Pembaca VOA-Islam rahimakumullah...
Pascaaksi Umat Islam 411, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan safari politik ke Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta pimpinan organisasi masyarakat Islam lainnya. Selain itu, Jokowi juga menyambangi instansi keamanan seperti Kopassus, Korps Marinir, dan Brimob. Pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan kendati terlambat, namun langkah Presiden patut diapresiasi sebagai usaha untuk meredakan situasi terkait aksi demonstrasi. Dia yakin kunjungan Jokowi menemui pimpinan ormas Islam dan institusi keamanan membahas tentang persoalan serius.
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak menilai, langkah Presiden Jokowi yang rajin menyambangi basis militer, mengundang teka-teki publik. Menurut Dahnil, langkah Jokowi tersebut akan memunculkan tafsir di masyarakat. Dahnil menilai, aksi Jokowi yang menyampaikan pidato di hadapan ribuan anggota TNI menunjukkan bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta itu sebagai penguasa penuh. Apalagi kunjungan Jokowi ke beberapa basis militer, dilakukan di tengah derasnya protes masyarakat yang tengah menanti proses hukum kasus dugaan penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. (datariau.com, 11/11)
Pada kesempatan kunjungannya ke beberapa instansi keamanan tersebut, Jokowi kerapkali menyebutkan bahwa dia sebagai panglima tertinggi memerintahkan secara khusus kepada pasukan keamanan untuk melindungi seluruh rakyat Indonesia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, maupun golongan (SARA). Jokowi juga memerintahkan agar Brimob meningkatkan kewaspadaan terhadap gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, dan dari upaya memecah belah bangsa. Sekecil apapun gangguan itu, harus segera ditangani hingga tuntas. (detiknews.com, 11/11)
Safari politik yang dilakukan Jokowi ke berbagai pimpinan organisasi massa Islam dan instansi keamanan menyiratkan bahwa Jokowi merasa khawatir dan merasa terancam. Betapa tidak, safari politik tersebut gencar dilakukan secara maraton pascaaksi umat Islam 411. Ada apa gerangan yang menyebabkan Jokowi sedemikian khawatirnya? Benarkah keamanan dan kebhinekaan Indonesia sedang? Ataukah memang sekadar pengalihan isu semata untuk menutupi kasus yang sebenarnya hanya ingin menjerat Ahok?
Pembaca rahimakumullah,
Jika kita teliti lebih mendalam, aksi umat Islam 411 merupakan hak konstitusional umat Islam untuk membela agamanya sebagai hak dalam kebebasan beragama. Hal tersebut sudah diatur oleh Undang Undang secara jelas. Aksi umat Islam pun berjalan secara tertib dan tidak mengangkat isu berbau SARA sedikitpun seperti yang dikhawatirkan oleh beberapa kalangan. Tuntutan umat Islam hanya satu yaitu usut tuntas penodaan terhadap al Quran dan ulama yang dilakukan Ahok. Tidak ada kebencian dalam diri umat terhadap pribadi Ahok atau bahkan kebencian terhadap agama yang dianut Ahok. Akan tetapi, lambannya respon pemerintah dalam mengusut hal ini lah yang membuat umat Islam akhirnya harus bertindak tegas demi membela agamanya. Lebih lanjut lagi, aksi umat tersebut tidak menunjukan upaya untuk memecah belah bangsa atau mengancam kebhinekan Indonesia, tetapi ini berkaitan dengan penodaan agamanya bukan masalah toleransinya.
Umat Islam paham betul makna toleransi yang sebenarnya adalah dengan menghargai dan memberikan peluang untuk nonmuslim menjalankan agamanya. Akan tetapi, penodaan yang dilakukan Ahok justru wujud dari intoleransi teradap umat Islam yang harus ditindak tegas.
Jokowi sebagai panglima tertinggi harusnya memahami bahwa yang mengancam kebhinekaan dan kedaulatan Indonesia bukanlah Islam, umat Islam, dan ajarannya, tetapi ancaman nyata itu adalah kapitalisme yang diterapkan di negeri ini. Dengan ideologi kapitalisme liberal yang dipaksakan atas negeri ini, Barat mecah belah Indonesia. Dengan alasan HAM dan Demokrasi: menentukan nasib sendiri, Timor-timur lepas dari Indonesia. Upaya yang sama sedang mereka lakukan terhadap Papua dan Aceh. Dengan penerapan ekonomi liberal di Indonesia saat ini, kekayaan alam kita dirampok oleh negara-negara Barat. Meskipun Indonesia negeri yang kaya raya, namun rakyatnya hidup menderita. Semua ini dilegalkan dengan UU yang merupakan produk dari sistem politik liberal Demokrasi. Lewat UU Migas, UU Kelistrikan, UU Penanaman Modal, negeri ini dirampok dan rakyat dikorbankan. Dan semua itu dilegalkan melalui sistem demokrasi.
Lihatlah bagaimana rakusnya perusahan perusahaan asing ini . Kontrak karya yang harusnya selesai 2021, lewat berbagai lobi dan tekanan politik mereka minta untuk diperpanjang kembali oleh PT Freeport McMoran hingga 2041. Padahal, selama ini pemerintah hanya memiliki 10 persen saham. Tidak hanya itu, sudah 3 tahun dividen dengan total 4,5 trilyun tidak dibayar oleh perusahan rakus ini. Ironisnya, melalui Direktur Jenderal Anggaran, Kemenkeu memastikan, dividen Freeport yang diproyeksikan sebesar Rp 1,5 triliun tahun lalu, tidak bisa ditagih. Begitu baiknya penguasa terhadap perusahaan asing, bandingkan dengan sikap mereka terhadap utang pajak rakyat kecil.
Tidak hanya itu, dengan ideologi liberal yang sekarang ini diterapkan di Indonesia, generasi muda kita terancam. Ditandai dengan meningkatnya pemakai narkoba meningkat, seks bebas meningkat, pelacuran meningkat, aborsi meningkat, kriminalitas meningkat. Semua ini akibat sistem liberal yang diterapkan di Indonesia. Islam dan umat Islam bukanlah ancaman bagi Indonesia. Justru Islam adalah solusi untuk negeri kita. Akar masalah di negeri kita karena tidak diterapkannya syariah Islam. Sedangkan, penjajahan di Indonesia dan sistem kufur adalah faktor utama yang menghalangi penerapan syariah. Untuk itu umat harus bersatu memutus mata rantai penjajahan di Indonesia demi tegaknya syariah dan khilafah.
Dalam naungan khilafah, Bangsa, suku, ras, bahasa yang berbeda-beda berhasil dilebur dalam wadah Negara Islam. Lahir ulama’ bahasa Arab dari Persia (Sibawaih), Afrika (as-Suyuthi); ahli Balaghah dari Uzbekistan (Zamakhsyari); ahli hadits dari Rusia (al-Bukhari), dsb. Di zaman ‘Umar tidak ada kezaliman terhadap Ahli Dzimmah. Di zaman ‘Umar bin ‘Abdul ‘Azizi, tidak ada lagi kemiskinan di Afrika, dan negeri-negeri yang ditaklukkan. Sementara, kapitalisme melakukan penjajahan untuk menguasai bangsa dan negerinya, agar bisa dikuras untuk memperkuat negara penjajah, serta melemahkan dan memiskinkan negara yang dijajah. Hasilnya? AS melakukan invasi militer ke berbagai wilayah termasuk negeri-negeri Muslim. Lebih dari 1,5 juta penduduk Irak kehilangan rumah, dan terusir dari rumahnya. Penyiksaan di penjara Guantanamo, Abu Ghuraib, dan penjara-penjara rahasia CIA yang ada di sejumlah negeri kaum Muslim. Dan masih banyak lagi fakta rusak yang mengancam akibat diterapkannya kapitalisme.
Pembaca rahimakumullah,
Dalam pandangan Islam, Negara Islam atau Khilafah Islam yang didasarkan pada aqidah Islam dan diatur oleh syariah Islam akan menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyatnya (sandang, pangan, dan papan) tanpa membedakan agama, warna kulit, ras. Termasuk menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi rakyat muslim maupun non muslim. Negara menjamin keamanan tiap warganya baik muslim maupun non muslim. Sebagai ahlul dzimmah, non muslim akan dijaga keamanannya. Secara khusus bagi non muslim , tidak dipaksa untuk memeluk agama Islam, mereka justru dijamin untuk beribadah menurut agama mereka, termasuk berpakaian, makan dan minum sesuai dengan keyakinan mereka.
Karena itu tidak ada alasan untuk menyatakan perubahan mendasar yang mengiginkan syariah Islam dan tegaknya Khilafah seperti ini sebagai ancaman sendi-sendi kehidupan bagi masyarakat. Justru yang menjadi ancaman nyata dan riil bukan hanya potensi tapi benar-benar nyata adalah sistem kapitalisme termasuk ekonomi neoliberal yang dianut teguh oleh bangsa ini. Sistem kapitalisme secara nyata secara sistematis telah membunuh rakyat karena berhasil memiskin rakyat dan membuat mereka menderita. Kemiskinanlah yang jelas akan mengancam sendi kehidupan rakyat termasuk ancaman kekacauan sosial akibat kesenjangan ekonomi.
Kapitalisme gagal menciptakan dan menggerakkan ekonomi riil yang menjadi sumber penghasil rakyat. Kebijakan neoliberal yang mencabut subsidi yang sesungguhnya merupakan hak rakyat lewat instrument privatisasi kesehatan dan pendidikan telah menambah beban rakyat. Walhasil, kapitalisme lah yang nyata mengancam kebhinekaan dan kedaulatan Indonesia, bukan Islam, umat Islam, dan ajaran Islam yang mulia. Wallahu’alam bi ash shawab. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Herliana Herman, S.Pd., Aktivis Dakwah Bandung