View Full Version
Sabtu, 13 May 2017

Memerdekakan Buruh Dari Kezaliman Kapitalisme

Oleh: Wijaya Kurnia Santoso

Dalam setiap saat kaum buruh selalu dihantui dengan PHK massal. Kondisi ekonomi yang tidak stabil menjadi alasan klasik untuk melakukan rasionalisasi para pekerja. Hal ini pernah terjadi tahun lalu, PHK besar-besaran dilakukan oleh perusahaan yang cukup senior, seperti  Ford, Panasonic, dan Toshiba.

Di tahun 2017 ini juga diprediksi masih akan ada PHK massal terhadap para buruh dikarenakan tingginya Upah Minimum Kabupaten (UMK) yang tidak sanggup ditanggung perusahaan. Sebagian perusahaan memilih bermigrasi ke kabupaten yang memiliki UMK yang lebih rendah. Hal ini terjadi di kabupaten Nganjuk, pabrik – pabrik tumbuh menjamur seperti jamur di musim hujan.  

 

Buruh dan Kapitalisme

Nasib buruh migran di perantauan juga masih menghadapi berbagai masalah yang selalu terulang, seperti PHK, pelecehan fisik dan seksual serta masalah perdagangan manusia. Pemerintah belum mampu hadir untuk melindungi hak-hak rakyatnya yang menjadi buruh migran. Baik di dalam maupun luar negeri nasib kaum buruh negeri ini masih saja jauh dari kesejahteraan. Pemberlakuan status kontrak atau outsourching menambah pelik masalah perburuhan, hal ini ditambah dengan dengan minimnya perlindungan dan proteksi atas jaminan sosial ketenagakerjaan.

Selama negeri ini menganut konsep Freedom of Ownership alias kebebasan berpemilikan dalam ekeonomi kapitalis problem perburuhan tidak akan pernah selesai. Konsep yang diadopsi dari Ideologi Kapitalisme ini meniscayakan adanya rekrutmen tenaga kerja dalam jumlah besar dan mengeksploitasinya di berbagai sektor strategis. Prinsipnya adalah para pemilik perusahaan mengeluarkan modal sekecil - kecilnya dan memperoleh keuntungan sebesar - besarnya.

Para buruh juga harus berhadapan dengan kasta ekonomi yang berkembang di masyarakat sehingga memicu sentimen antar golongan. Hal ini memunculkan tuntutan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi buruh. Tuntutan buruh yang selama ini terjadi sebagian besar terkait gaji yang tinggi, namun kompensasi berupa gaji yang tinggi tak mungkin teralisasi karena pasti akan memberatkan pengusaha dan mengurangi pemasukan bagi pemilik perusahaan. Tuntutan gaji yang tinggi merupakan sesuatu hal yang wajar terjadi, sebab seluruh kebutuhan hidup buruh beserta keluarganya dalam berbagai urusan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan kebutuhan pokok lainnya dipenuhi melalui penghasilan yang didapat sebagai buruh.   

Islam sebagai agama yang sempurna, menyelesaikan problematika kehidupan, termasuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh buruh. Di dalam Islam, Negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap anggota masyarakat, seperti sandang, pangan, dan papan. Negara juga diharuskan memberi jaminan terpenuhinya tiga kebutuhan pokok kolektif masyarakat yakni kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Dengan adanya pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan pokok kolektif oleh Negara menjadikan para buruh (pekerja) tidak lagi menggantungkan biaya-biaya untuk kebutuhan pokoknya dari gaji. Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini, dimana gaji dari seorang pekerja (buruh) digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, ataupun kebutuhan lainnya.

Selain itu di dalam islam hubungan pekerja dengan pemilik usaha hanya ditinjau dari aspek aqad kerja (halal/haram dan sah/tidak).  Jika akadnya sudah sesuai syariah, jumlah gajinya disepakati, maka muamalah bisa dilangsungkan antara kedua belah pihak. Negara juga berkewajiban memberikan fasilitas pendidikan dan pelatihan agar para karyawan memiliki kapasitas yang memadai sesuai kebutuhan dunia kerja.

Islam juga mewajibkan semua Sumber Daya Alam wajib dikelola oleh Negara. “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Daud, Sunan Abu DAud, 2/596- 952). Dalam hadist yang lain disebutkan, “Tiga hal yang tidak boleh dihalangi (dari manusia) yaitu air, padang dan api” (HR. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, 3/177-606).

Sehingga dalam konteks penguasaan SDA, tidak mungkin ada perusahaan swasta yang melakukan eksploitasi SDA, melainkan Negara yang berkewajiban mengelola dan hasilnya untuk kepentingan rakyat termasuk untuk membiayai kesehatan dan pendidikan. Dalam Islam, Negara juga berperan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat atau membantu memfasilitasi masyarakat agar bisa membuka usaha. Misal, tanah yang tidak dikelola selama 3 tahun akan diambil oleh Negara dan kemudian Negara menyerahkannya kepada pihak yang membutuhkan dan mau mengelolanya.

Dari al – Harits bin Bilal bin al-Harits, dari ayahnya : “Bahwasannya Rasulullah saw mengambil zakat dari pertambangan al-Qabaliyah. Sementara Rasulullah saw memberi seluruh kawasan al-Aqiq pada Bilal bin al Harits”. Ketika Umar ra (menjadi Khalifah), maka Umar berkata kepada bilal: “Rasulullah saw tidak memberimu kecuali untuk dikelola”. (Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al Mustadrak Mustradak ala ash-Shahihain).

Hal ini tentunya akan mengeleminir buruh migran, karena akan mendapatkan tempat di negerinya sendiri. Dengan demikian, Islam akan mampu menyelesaikan masalah perburuhan. Karena semua problem yang menimpa buruh selama dikeranakan diterapkannya sistem Kapitalisme yang penuh dengan kezaliman, dan hanya dengan Islam buruh merdeka dari kezaliman tersebut karena Negara hadir bukan hanya berposisi sebagai fasilitator, namun sebagai pelayan masyarakat yang mempedulikan aspek pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan hak-haknya.

Rasul saw bersabda:Kepala Negara adalah pelayan. Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR Bukhari). [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version