Oleh: Puji Yuli (Muslimah Peduli Negeri)
Tak habis pikir. Negeri ini senantiasa dirudung persoalan terkait pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA). Kerusakan demi kerusakan telah tampak. Seharusnya ini disadari semua pihak. Kapitalisme global maupun lokal siang dan malam menjarah SDA kami. Sebagai pemilik sah SDA, kami senantiasa ditipu dan dininabobokan untuk diam dan tidak boleh melawan. Tuntutan kami untuk mengembalikan pengelolaan secara berdikari seolah ‘haram’ dan tak tahu berterima kasih.
Seharusnya Indonesia bisa maju, mandiri, dan berperadaban. Upaya menjadikan Indonesia menjadi mandiri dan contoh bagi negara lain tampaknya baru mimpi. Faktanya, negara yang masih mencari format ideal kenegaraan ini menyisahkan masalah dalam mengurusi rakyatnya. Kesejahteraan sekadar ‘ocehan’ bagi para elit untuk membujukrayu rakyat agar mau mendukungnya. Sementara itu, tatkala rakyat menuntut kesejahteraan, penguasa beralasan ini dan itu. Mengelak dan lari dari tanggung jawab. Komplit sudah penderitaan yang mendera tiada henti.
Penjarahan yang Memenjara
Masih teringatkah dengan gaduh pengelolaan PT Freeport di Papua? Begitupula bagaimana kabar Exxon Mobile di Blok Cepu? Newmont dan Multi Nasional Corporation lainnya yang bercokol di Indonesia? Seribu cara mereka lakukan untuk tetap bertahan di negeri mayoritas muslim ini. Seringnya rakyat yang hidup di sekitar MNC itu menjadi korban dari kerusakan lingkugan dan ketidaksejahteraan.
Jika pun ada kesejahteraan, itu hanya remah-remah dari besarnya keuntungan eksploitasi SDA. Rakyat yang mencoba mencari SDA dengan cara tradisional dilarang dan ditangkap. Sementara, mereka memberikan karpet merah kepada raksasa kapitalisme perusahaan asing. Atas nama investasi penguasa mempermudahnya.
Selain itu terdapat pola penjarahan dengan model provatisasi dan liberalisasi. Metode provatisasi akan dilakukan melalui dua cara, yaitu melalui penawaran saham perdana IPO (Initial Puvlic Offering) di pasar modal, dan penjualan langsung kepada investor strategis (strategic sales) yang ditunjuk oleh pemerintah.
Dari segi investasi asing, liberalisasi tampak dengan semakin banyak dan dominan perusahan asing yang menguasai industri SDA strategis di Indonesia. Sebagai contoh bidang perminyakan, yang p[ada masa ini sangat kental dengan liberalisasi. Kran investasi hulu dan hilir dibuka lebar-lebar. Perusahaan asing bisa masuk pada usaha ritel bahan bakar, seperti Shell dan Petronas. Jika kran liberalisasi di sektor hilir migas dilakukan, tuntutannya hanya satu, yaitu tidak boleh ada yang memperoleh fasilitas subsidi seperti yang diterima oleh Pertamina, sehingga subsidi BBM harus dikurangi hingga mencapai angka 0%.
Di bidang pertambangan, terjadi pengkaplingan atas daerah-daerah tambang di Indonesia. Kapling-kapling ini antara lain: Timika untuk Freeport, Lhoksumawe dan Blok Cepu untuk Exxon Mobile, Sulawesi Selatan untuk Mosanto, Buyat-Minahasa dan Sumbawa untuk Newmont, Teluk Bintun di Papu untuk British Petroleum, Kalimantan Timur untuk Prima Coal dan lain sebagainya. Gelombang liberalisasi dan pengkaplingan didasari dari UU Penanaman Modal No 25 tahun 2007.
Lengkap sudah penjarahan itu direstui penguasa melalui aturan yang dibuat anggota dewan. Rakyat gigit jari melihat raksasa kapitalis terus menerus menjarah dan mengeruk SDA. Sudah saatnya kita bangkit untuk menuntut dan memberikan penyadaran, bahwa penjarahan SDA harus dihentikan dan dikelola sesuai syariah Islam.
Tata Kelola Berkah
Segala kekayaan yang ada di bumi ini hakekatnya milik Allah. Manusia diamanahi untuk mengelola sebaik-baiknya dan dipergunakan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Pengaturan Islam terkait pengelolaan SDA tercermin dalam bebarapa hal: pertama, SDA adalah milik rakyat. Karenanya negara harus mengelolahnya dengan bijak. Hasilnya diberikan kembali kepada rakyat berupa pelayanan dan pemberian sumber kebutuhan primer.
Kedua, diharamkan perusahaan asing dan swasta untuk mengelola SDA. Jika pun mereka diajak bekerja sama, hanya pada tataran teknologi, bukan pada proses pengelolaan secara penuh seperti dalam liberalisasi dan privatisasi. Ketiga,Secara tegas Nabi SAW menyebutkan, bahwa “Kaum Muslim bersyarikat dalam tiga hal: air, padang dan api.” [HR Ahmad]. Karena itu, status tambang ini jelas merupakan milik umum, dan harus dikembalikan ke tangan umat [rakyat].
Sebagai introspkesi, akibat hukum Allah SWT ditolak dan malah hukum manusia yang diterapkan, negeri ini tidak pernah bisa mengatur dirinya sendiri. UU dan peraturan dibuat bukan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan rakyat banyak, tetapi sekadar untuk memuaskan hawa nafsu dan memuluskan jalan pihak asing untuk menjajah negeri ini. Akibatnya, krisis multidimensi tetap melilit bangsa ini. Mahabenar Allah Yang berfirman:
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), baginya penghidupan yang sempit, dan di akhirat kelak ia akan dibangkitkan dalam keadaan buta (QS Thaha [20]: 124).
Pertanyaannya: Mengapa kita masih terus saja menerapkan sistem hukum produk manusia yang terbukti banyak menimbulkan kemadaratan? Mengapa kita masih percaya pada sistem demokrasi yang menjadi ‘pintu masuk’ liberalisasi yang terbukti mengancam kepentingan rakyat?
Mengapa kita masih meyakini sekularisme sebagai dasar untuk mengatur negara dan bangsa ini? Mengapa kita masih percaya kepada elit penguasa dan wakil rakyat yang nyata-nyata hanya mementingkan diri sendiri, kelompok/partainya, bahkan pihak asing atas nama demokrasi? [syahid/voa-islam.com]