Oleh: Umarwan Sutopo Lc, M.Hi*
Kegaduhan di Indonesia seolah terus mengalir tanpa henti, satu kasus belum usai disambung kemunculan isu dan kasus yang lainnya. Belum lagi masyarakat menyaksikan penyelesaian terdakwa penista agama (Ahok), tiba-tiba beralih ke wacana sertifikasi da’i sehingga menambah gaduh politik dalam negeri. Betapa tidak, Indonesia saat ini bukan negara otoriter yang kekuasaannya mencengkram di setiap lini kehidupan masyarakatnya.
Ada ruang dimana pemerintah tidak boleh terlalu campur tangan di dalamnya semisal permasalahan teknis keagamaan. Ia hanya sebagai fasilitator keagamaan dan bukan pengatur. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa terkecuali Indonesia bukan negeri berbasis syariat seperti Kelantan di Malaysia, Indonesia adalah negeri yang menerapkan demokrasi yang menjamin kemerdekaan masyarakatnya.
Akhirnya Pro dan kontra bergulir. Sebagian umat Islam tentu merasa dirugikan dengan wacana ini, ada banyak alasan untuk hal tersebut. Ide sertifikasi da’i bisa menjadi bentuk pemasungan terhadap dakwah islam. Selain daripada itu, muncul beragam asumsi yang sulit untuk ditolak bahwa jika ide ini benar-benar dijalankan, maka sertifikasi justru akan menambah persoalan. Setidaknya akan muncul 2 (dua) jenis Da’i, yakni Da’i pemerintah dan Da’i Non pemerintah. Tentu saja dikotomi tersebut akan memunculkan Imej yang tidak baik. Anggaran Negara yang semakin berat dan kesan intervensi atau monitoring oleh pemerintah akan sangat kentara.
Kecurigaan umat terhadap ide besar sertifikasi juga perlu dipertimbangkan, menyusul penyudutan islam oleh banyak media akhir-akhir ini baik melalui isu teroris, radikal, dan intoleran yang selalu dikaitkan dengan islam. Menag Lukman Hakim dalam dialog di TV One Jumat (3/2/2017) menegaskan bahwa program ini tidak murni muncul dari lembaga yang dipimpinnya, melainkan untuk merespons aspirasi dan tuntutan sejumlah pihak yang merasa resah karena khutbah yang dinilai menyebarkan kebencian pada pihak lain.
Pertanyaannya adalah pihak mana yang merasa resah? dan apakah sertifikasi da’i merupakan satu-satunya formulasi yang tepat untuk merespon itu? Bukankah kesimpulan yang prematur dan hanya akan melahirkan keresahan. Saat ini keresahan masyarakat muncul dari banyak aspek, tetapi aspek yang terbesar sebenarnya justru berasal dari kelambanan pemerintah dalam mewujudkan kemakmuran warga negaranya. Harga kebutuhan hidup yang semakin tinggi menyusul naiknya Tarif listrik, harga cabai yang tidak masuk akal, menjamurnya pekerja ilegal asal Tiongkok, pencabutan tunjangan guru besar di perguruan tinggi, dan seabreg permasalahan lainnya. Sehingga menghakimi da’i sebagai sumber masalah. Ibarat pepatah “gajah di pelupuk mata tak tampak sementara kuman di seberang lautan tampak”.
Masyarakat Indonesia sudah bertahun-tahun hidup secara guyup rukun bukan hanya dalam keberagaman suku, dan ras, tetapi juga agama. Tidak ada permasalahan serius terkait dai-dai yang berdakwah. Masyarakat sudah semakin arif dan bijaksana untuk menentukan apa yang baik dan tidak baik, apa yang seharusnya dan tidak seharusnya.
Hemat penulis, sebaiknya pemerintah fokus dalam usaha menyejahterakan rakyat, menegakkan keadilan, dan tugas-tugas penting lainnya yang merupakan amanah undang-undang dari pada menyibukkan pada urusan yang bukan menjadi kewenangannya. Terlebih lagi, persoalan dakwah (islam) sudah berjalan sebelum Indonesia terbentuk dengan munculnya 3 (dua) Organisasi keagamaan di Tanah Air, yaitu Muhammadiyah, Nahdlatul ulama dan Persatuan islam.
Seandainya pemerintah ingin benar-benar berpartisipasi dalam dakwah, maka langkah yang tepat adalah membantu perbaikan madrasah, pesantren, perbankan syariah, maupun amal usaha organisasi tersebut, dan bukan menggulirkan ide sertifikasi dan standarisasi kepada da’i-da’inya. Wallahu’allam. [syahid/voa-islam.com]
*) Pernah mengabdi di Ponpes Muhammadiyah al-Munawwaroh kota Malang dan kini menjadi Dosen di STAIN Ponorogo