View Full Version
Jum'at, 02 Dec 2016

Kapitalisme dan Hegemoni Asing Ancaman Hakiki NKRI

 

Oleh : Zakarya Abu Mustanir (LS DPD HTI Jombang)

Seperti dilansir di merdeka.com (20/11/2016) bahwa Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian berharap Jawa Timur bisa menjadi contoh daerah-daerah lain di Tanah Air dalam menjaga stabilitas keamanan dan kehidupan Berbhineka Tunggal Ika. Di hadapan Ketua DPRD Jawa Timur Abdul Halim Iskandar, Gubernur Soekarwo, Pangdam V Brawijaya, tokoh-tokoh politik dan beberapa Ormas Islam di Jawa Timur serta seluruh undangan, Tito menegaskan perlunya menjaga keutuhan NKRI.

Menurut Tito, Jawa Timur adalah barometer kekuatan mempertahankan NKRI. Sejarah telah membuktikan itu: Betapa dahsyatnya perlawanan Kota Surabaya, yang menjadi napas Jawa Timur dalam mempertahankan kemerdekaan di masa pertempuran 10 November 1945. "Nah sebaliknya, kita berharap Jawa Timur menjadi kota yang sangat penting dalam sejarah kita, yaitu Kota Pahlawan dalam mempertahankan kemerdekaan. Ini bisa menjadi titik tolak, justru untuk menjadi contoh, menjadi motor daerah-daerah lain dalam mempertahankan kebhinekaan, terutama di bawah bapak gubernur," katanya.

Tito juga menekankan betapa pentingnya mengontrol aksi radikalisme, yang berkembang menjadi kepentingan-kepentingan kelompok dengan alasan kebebasan berpendapat dan mengeluarkan ekspresi. "Untuk itu perlu ada mekanisme kontrol, melalui rule of law, aturan-aturan hukum, baik aturan hukum di tingkat nasional, maupun di sini DPRD tingkat provinsi," tandasnya.

Who is The Real Enemy

Berkaitan dengan ancaman terhadap negara ini, kami berpandangan bahwa saat ini negeri ini tengah berada dalam ancaman neoliberalisme dan neoimperialisme. Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara dalam ekonomi, karena negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat yang sangat diperlukan untuk memacu pertumbuhan. Pengurangan peran negara dilakukan di antaranya melalui privatisasi sektor publik, pencabutan subsidi komoditas strategis, penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan yang menyamadudukkan BUMN dengan BUMS (Badan Usaha Milik Swasta) dan sebagainya. Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara—selangkah menuju corporate state (korporatokrasi) saat negara dihela oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Keputusan-keputuasan politik, karenanya, tidak sungguh-sungguh dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing.

Adapun neoimperialisme adalah penjajahan cara baru yang ditempuh oleh negara kapitalis untuk tetap menguasai dan menghisap negara lain. Dulu dikenal dengan semangat gold (kepentingan penguasaan sumberdaya ekonomi), glory (kepentingan kekuasaan politik) dan gospel (kepentingan misi Kristiani). Meski mungkin kepentingan ketiga (gospel) kini tidak diakui, kepentingan pertama dan kedua (gold dan glory) nyata sekali masih berjalan utamanya melalui neoliberalisme.

Siapa sebenarnya yang membahayakan NKRI atau yang jelas-jelas telah mengoyak NKRI? Orang-orang yang diduga radikal-teroris (dengan mindset versi Barat) atau Seorang Presiden RI yang mengeluarkan keputusan politik “referendum Timor-timur” yang berakhir tragis lepasnya Timor-timur dari pangkuan NKRI? Atau keputusan Presiden RI dengan MoU Helsinky yang memberikan jalan lempang bangunan Federalisme Aceh? Atau keputusan Presiden yang melakukan liberalisasi sector migas?

Intelijen tentu paham Analisa dan data intelijen sedemikian rupa telah membaca arah perjuangan politik GAM dengan memanfaatkan MoU, dengan isu demokratisasi dan dukungan LSM-LSM komprador akan mudah Aceh menuju panggung referendum dan sangat mungkin federalism bisa diraih. Dalam konteks Indonesia yang masuk ancaman (terorisme) adalah kelompok yang mengusung semangat etno-nasionalism atau separatism seperti OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan RMS selain kelompok yang dianggap memiliki visi Negara Islam (daulah Islam). Lantas pertanyaannya adalah; kenapa BNPT dengan Densus 88-nya tidak kerja keras menangkap memberangus mereka seperti halnya para aktifis yang disangka atau dituduh teroris? Berapa orang OPM yang ditangkap Densus-88? Sementara hingga saat ini lebih dari 600 orang aktifis Islam dalam bui rezim karena dikaitkan dengan “terorisme”.

Lantas siapa sebenarnya yang membahayakan NKRI? Jika kita telisik banyak sekali kebijakan-kebijakan politik yang menjadikan kedaulatan NKRI hanya menjadi mimpi di siang bolong. Lihatlah; Pemerintah telah memprivatisasi 12 BUMN pada periode 1991-2001 dan 10 BUMN pada periode 2001-2006. Pemerintah tahun 2008 melalui Komite Privatisasi BUMN yang diketuai Menko Ekuin Boediono saat itu mengharapkan agar dari 139 BUMN diprivatisasi menjadi 69 BUMN. Karenanya, privatisasi itu akan terus berjalan. Subsidi dicabut; bagian dari agenda penjajahan yang paling nyata adalah pencabutan secara bertahap subsidi BBM yang telah dan akan dilakukan. Juga pencabutan subsidi di bidang pertanian (seperti pencabutan subsidi pupuk), kesehatan, pendidikan, dll. SDA Indonesia dikangkangi Asing, di bidang perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing.  Diantaranya, Chevron 44%, Pertamina & mitra 16%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1 % lainnya 3% (sumber: Dirjen Migas, 2009).Di bidang pertambangan, lebih dari 70% dikuasai asing. Asing juga menguasai 50,6% aset perbankan nasional per Maret 2011.  Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek. Utang luar negeri; total utang pemerintah Indonesia hingga April 2011 mencapai Rp 1.697,44 triliun.

Dan dampak dari perkara diatas bisa kita lihat; 1.Kemiskinan; Akibat penjajahan baru, di Indonesia saat ini terdapat sekitar 100 juta penduduk miskin menurut kategori Bank Dunia (Okezone, 18/8/2009). 2.Beban berat utang luar negeri; Dalam APBN 2011, pembayaran utang negara (cicilan pokok+bunga utang) meningkat menjadi Rp 247 triliun (Rp 116,4 triliun hanya untuk membayar bunga saja) (Detikfinance.com, 9/1/2011). 3.Kekayaan lebih banyak dinikmati asing; Penerimaan pajak, deviden dan royalti Pemerintah dari PT Freeport selama 2010 (sampai bulan September) adalah sebesar Rp 11,8 triliun (Kompas.com, 14/12/2010). Berapa penghasilan PT Freeport? Dengan saham 91,36%, penghasilan PT Freeport kira-kira Rp 106,2 triliun (Rp 11,8 triliun x 9). Hal yang serupa juga terjadi pada pengeloaan SDA migas dan tambang lainnya. 4.Kesenjangan; contoh di Kaltim, batubara diproduksi sebanyak 52 juta meter kubik pertahun; emas 16.8 ton pertahun; perak 14 ton pertahun; gas alam 1.650 miliar meter kubik pertahun (2005); minyak bumi 79.7 juta barel pertahun, dengan sisa cadangan masih sekitar 1.3 miliar barel. Namun, dari sekitar 2.5 juta penduduk Kaltim, sekitar 313.040 orang (12.4 persen) tergolong miskin.

Di Aceh, cadangan gasnya mencapai 17.1 tiliun kaki kubik. Hingga tahun 2002, sudah 70 persen cadangan gas di wilayah ini dikuras oleh PT Arun LNG dengan operator PT Exxon Mobile sejak 1978. Namun, Aceh menjadi daerah termiskin ke-4 di Indonesia dimana 28,5 % penduduknya miskin.

Dan kita tidak boleh amnesia (hilang ingatan), bahwa penjarahan kekayaan negeri ini bisa berjalan mulus diantaranya karena UU. Dan ini melibatkan para politikus yang di DPR dengan peran legislasinya. Padahal masing-masing undang-undang tersebut, bila dianalisis, berdampak pada kehancuran dahsyat bagi perekonomian nasional dan lingkungan; meningkatkan jumlah kemiskinan struktural, pengangguran, keegoisan, kebodohan, kematian, kelaparan dan chaos.

Selama ini dunia ada dalam cengkeraman ideologi Kapitalisme, dimana para pemilik modal lah yang benar-benar berkuasa. Tentu saja sebuah ideologi tidak akan bisa hidup berdampingan dengan ideologi lain. Apabila ada benih-benih ideologi lain yang hendak bangkit maka secara naluriah Kapitalisme akan mencegah berkembangnya ideologi tersebut, termasuk di dalamnya islam, karena islam bukan sekedar agama ritual, namun juga sebuah ideologi.

Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh SEM Institute menunjukkan data sekitar 72 persen masyarakat Indonesia ternyata setuju dengan penerapan syariat Islam. Sementara lainnya 18 persen tidak setuju dan 10 persen terserah. Belum lagi aksi 411 lalu dengan jutaan orang turun ke jalan hanya demi membela kemuliaan Al Quran menjadi salah satu bukti kepedulian kaum muslimin kepada agamanya. Hal ini menunjukkan benih-benih kebangkitan islam dan kaum muslimin khususnya di Indonesia. Dan tentunya hal ini sangat “mengganggu” eksistensi kapitalisme. Maka dengan berbagai upaya kapitalisme berusaha menghadang laju perkembangan islam.

Umat Islam Wajib Sadar

Sementara itu, meski Indonesia telah merdeka, penjajahan ternyata tidaklah berakhir begitu saja. Neo-imperialisme mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara melalui instrumen utang dan kebijakan global,  lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik. Penentuan pejabat misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa  mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak sepenuhnya untuk rakyat, tapi untuk kepentingan “tuan-tuan’ mereka. Demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, tidak segan mereka merancang aturan dan membuat kebijakan yang merugikan negara. Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.

Kegagalan sistem demokrasi dengan induknya kapitalisme dalam membendung gerakan separatisme dibuktikan dengan lepasnya Timor Timur dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kegagalan atau kemandulan sistem demokrasi untuk menjaga kesatuan negeri sewajarnya menyadarkan segenap pihak untuk menoleh sistem alternatif dan solutif agar negeri mayoritas muslim ini tak mudah digoyahkan atau digoncang oleh riak-riak kecil separatisme yang didukung kekuatan kapitalisme global. Islam sebagai sistem yang bersumberkan dari wahyu Ilahi telah memiliki seperangkat konsepsi yang dapat menjaga kesatuan negeri, bahkan juga bertujuan untuk menyatukan seluruh wilayah dunia dalam naungan kedamaian dan kesejahteraan.

Karena itu, syariah sesungguhnya akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat sistem sekular, dan Khilafah akan menghentikan neo-imperialisme yang kini tengah menimpa negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia.

Karena itu, salah besar jika dikatakan Khilafah akan mengancam NKRI, karena ancaman yang sesungguhnya adalah sekularisme dan neo-imperialisme. [syahid/voa-islam.com]

        


latestnews

View Full Version