View Full Version
Jum'at, 23 Dec 2016

Mendamba Pemimpin Sejati

 

Oleh: Ainun Dawaun Nufus

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Aku tidak melihat dengan mataku, aku tidak berbicara dengan lisanku, aku tidak memukul dengan tanganku, dan aku tidak bangkit dengan kedua kakiku, sehingga aku melihat apakah itu untuk ketaatan atau kemaksiatan? Jika itu untuk ketaatan, maka aku lakukan; sebaliknya jika itu untuk kemaksiatan, maka aku tangguhkan.”

Mengkoreksi Penguasa dari sisi kaum muslimin merupakan salah satu hak umat Islam dan  kewajiban kifayah (fardhu kifayah) atas kaum muslimin. Sementara bagi non muslim yang menjadi warga negara daulah Islam memiliki hak untuk menyampaikan syakwa (aduan) karena kedzoliman penguasa atas mereka atau penyimpangan penerapan hukum Islam atas mereka. (Syaikh Taqiyudin An Nabhani)

Al-Baghyu (kezaliman) juga bisa dilakukan oleh penguasa terhadap rakyat. Penguasa yang menelantarkan rakyatnya, tidak mengurus rakyatnya dengan sungguh-sungguh, tidak memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya, atau membiarkan rakyatnya banyak yang miskin, jelas adalah penguasa yang lalim. Apalagi jika ia merampas hak-hak rakyatnya, seperti menjual sumberdaya alam milik rakyat kepada pihak swasta atau asing. Semua ini merupakan kezaliman yang nyata.

Di luar itu, al-baghyu juga identik dengan sikap memberontak terhadap penguasa (imam/khalifah) yang sah, yang juga terlarang di dalam Islam, yang sering dikenal dengan istilah bughat.

Al-Baghyu (kezaliman) ini termasuk dosa yang tidak bisa dianggap ringan. Sebabnya, banyak nash yang menegaskan tentang balasan yang keras bagi para pelaku tindakan zalim tersebut. Bahkan balasan keras yang berupa hukuman dari Allah SWT tidak hanya akan dirasakan oleh pelakunya di akhirat saja, tetapi juga akan dia rasakan akibatnya di dunia. Abu Bakrah ra menuturkan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Tidak ada dosa yang lebih utama untuk disegerakan azabnya oleh Allah SWT atas pelakunya di dunia—sementara di akhirat ia akan tetap diazab—daripada memutuskan silaturahmi dan bertindak zalim (al-baghyu).” (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Dalam hadits tersebut, tindakan zalim disetarakan dosanya dengan dosa memutuskan silaturahmi, yang juga merupakan dosa yang tidak bisa dianggap ringan.

Umat Islam jangan memilih pemimpin yang lebih mementingkan dirinya, kelompoknya, atau pihak asing dengan membiarkan rakyatnya. Berkaitan dengan hal ini, Abu Dawud, al-Baihaqi dalam Al-Kubra dan Ash-Shaghir, dan Ibnu Saad dalam Ath-Thabaqat meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk menjadi pemimpin yang mengurusi urusan kaum Muslim, lalu ia menghindar dari kebutuhan, kekurangan dan kefakiran rakyatnya, Allah pasti akan menutup diri darinya ketika ia kekurangan, membutuhkan dan fakir.”

Dalam sabda beliau dikatakan, bahwa pemimpin laksana perisai; umat berlindung dan berperang di belakangnya. Pemimpin yang sesuai dengan hadis nabi tentunya adalah pemimpin yang bertakwa, adil dan mencintai rakyatnya sehingga rakyatnya pun mencintainya; pemimpin yang takut kepada Allah dan mampu memimpin negeri ini menjadi bangsa yang besar, kuat dan terdepan

Imam Ahmad dan ath-Thabrani meriwayatkan dari Syuraik, dari Abu Hushain, dari al-Wabili sahabat dekat Muadz bin Jabal, dari Muadz, yang berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah Azza Wa Jalla untuk menjadi pemimpin yang mengemban urusan orang banyak, lalu ia menghindar dari orang yang lemah dan yang membutuhkan, pasti Allah akan menutup diri darinya pada Hari Kkiamat.

Ibnu Hajar menyebutkan bahwa dalam hadis tersebut terdapat ancaman keras terhadap orang yang menjadi penguasa bagi rakyat. Ancaman tersebut berlaku pada penguasa yang menghalangi diri untuk memenuhi hak-hak masyarakat atau jika ia menyia-nyiakan rakyatnya tanpa uzur. Syaikh Faishal bin Abdil Aziz al-Mubarak menuturkan, “Ini adalah ancaman yang keras bagi orang yang menutup diri dari rakyatnya sehingga ia tidak menunaikan hajat-hajat rakyatnya; baik ia seorang raja, menteri, hakim, pemimpin, kepala bagian ataupun tingkatan yang lebih rendah lagi selama termasuk orang yang mengurusi urusan masyarakat.” (Tathriz Riyadh ash-Shalihin, hlm. 427).

Selain itu, Nabi saw. menegaskan, “Sesungguhnya sejelek-jelek penggembala adalah yang kasar terhadap hewan gembalaannya.” (HR Muslim).

Penguasa adalah penggembala. Penguasa yang kasar dan abai pada kepentingan rakyatnya merupakan penguasa yang sejelek-jeleknya. Berkaitan dengan kehidupan pemimpin Islam, Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Seorang khalifah tidak halal memiliki harta dari Allah, kecuali dua piring saja. Satu piring untuk kebutuhan makannya bersama keluarganya. Satu piring lagi untuk ia berikan kepada rakyatnya.” (HR Ahmad).

Rasullah Muhammad saw. telah menggambarkan dan menjelaskan bagaimana seharusnya seorang pemimpin. Dalam sabda beliau dikatakan, bahwa pemimpin laksana perisai; umat berlindung dan berperang di belakangnya. Pemimpin yang sesuai dengan hadis nabi tentunya adalah pemimpin yang bertakwa, adil dan mencintai rakyatnya sehingga rakyatnya pun mencintainya; pemimpin yang takut kepada Allah dan mampu memimpin negeri ini menjadi bangsa yang besar, kuat dan terdepan. Inilah pemimpin harapan rakyat, seperti para pemimpin pada masa-masa Kekhilafahan Islam.

Pemimpin yang menjadi harapan rakyat ini tentu bukanlah pemimpin yang menerapkan aturan Kapitalisme, karena aturan ini tidak berasal dari Allah Swt. Justru aturan inilah yang membawa rakyat pada penderitaan yang tak kunjung selesai. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version