SURAT PEMBACA:
Kasus korupsi memang tak ada matinya di negeri ini, Indonesia. Yang terbaru diperbincangkan adalah kasus korupsi e-KTP. Uang memang menggiurkan semua orang, apalagi yang memiliki kesempatan untuk mengambilnya. Namun, kita tidak hidup untuk mendapatkan uang sebanyak-banyaknya hingga merampas hak orang lain.
Bayangkan saja bahwa 50% dana e-KTP yang turun dipakai untuk pembangunan, namun 49% nya dibagi-bagi untuk pejabat. Kemudian, jika mereka dimejahijaukan hukuman yang akan didapat mulai dari 4 hingga 20 tahun penjara, atau denda 200 juta hingga 1 Milyar. Sudah jera setelah menerima hukuman tersebut? Tidak. Buktinya, setiap tahun selalu saja muncul kasus baru lagi hingga membuat masyarakat menganggap melakukan korupsi adalah hal biasa.
Inilah bukti bahwa manusia memang memiliki sifat serakah. Tidak pernah merasa cukup dengan kenikmatan yang dirasakannya. Dalam kasus E-KTP ini pihak yang terlibat dalam penerimaan uang sangat banyak. Tentu saja, dana segar tidak akan dinikmati sendiri, tapi dibagi-bagi. Pencuri pun memiliki taktik bagaimana dia dianggap tidak mencuri. Korupsi yang dilakukan banyak pihak membuat mereka aman. Jika salah satu pihak terlapor telah melakukan korupsi, maka pihak lain juga ikut terseret. Sehingga mereka semua tutup mulut akan hal tersebut. Inilah mengapa kasus korupsi terus menerus ada.
Menilik sistem yang diterapkan di Indonesia memang bukan sistem ideal melainkan sistem sekuler, memisahkan antara agama dengan kehidupan. Asas yang diterapkan hanyalah asas manfaat dimana semua orang akan melakukan suatu hal jika mereka mendapatkan manfaat yang bisa dirasakan di dunia, tanpa melihat bagaimana hal tersebut akan ditanyakan di hadapan Allah SWT.
Mereka melupakan pencipta ketika bekerja dan mencari uang, hanya ingat ketika melakukan ibadah ritual semata. Mereka tidak menjadikan agama sebagai standar hidup. Mereka tidak peduli mengenai halal atau haramnya perbuatan. Bukankah ini merupakan bukti sekuler yang nyata?
Kiriman Eka Rahmi Maulidiyah, Mahasiswi Universitas Airlangga