahu’alam bi ash-showab. (Dari berbagai sumber). [syahid/voa-islam.com]