View Full Version
Ahad, 07 May 2017

Gejolak Buruh yang Tak Kunjung Padam

Oleh: Asti Marlanti, S.Pt

Gejolak buruh hampir secara periodik terjadi di negeri ini. Peringatan May Day (hari buruh internasional) tahun 2017, tepatnya tanggal 1 Mei, dipastikan akan diperingati buruh dengan cara menggelar aksi besar-besaran.

May Day kali ini, buruh tetap menyuarakan isu HOSJATUM (Hapus OutSourcing dan Pemagangan – Jaminan Sosial – Tolak Upah Murah), karena buruh merasakan kesenjangan ekonomi dan kesenjangan pendapatan semakin melebar (rasio menurut World Bank 0,42). Bahkan OXFAM yang merupakan salah satu lembaga riset internasional yang berbasis di Inggris merilis pernyataan bahwa jumlah kekayaan 4 orang kaya di Indonesia setara dengan jumlah kekayaan 100 juta penduduk Indonesia.

Menurut buruh, beberapa faktor penyebab kesenjangan pendapatan ini adalah karena Presiden Jokowi menetapkan kebijakan upah murah. Sebagai contoh, pada tahun 2017 kenaikan upah minimum berdsaarkan PP 78/2015 berkisar Rp 130 ribu – Rp 260 ribu. Nilai ini bila dikonversikan ke dalam dollar adalah 10 dollar sampai 20 dollar. “Nilai 10 – 20 dollar adalah seharga satu buah kebab yang kita beli di Jenewa atau di Singapura. Ini artinya, pemerintah menilai kerja keras dan keringat kaum buruh selama sebulan kenaikan upahnya hanya dihargai satu buah kebab,” kata Presiden KSPI Said Iqbal dalam rilisnya kepada Fakta Banten, Senin (24/4/2017).

 

Akar Masalah Perburuhan

Salah satu pemicu utama problem perburuhan adalah kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu biaya hidup terendah. Akibatnya, para buruh tidak mendapatkan gaji yang sesungguhnya. Mereka hanya mendapatkan gaji sekadar untuk mempertahankan hidup. Jadi, masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan biaya hidup terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh.

Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal-sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis, tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem kapitalisme. Jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas itu hanya klaim tanpa fakta.

 

Solusi Islam

Sistem kapitalisme yang menetapkan kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan penentuan gaji buruh berdasarkan biaya hidup terendah adalah akar permasalahan perburuhan. Islam sebagai satu-satunya ideologi yang diridhai oleh Allah SWT telah memberikan pemecahan secara tuntas terhadap permasalahan tersebut.

Pertama: Islam mengharamkan kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah). Namun, Islam justru mengajarkan konsep ibahah al-milkiyyah. Dua konsep ini jelas berbeda. Konsep hurriyah milkiyyah ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal-haram. Sebaliknya, konsep ibahah al-milkiyyah jelas tidak, karena justru faktor halal-haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak.

Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia dan hukum asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah; seperti berburu, menjadi broker, bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.

Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep ibahah al-milkiyyah dalam Islam yang berbeda secara diametral dengan konsep hurriyah milkiyyah dalam kapitalisme.

Kedua: Islam mengharamkan kebebasan bekerja (hurriyah al-‘amal) dan mensyariatkan konsep ibahah al-‘amal. Sebagaimana konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (hurriyah al-‘amal) ini juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara.

Ini berbeda dengan konsep ibahah al-‘amal karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia yang hukum asalnya boleh. Tiap muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukumsyariah. Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep ibahah al-milkiyyah dan ibahah al-‘amal.

Ketiga: solusi Islam dalam penentuan standar gaji buruh.Standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh, bukan biaya hidup terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat. Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar atau ahli (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Menurut Islam, penetapan upah seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan penetapan harga mengingat  baik harga maupun upah adalah sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

Tentang dana pensiun  dan berbagai bentuk tunjangan lain sesungguhnya itu semua merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis guna mencukupi kebutuhan para buruh. Tapi upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.

Dengan demikian, gejolak buruh tak akan kunjung padam. Karena berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi yang sesungguhnya. Tetapi, sekadar obat penawar, sementara penyakitnya sendiri tidak pernah berkurang apalagi sembuh karena sumber penyakitnya memang tidak pernah diselesaikan oleh sistem ini. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version