Oleh: Wulan Citra Dewi, S.Pd.
Lagi, aksi kekerasan menorehkan bercak kepedihan di dunia pendidikan. Sebuah lembaga yang sejatinya menjadi tujuan sebagai pembentuk karakter dan kepribadian generasi, kini menjadi sebuah paradoks yang seringkali berkelindan pada keputus-asaan. Masihkah ada harapan akan terlahirnya generasi gemilang, berintelektualitas sekaligus berakhlak mulia?
Amirullah Aditya Putra (18), taruna tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, 10 januari 2017 lalu harus meregang nyawa akibat tindak kekerasan dari sejumlah seniornya. Ternyata, Amirullah bukan yang pertama. Ada beberapa nama yang juga menjadi pelampiasan hasrat premanisme dari para pelajar (senior) yang bergelar kaum intelektual di sekolah tinggi ini. Diantaranya, Daniel Roberto Tampubolon. Ia menerima pukulan berkali-kali dan dipaksa menelan cabai rawit. Peristiwa ini terjadi pada senin 6 April 2015 silam. Begitupun dengan penganiayaan yang berujung pada kematian Dimas Dikita Handoko, sempat menggegerkan publik pada 2014. (medan.tribunnews.com/11-01-17)
Tidak pandang bulu, unjuk otot dan arogansi saat ini tidak hanya melanda kaum laki-laki. Wanita yang fitrahnya memiliki perasaan halus lagi lembut, kini bermetamorfase menjadi monster jadi-jadian yang sadis dan mengerikan. Adalah Aminah, mahasiswi tingkat pertama dari salah satu Universitas swasta di Kota Bandung, menjadi korban penganiayaan yang dilakukan oleh empat orang pelaku. Dua diantaranya adalah wanita, dan keduanya pun berstatus sebagai mahasiswi, berkecimpung di dunia pendidikan. Peristiwa ini terjadi pada selasa (24/1) di Metro Suite Apartemen, Jalan Soekarno-Hatta, Bandung dan kini telah ditangani oleh Polsek Buahbatu, Bandung. (detiknews.com/28-01-17)
Miris, bahkan menitik air mata jika membaca detail kronologis penganiayaan yang dilakukan oleh para kaum pelajar tersebut. Terlintas tanya dalam benak saya, sudahkah berlaku hukum rimba di negeri ini? bahkan keintelektualan seseorang tidak lagi mampu menuntunnya dalam koridor kemanusiaan apalagi keagamaan? Di mana lagi letaknya nurani, kasih sayang, santun, menghormati dan saling melindungi? Sudahkah itu semua hanya menjadi cerita masa lalu yang tidak selaras dengan masa kini? Di mana budaya ketimuran negeriku?
Sekulerisme; Asas Pendidikan yang Rusak dan Merusak
Harus disadari, bahwa akar permasalahan atas berulangnya tindak kekerasan di dunia pendidikan adalah buah dari asas sistem pendidikan yang sekuler. Yakni, sistem yang menjauhkan peran agama dalam kehidupan. Agama hanya dijadikan sebagai salah satu mata pelajaran yang diperlakukan sama seperti pelajaran yang lainnya. Sebatas untuk uji kompetensi, itu saja. Sedangkan dalam realita kehidupan, nilai-nilai keagamaan yang terangkum lengkap dalam syariat Islam tidak diterapkan.
...Permasalahan sistem harus diselesaikan dengan sistem pula. Kekerasan dalam dunia pendidikan dapat disudahi jika kita berani mencabut dan mencampakkan sistem kapitalisme sekulerisme...
Sistem pendidikan yang sekuler hanya melahirkan generasi yang tidak utuh. Tinggi intelektualitasnya namun rendah bahkan kering dari sisi ruhiyahnya. Mengapa hal ini bisa terjadi? Yah, karena memang karakter dari sekulerime hanyalah berorientasi pada asas manfaat (materi) semata. Tidak ada pengkaitan sedikitpun dengan unsur-unsur keagamaan. Dipisahkan sedemikian rupa sehingga muncul sebuah rasa bahwa Allah S.w.t. itu hanya ada dalam saat-saat dan tempat tertentu saja. Allah S.w.t. hanya ada pada saat kita shalat. Allah S.w.t. hanya ada di bulan ramadhan atau di masjid saja. Sedangkan di luar dari itu semua, Allah S.w.t. tidak ada sehingga siapapun bebas berbuat apa saja.
Wajar, jika kemudian banyak kaum terdidik yang berbuat sesuka hati kepada siapa saja, kan?! Karena Allah S.w.t. sebagai pencipta dan pengaturnya dianggap tidak ada. Pahala dan dosa, surga dan neraka, itu semua hanya ada dalam pelajaran agama yang wajib diketahui untuk uji kompetensi semata. Bukan untuk dipahami dan diamalkan dalam menjalani kehidupan. Ditambah dengan semakin mudahnya memperoleh tontonan yang mengajarkan kekerasan baik di TV maupun di sosial media. Maka jadilah gaya hidup liberal diagung-agungkan sebagai jawara oleh para generasi muda. Semakin bebas, sadis, nekat, vulgar, maka itu semakin hebat dan berpeluang untuk menjadi terkenal. Begitulah kira-kira anggapan dangkal generasi muda kita saat ini. inilah wajah asli sekulerisme, ia tidak hanya rusak tapi juga telah merusak siapa saja yang bersentuhan dengannya. Nastagfirullah!
Mengakhiri Budaya Kekerasan, Mengakhiri Sekulerisme dalam Kehidupan
Masalah kekerasan di dunia pendidikan tidak bisa dipandang hanya sebatas kasuistik. Hal ini karena kasus yang terjadi tidak hanya menimpa dan melibatkan satu atau dua orang saja. Melainkan telah menggejala ke segala level dan usia. Oleh karena itu, solusi atas masalah akut ini tidak bisa jika hanya teknis semata. Penyelesaiannya juga tidak tepat jika hanya dibebankan kepada sekolah dan orang tua. Meningkatkan jam belajar di sekolah atau Pengawasan bahkan pelarangan penggunaan gadget bagi para pelajar, misalnya.
Masalah ini harus dipandang sebagai masalah yang sistemik. seluruh komponen, baik individu, masyarakat, lembaga pendidikan, pemerintah bahkan negara harus segera menyadari bahwa budaya kekerasan ini muncul akibat penerapan sistem kapitalis sekulerisme. Sistem yang rentan menimbulkan stres karena banyaknya tekanan hidup, kesenjangan sosial, ketidak adilan dan keringnya ruhiyah. Sistem yang menyuburkan budaya hukum rimba dan mengeringkan budaya ketimuran yang santun, saling menyayangi dan tolong menolong terhadap sesama.
Permasalahan sistem harus diselesaikan dengan sistem pula. Kekerasan dalam dunia pendidikan dapat disudahi jika kita berani mencabut dan mencampakkan sistem kapitalisme sekulerisme. Tidak hanya di dunia pendidikan, akan tetapi di seluruh aspek kehidupan. kemudian kembali menancapkan sistem yang memanusiakan manusia. Yakni syariat Islam secara kaffah, sistem yang berasal dari pencipta dan pengaturnya manusia serta alam semesta, Allah S.w.t. yang Esa. Ini, adalah tanggungjawab semua elemen.
Individu, masyarakat, lembaga pendidikan, pemerintah dan negara harus menyatukan pemikiran dan perasaan untuk kemudian menjadikan syariat Islam sebagai satu-satunya sistem dalam mengatur kehidupan. Dengan aturan yang bersumber dari Al Khaliq, maka lahirnya manusia yang berintelektualitas tinggi dan berakhlak mulia bukan hanya jargon semata. Wallahualam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google