Sahabat VOA-Islam...
Pada tahun 2017 akan diadakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di seantero negeri ini. Tahun ini akan ada 101 daerah yang akan memilih kepala daerah baru dengan menggunakan uang rakyat. Anggaran dana yang disiapkan untuk proses Pilkada ini juga cukup fantastis yakni mencapai 4,2 Triliun (pikiran-rakyat.com).
Hiruk pikuk Pilkada serentak tahun 2017 dengan segala pernak-perniknya belumlah usai. Bahkan Pilkada DKI Jakarta masih sangat panas dan menjadi perbincangan nasional. Pilkada tahun ini belum beres semua, namun di beberapa daerah lain justru sudah mempersiapkan untuk menggelar Pilkada serentak tahun 2018. Pada tahun depan menurut data dari Kementrian Dalam Negeri akan ada 118 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada (antaranews.com).
Salah satu daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada tahun 2018 ini adalah Kabupaten Nganjuk. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Nganjuk sudah menyiapkan anggaran untuk pemilihan Bupati (Pilbub) 2018 sebesar Rp. 45,998 miliar. Sebanyak 60% digunakan untuk membayar gaji dan honor pegawai, sisanya digunakan untuk kebutuhan logistik Pilkada. Selain itu KPU Kabupaten Nganjuk juga menaggung biaya kampanye pasangan calon, kampanye lewat media serta debat pilkada (Radar Nganjuk 28/01/2017).
Bila dicermati, biaya penyelenggaraan Pilkada serentak ini terbilang cukup mahal. Apalagi pilkada serentak ini akan dilaksanakan selama 7 gelombang, yakni Desember 2015, Februari 2017, Juni 2018, tahun 2020, tahun 2022, tahun 2023, dan pilkada serentak secara nasional tahun 2027 (antaranews.com). Dana pesta demokrasi juga harus dirogoh mahal oleh para peserta pemilu, baik itu Pilkada, Pileg maupun Pilpres. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan bahwa seorang calon anggota legislatif DPR wajarnya mengeluarkan rata-rata dana sebesar Rp1,18 miliar. Mahalnya proses demokrasi di Indonesia ini akan membuka pula peluang korupsi.
Selain berbiaya mahal, demokrasi juga gagal menghilangkan oligarki politik. Dalam praktek demokrasi dimanapun, kekuasaan tetap saja dipegang oleh sekelompok minoritas yaitu para kapitalis, kelas politik, dan elit partai. Bahkan, para pemimpin partai politik sekarang ini mayoritas adalah pengusaha kaya raya. Para calon pimpinan daerah maupun pusat pun adalah para pengusaha kaya yang siap untuk menaikkan citranya di dalam dunia politik. Mereka mampu membeli politik (kekuasaan) dengan kemampuan ekonomi yang mereka miliki.
Sebaliknya, mereka menumpuk ekonomi (material, kekayaan) dengan cara mencari hidup di politik. Maka menjadi sebuah kewajaran jika pasca pemilu, kepentingan elit lebih diutamakan daripada kepentingan rakyat. Kepala daerah dan wakil rakyat tidak lagi mewakili rakyat akan tetapi mewakili diri sendiri, golongannya (partai) dan para kapitalis yang sudah mendukungnya saat pemilu. Rakyat akan terus dikhianati selama sistem demokrasi diterapkan.
Demokrasi adalah sistem yang gagal, rusak dan merusak serta berbiaya mahal. Kerusakan yang menyertai demokrasi adalah sesuatu hal yang wajar, sebab demokrasi lahir dari rahim pemikiran manusia yang terbatas, lemah dan serba kurang. Karena itu sistem demokrasi itu harus segera ditinggalkan dan dicampakkan. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 50 yang artinya “Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (TQS al-Maidah [5]: 50).
Saatnya umat Islam kembali kepada aturan yang berasal dari Allah yakni syariat islam yang diterapkan menyeluruh dalam bingkai Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [syahid/voa-islam.com]
Kiriman Wijaya Kurnia Santoso (Syabab HTI Nganjuk)