View Full Version
Ahad, 15 Jan 2017

Menjaga Perkataan dan Tulisan

Oleh: Umar Syarifudin (Pengasuh Majlis Taklim Al-Ukhuwah)

Kepada para pengemban dakwah yang bersih dan bertakwa, penulis mendoakan kebaikan untuk Anda dan semoga Allah menerima berbagai ketaatan dan semoga Allah menjaga Anda sekalian dari semua keburukan dan melindungi Anda sekalian dari semua kejahatan. Ada harapan setelah penderitaan. Ada kabar gembira jalan keluar setelah situasi menyedihkan. Ada kemudahan setelah kesusahan. Ada ketenteraman yang dekat setelah derita panjang.

Sudah sepantasnya setiap muslim memperhatikan apa yang dikatakan oleh lisan dan tulisannya, karena bisa jadi seseorang menganggap suatu perkataan hanyalah kata-kata yang ringan dan sepele namun ternyata hal itu merupakan sesuatu yang mendatangkan murka Allah Ta’ala. Hendaknya selalu berhati-hati agar tidak terjerumus meyakini dan turut menyebarkan kabar bohong dan fitnah.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya Allah meridhai kalian pada tiga perkara dan membenci kalian pada tiga pula. Allah meridhai kalian bila kalian hanya menyembah Allah semata dan tidak mempersekutukannya serta berpegang teguh pada tali (agama) Allah seluruhnya dan janganlah kalian berpecah belah. Dan Allah membenci kalian bila kalian suka qila wa qala (berkata tanpa berdasar), banyak bertanya (yang tidak berfaedah) serta menyia-nyiakan harta”

Di antara tanda baiknya seorang muslim adalah ia meninggalkan hal yang sia-sia dan tidak bermanfaat. Waktunya diisi hanya dengan hal yang bermanfaat untuk dunia dan akhiratnya. Sedangkan tanda orang yang tidak baik islamnya adalah sebaliknya.

Sebaik-baik perkara adalah membekali diri dengan ilmu. Jika seseorang merasa cukup dengan apa yang diketahuinya, maka dia telah diperbudak oleh pikiran (pandangan)-nya. Akhirnya, dia pun begitu mengagungkan dirinya, sehingga menghalanginya untuk belajar kepada orang lain. Padahal, dengan saling belajar, akan tampak kesalahan (dan kekurangan)-nya

Sebaik-baik perkara adalah membekali diri dengan ilmu. Jika seseorang merasa cukup dengan apa yang diketahuinya, maka dia telah diperbudak oleh pikiran (pandangan)-nya. Akhirnya, dia pun begitu mengagungkan dirinya, sehingga menghalanginya untuk belajar kepada orang lain. Padahal, dengan saling belajar, akan tampak kesalahan (dan kekurangan)-nya.  Ibn Jauzi, Shaid al-Khathir, hal 62.

Hasan al-Bashri berkata: “Kebanyakan orang sama ketika mendapatkan nikmat, tetapi saat ujian (bala’) ditimpakan, mereka berbeda (satu sama lain).” Ibn Jauzi berkomentar: Akal adalah simpanan terbaik dan bekal untuk menghadapi perang melawan bala’ [Ibn Jauzi. Shaid al-Khathir, 78]

Umar bin Abdul Aziz berkata: “Siapa saja yang tidak mengalkulasi perkataan dari perbuatannya, maka banyak kesalahannya.” Sebagian ahli hikmah berkata: “Akal seseorang bersembunyi di bawah lisannya.” Sebagian ahli balaghah berkata: “Penjaralah lisanmu, sebelum kamu dipenjara dalam waktu yang lama, atau jiwamu binasa. Tidak ada sesuatu yang lebih utama dari memenjara dalam waktu yang lama terhadap lisan yang sedikit benar, namun banyak bicara.

Abu Tammam ath-Tha’iy berkata: Di antara ahli hikmah mengatakan bahwa lisan seseorang termasuk bayangan hati. Sehingga sebagian ahli hikmah mengurangi kesempatan berbicara, dan berkata:

Apabila Anda duduk bersama orang-orang bodoh (dalam satu forum), maka diamlah. Dan apabila Anda duduk bersama para ulama (dalam satu forum), maka diamlah. Sesungguhnya diammu ketika bersama orang-orang bodoh, maka itu akan menambah kesabaran. Sementara diammu ketika bersama para ulama, maka itu akan menambah pengetahuan (ilmu). Dari Kitab Adab ad-Dunyā wa ad-Dīn, karya Imam al-Mawardia dari neraka, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan tentang rukun iman dan beberapa pintu-pintu kebaikan, kemudian berkata kepadanya: “Maukah kujelaskan kepadamu tentang hal yang menjaga itu semua?” kemudian beliau memegang lisannya dan berkata: “Jagalah ini” maka aku (Mu’adz) tanyakan: “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa dengan sebab perkataan kita?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Semoga ibumu kehilanganmu! (sebuah ungkapan agar perkataan selanjutnya diperhatikan). Tidaklah manusia tersungkur di neraka di atas wajah mereka atau di atas hidung mereka melainkan dengan sebab lisan mereka.” (HR. At-Tirmidzi)

Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata mengenai makna hadits di atas, “Secara dzahir hadits Mu’adz tersebut menunjukkan bahwa perkara yang paling banyak menyebabkan seseorang masuk neraka adalah karena sebab perkataan yang keluar dari lisan mereka. Termasuk maksiat dalam hal perkataan adalah perkataan yang mengandung kesyirikan, dan syirik itu sendiri merupakan dosa yang paling besar di sisi Allah Ta’ala. Termasuk maksiat lisan pula, seseorang berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu, ini merupakan perkara yang mendekati dosa syirik. Termasuk di dalamnya pula persaksian palsu, sihir, menuduh berzina (terhadap wanita baik-baik) dan hal-hal lain yang merupakan bagian dari dosa besar maupun dosa kecil seperti perkataan dusta, ghibah dan namimah. Dan segala bentuk perbuatan maksiat pada umumnya tidaklah lepas dari perkataan-perkataan yang mengantarkan pada terwujudnya (perbuatan maksiat tersebut). (Jami’ul Ulum wal Hikaam)

Hendaklah seseorang berpikir dulu sebelum berbicara. Siapa tahu karena lisannya, dia akan dilempar ke neraka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang berbicara dengan suatu perkataan yang tidak dipikirkan bahayanya terlebih dahulu, sehingga membuatnya dilempar ke neraka dengan jarak yang lebih jauh dari pada jarak antara timur dan barat.” (HR. Muslim)

Ulama besar Syafi’iyyah, An Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, ”Ini merupakan dalil yang mendorong setiap orang agar selalu menjaga lisannya sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda. [syahid/voa-islam.com]

‘Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka berkatalah yang baik dan jika tidak maka diamlah.’ (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, selayaknya setiap orang yang berbicara dengan suatu perkataan atau kalimat, hendaknya merenungkan dalam dirinya sebelum berucap. Jika memang ada manfaatnya, maka dia baru berbicara. Namun jika tidak, hendaklah dia menahan lisannya.” Itulah manusia, dia menganggap perkataannya seperti itu tidak apa-apa, namun di sisi Allah itu adalah suatu perkara yang bukan sepele. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version