View Full Version
Rabu, 19 Apr 2017

Panji Rasulullah SAW, Panji Tauhid Kaum Muslimin

Sahabat VOA-Islam...

Panji Rasulullah saw, baik al-liwa (panji putih) dan ar-rayah (panji hitam) bukanlah sembarang panji yang berhenti sebagai simbol. Rayah dan Liwa’ Rasul saw. digambarkan secara detil dalam banyak hadits, baik warnanya, bentuknya maupun tulisannya. Ibnu ‘Abbas ra. menuturkan:

Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’ beliau berwarna putih (HR at-Tirmidzi, al-Baihaqi, ath-Thabarani dan Abu Ya’la).

Bentuk Rayah dan Liwa’ Nabi saw. itu persegi empat. Al-Barra’ bin ‘Azib ra. menuturkan:

Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam, persegi empat, terbuat dari kain wol Namirah (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan al-Baghawi).

Pada Rayah dan Liwa’ Rasulullah saw. tertulis kalimat tauhid Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh, sebagaimana hadis penuturuan Ibnu Abbas ra.:

Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’ beliau berwarna putih; tertulis di situ lâ ilâha illa AlLâh Muhammad RasûlulLâh (HR Abu Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlâq an-Nabiy saw).

 

Kemuliaan Panji Rosulullah SAW 

Liwa’ dan Rayah Rasul saw. merupakan kemuliaan bagi pemegangnya. Saat Perang Khaibar, misalnya, para sahabat termasuk Umar bin al-Khaththab amat berharap mendapatkan kemuliaan diberi mandat memimpin detasemen dengan diserahi ar-Rayah oleh Rasul saw. Namun, Ali bin Abi Thaliblah yang akhirnya mendapat kemuliaan itu. Rasulullah saw. menyerahkan ar-Rayah dalam berbagai peperangan kepada panglima pasukan kaum Muslim.  Di antaranya, dalam Perang Mu’tah, Rasul saw. menyerahkan ar-Rayah kepada Zaid bin Haritsah namun syahid,lalu digantikan Ja’far bin Abi Thalib. Ja’far syahid, lalu digantikan oleh Abdullah bin Rawahah yang saat itu syahid pula. Akhirnya, panji perang diserahkan pada Khalid Bin Walid sebagai panglima. Selain itu, Usamah bin Zaid diserahi ar-Rayah sebagai panglima pasukan untuk melawan Romawi.

Rayah Rasul saw. itu merupakan panji tauhid dan menjadi lambang eksistensi kaum Muslim dalam peperangan. Para sahabat pun mempertahankan ar-Rayah dengan taruhan nyawa agar ar-Rayah itu tidak jatuh. Dalam Perang Uhud, Mush’ab bin Umair mempertahankan ar-Rayah yang ia pegang hingga kedua lengan beliau putus tertebas oleh musuh, namun beliau masih terus mendekap Rayah itu dengan sisa kedua lengannya hingga akhirnya ia syahid. Rayah itu lalu dipegang oleh Abu ar-Rum bin Harmalah dan ia pertahankan hingga tiba di Madinah.

Namun, makna Rayah dan Liwa’ Rasul saw itu bukan terbatas dalam peperangan saja, apalagi berhenti sekadar simbol. Keduanya mengekspresikan makna-makna mendalam yang lahir dari ajaran Islam. Liwa’ dan Rayah Rasulullah saw. merupakan lambang akidah Islam. Pada al-Liwa` dan ar-Rayah tertulis kalimat tauhid: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh. Kalimat inilah yang membedakan Islam dan kekufuran, yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat. Maka dari itu, sebagai simbol syahadat, panji tersebut akan dikibarkan oleh Rasulullah saw. kelak pada Hari Kiamat. Panji ini disebut sebagai Liwa` al-Hamdi. Rasulullah saw. bersabda:

Aku adalah pemimpin anak Adam pada Hari Kiamat dan tidak ada kesombongan. Di tanganku ada Liwa` al-Hamdi dan tidak ada kesombongan. Tidak ada nabi pada hari itu Adam dan yang lainnya kecuali di bawah Liwa’-ku (HR at-Tirmidzi).

Liwa’ dan Rayah Rasul saw. juga merupakan pemersatu umat Islam. Kalimat tauhid Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh adalah kalimat yang mempersatukan umat Islam sebagai satu kesatuan tanpa melihat lagi keragaman bahasa, warna kulit, suku, bangsa ataupun mazhab dan paham yang ada di tengah umat Islam.

Imam Abdul Hayyi Al-Kattani menjelaskan rahasia bahwa jika suatu kaum berhimpun di bawah satu panji/bendera, itu berarti panji/bendera itu menjadi tanda kesatuan pendapat mereka (ijtimâ’i kalimatihim) dan persatuan hati mereka (ittihâdi qulûbihim). Dengan demikian mereka bagaikan satu tubuh  (ka al-jasad al-wâhid) (Abdul Hayyi al-Kattani, Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah [At-Tarâtib al-Idâriyyah], I/266).

Liwa’ dan Rayah Rasul saw. itu bisa dimaknai sebagai identitas Islam dan kaum Muslim. Pasalnya, Liwa’ dan Rayah Rasululah saw. ini tidak hanya dikibarkan dan dijaga, tetapi juga dihormati. Rayah Nabi saw. itu tidak boleh diinjak, dijadikan bantal, dibawa atau diletakkan di tempat-tempat yang identik dengan penghinaan; seperti dibawa ke kamar mandi, dijadikan serbet, keset dan sejenisnya. Dalilnya bahwa “Rasulullah saw. memakai cincin yang diukir dengan kalimat: Muhammad RasululLâh. Jika masuk kamar mandi, beliau selalu melepas cincin itu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Baihaqi dan al-Hakim).

Faktanya, pada Liwa’ dan Rayah Rasul saw. sama-sama tertulis lafzh al-Jalâlah. Karena itu apapun sikap dan tindakan yang bertujuan untuk menghinakan al-Liwa’ atau ar-Rayah yang bertuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh”  jelas dilarang. Bentuk penghinaan yang dilarang tidak hanya dalam bentuk verbal, dengan menempatkan di tempat yang identik dengan penghinaan, tetapi juga penghinaan dalam bentuk non-verbal. Seperti menyatakan bahwa bendera tersebut bendera teroris, bahkan dikriminalisasi. Tentu aneh sekali jika penghinaan dan pelecehan itu datang dari seorang Muslim.

Bagaimana mungkin seorang Muslim melecehkan panji Tauhid, padahal kalimat tauhid itulah yang akan menyelamatkan dia di akhirat kelak dari siksa neraka? Bagaimana mungkin seorang Muslim, yang mengaku menjadi pengikut Nabi saw., yang di akhirat berharap mendapat syafaat beliau, justru membenci dan merendahkan panji Rasulullah saw? Bagaimana mungkin seorang Muslim yang berdoa agar di akhirat dinaungi di bawah Liwa’ al-Hamdi Rasul saw. justru memusuhi panji itu saat di dunia?

Alhasil, seperti dinyatakan oleh Imam Muhammad asy-Syaibani dalam As-Siyar al-Kabîr dan oleh Imam as-Sarakhsi dalam Syarhu as-Siyar al-Kabîr, Liwa’ kaum Muslim selayaknya berwarna putih dan Rayah mereka berwarna hitam sebagai bentuk peneladanan kepada Rasul saw. Umat Islam juga seharusnya menjunjung tinggi dan menghormati Liwa’ dan Rayah Rasul saw. itu serta berjuang bersama untuk mengembalikan kemulian dan makna keduanya sebagai panji tauhid, identias Islam dan kaum Muslim sekaligus pemersatu mereka. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version