SUARA PEMBACA:
Ada saja polemik pasca kasus penistaan agama. Selain berdampak pada perpecahan di tubuh kaum muslimin sendiri, kini pernyataan dari petinggi negeri menuai banyak kontroversi dari berbagai kalangan. Pada kesempatannya meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Sumatera Utara (24/3) lalu, Presiden RI meminta agar semua pihak memisahkan persoalan politik dan agama. Tindakan ini diambil sebagai upaya untuk mencegah gesekan antar umat.
Tidak perlu pakar politik atau bahasa untuk menerjemahkan pernyataan tersebut, masyarakat awam pun tau apa maksud terselubung darinya. Sebuah pernyataan yang menyiratkan bentuk dukungan pada salah seorang calon yang tengah berlaga di pilkada. Ini tentu tidak fair, ketika agama justru dikambinghitamkan. Dituduh sebagai aspek pemecah belah persatuan. Padahal jika mau menelaah lebih jauh, awal gesekan horisontal ini merupakan buntut ujaran berbau provokatif seseorang yang sifatnya sensitif, alias menembus batas teritori keyakinan beragama.
Pertanyaannya, pantaskah seorang petinggi negara berujar demikian? Tidak ingatkah dulu ketika pelantikan, sumpahnya diambil dibawah kitab suci al quran?
Perlu disadari, eksistensi agama tidak bisa dikerdilkan sebatas pada perkara ritual semata. Sebatas pada langkah perbaikan diri secara nafsiyah saja. Lebih dari itu, agama memegang peranan penting dalam segala aspek. Baik politik, pendidikan maupun perekonomian. Jadi, akan sangat picik ketika jalan pintas pemisahan diatas dianggap sebagai solusi ampuh penanganan segala permasalahan. Karena sampai kapan pun agama selalu berkorelasi dalam pengaturannya terhadap kehidupan manusia. Apalagi politik, yang mana segala kebijakannya menyangkut hajat dan kemaslahatan orang banyak.
Bukankah lucu jika urusan ke kamar mandi saja berkenan diatur sedangkan urusan yang lebih besar menolak untuk dicampuri? Sayangnya fakta inilah yang sekarang terjadi di Indonesia. Arus sekuler semakin gencar di propagandakan. Masyarakat terus digiring pada opini ketidak cocokan agama berada di tengah tengah kehidupan. Kebebasan dijunjung demikian tinggi, hingga batasan latar belakang calon pemimpin pun berani diterabas. Padahal disinilah seharusnya peran agama diletakkan sebagai hukum tertinggi. Bukan malah di judge sebagai pemecah kebhinnekaan atau tidak menghargai adanya keberagaman.
Dari sini, sudah seharusnya masyarakat semakin sadar dan mau bergerak membendung sekaligus menolak wacana yang dicanangkan pemerintah. Masyarakat harus paham bahwa tidak terlibatnya agama dalam dunia politik, perekonomian juga pendidikan hanya akan mendatangkan kesengsaraan lain yang jauh lebih berbahaya. Dan segala potret kisruh yang terjadi di Indonesia, harusnya cukup menjadi pelajaran untuk tidak terjerumus di lubang yang sama, sekularisme.
Kiriman Maya. A, Kedamean, Gresik