View Full Version
Sabtu, 18 Feb 2017

Pe-milu dan Kepiawaian Mendesain Janji

Oleh: AZKIA 

Pemilu yang saya maksudkan ini bermakna lain, berasal dari kata dasar pilu yang mendapat awalan pe- yang berarti pelaku atau pembuat. Sebagai contoh kata panah yang mendapat awalan pe menjadi pemanah, yaitu orang yang melakukan aktivitas memanah. Sedang kata rusuh, jika mendapat awalan pe menjadi perusuh bermakna orang yang membuat rusuh. Maka Pe-milu adalah pembuat pilu atau sumber munculnya rasa pilu. Apakah pilkada serentak yang akan diselenggarakan oleh 76 kota dan 18 kota di Indonesia pada tanggal 15 Pebruari juga menjadi Pe-milu bagi masyarakat Indonesia?

Hari rabu tanggal 15 Pebruari merupakan tanggal yang mendebarkan bagi beberapa orang di Indonesia. Bagi para calon kepala daerah, ini adalah saat-saat yang menentukan nasib mereka. Karena pada hari itu seluruh hasrat politik mereka akan ditentukan oleh banyak sedikitnya dukungan suara rakyat. Jika suara rakyat yang mendukung banyak, maka ambisi politik mereka bisa dipastikan terealisir, begitu sebaliknya. Bagi partai pengusung calon kepala daerah, tanggal tersebut menjadi penentu apakah dia bisa “numpang” keberuntungan kepada calon yang mereka usung apa tidak. Dengan menangnya calon yang mereka usung, maka program mereka (pribadi maupun keparatain) akan mulus.

Sedang bagi rakyat, tanggal tersebut sebagai penentu di tangan siapakah nasib mereka berada. Apakah seorang pemimpin yang adil sebagaimana Umar bin abdul azis, ataukah raja diktator nan bengis semacam Fir’aun meski berbeda zaman dan bentuk kebengisannya?

Terlepas apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, fakta menunjukkan partisipasi rakyat terhadap pemilu (salah satunya pilkada) makin tahun makin merosot. Berdasarkan data dari KPU dan BPS, angka partisipasi rakyat pada pada pemilu tahun 1971 adalah 96,6 %, dan terus menurun menjadi 92,6 % pada tahun 1999. Pemilihan presiden pada putaran I tahun 2004 angka partisipasi rakyat 78,2% dan pada putaran kedua menurun menjadi 76,6%. Bahkan pada pilkada di jawa tanggal 22 Juni 2008 angka golput mencapai 41,5%, yang artinya hampir separuh rakyat tidak berminat untuk datang ke bilik suara melakukan pemilihan pemimpin daerahnya.

Penyebab ketidakhadiran rakyat di pemilu bermacam-macam.Menurut Soebagio, salah satunya adalah bahwa pemilu (termasuk pilkada) belum mampu menghasilkan perubahan yang berarti bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini wajar, karena dalam sistem demokrasi kapitalis, yang berpeluang mendapatkan kesejahteraan adalah para pengusaha atau pemilik modal. Rakyat yang berprofesi sebagai buruh (baik swasta maupun pegawai negeri) mendapat upah yang sekadarnya dengan biaya hidup yang terus naik diiringi dengan penghapusan subsidi oleh pemerintah dan pembayaran pajak yang semakin banyak jenis dan besarnya.

 

...Sekalipun berganti pemimpin, namun sistem demokrasi menjamin tidak akan berubah arah kesejahteraan rakyat. Bahkan semakin hari kita dapati rakyat semakin sengsara dan angka kemiskinan terus meroket...

Sekalipun berganti pemimpin, namun sistem demokrasi menjamin tidak akan berubah arah kesejahteraan rakyat. Bahkan semakin hari kita dapati rakyat semakin sengsara dan angka kemiskinan terus meroket. Hal ini karena Indonesia semakin miskin, disebabkan oleh utang yang melangit dan SDA yang dikangkangi asing. Untuk biaya operasionalnya, negara harus mengais perasan keringat rakyat yang berupa pajak.

Semua persaingan dan mekanisme itu membuat setiap kontestan berupaya habis-habisan agar meraih suara terbanyak. Para kontestan pun jor-joran mengeluarkan biaya. Jadilah, Pemilu sangat mahal. Para caleg mengeluarkan biaya ratusan juta hingga triliunan rupiah. Kepiawaian “mendesain” janji adalah salah satu kunci kemenangan di pemilu. Sistem politik yang mahal itu membuat kekuatan uanglah yang dominan. Jadilah negara makin kental bercorak korporatokrasi. Persekongkolan penguasa-pengusaha pun makin menjadi-jadi.

Biaya politik tinggi itu meminta kompensasi dan membawa konsekuensi. Jika berasal dari dana sendiri atau utang, dikompensasi dengan korupsi, manipulasi dan kolusi. Jika berasal dari cukong, dikompensasi dengan dua cara: Pertama, kebijakan yang menguntungkan para kapitalis seperti pemberian konsesi lahan atau tambang, keringanan pajak, pembebasan bea, pajak dibayari negara. Kedua, dengan rekayasa atau pengaturan proyek. Proyek dibuat dan dibagi-bagi untuk para cukong itu.

Pemilu / pilkada mahal juga membawa konsekuensi, yaitu bagaimana secepatnya kembali modal. Karena itu, begitu terpilih, aleg (anggota legislatif) dan para pejabat pun berubah pelupa; lupa kepada rakyat, lupa pada janji kampanye, lupa moral bahkan berpura-pura lupa dosa. Cara korupsi, manipulasi dan cara-cara kotor lainnya dilakukan. Hal itu ditambah dengan memperbesar pendapatan legal atas nama tunjangan, peningkatan gaji, fasilitas, insentif, dsb.

Suatu fakta yang tidak mengherankan jika rakyat sudah mulia apatis untuk berharap adanya perubahan nasib jika sistem demokrasi masih menjadi “pakem” di negeri ini. Apalagi rakyat sering dikecewakan oleh elit politik yang sulit merealisasikan janji-janjinya. Janji sering dijadikan sebagai racun yang dibalut dengan madu, nampak manis dipermukaan namun pahit dan berbahaya bagi yang tidak menyadariya. Janji adalah sebuah kewajiban bagi para elit tanpa harus diwujudkan.

Fakta-fakta ini menunjukkan, pemilu yang seharusnya menjadi awal munculnya secercah harapan, justru awal kepiluan bagi  rakyat. Maka sungguh Pemilu dalam demokrasi adalah awal kesengsaraan dan penderitaan rakyat. Lalu sampai kapan kepiluan ini akan berakhir? (riafariana/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version