Oleh: Rahmat Abu Zaki
(Analis di Pusat Kajian Data dan Analisis-PKDA)
Tarif dasar listrik (TDL) golongan 900 VA kembali naik (1/5). TDL yang mesti dibayar 19 juta pelanggan itu kini naik Rp 329 per kWh menjadi Rp 1.352 sesuai dengan permen ESDM 28/2016 tentang Tarif Tenaga Listrik yang disediakan PLN, kenaikan bulan ini merupakan terakhir.
Setelah itu, masyarakat yang masih menggunakan listrik daya 900 VA nonsubsidi, tarifnya disesuaikan dengan harga keekonomian. Saat ini tarif pelanggan rumah tangga nonsubsidi adalah Rp 1.467,28 per kWh. Itu berarti, pengguna daya 900 VA kembali merasakan kenaikan tarif. Namun, itu tidak termasuk tiga tahap kenaikan yang berjalan sejak Januari, Maret, dan Mei.
Angkanya bergantung tarif baru yang berlaku pada Juli karena nanti tarifnya sama dengan golongan 1.300 VA. Sementara itu, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM Sujatmiko menegaskan lagi soal tahap ketiga yang menjadi akhir kenaikan tarif. Dia berharap tidak ada resistensi dari masyarakat.
Sebab, semangat kenaikan tarif itu adalah mencabut subsidi dari pelanggan yang mampu. Sejak kenaikan tarif dilakukan pada Januari, dia mengungkapkan, sudah ada pengaduan dari masyarakat. Jumlahnya mencapai 27.300 pelanggan atau kurang dari 0,1 persen dari 18,7 juta pelanggan mampu yang subsidinya dicabut.
Dari jumlah aduan itu, 13 ribuan pengaduan ada dalam data Tim Nasional Percepatan Penggulangan Kemiskinan (TNP2K). Itu berarti akan dapat subsidi.
“Sisanya sekitar 14 ribuan pengaduan masih diverifikasi TNP2K dan diserahkan ke Kemensos untuk dicek kembali,” jelasnya.
Setelah kenaikan tarif 900 VA selesai, Kementerian ESDM akan melakukan hal yang sama, terhadap pelanggan 450 VA. Dasarnya sama, ada dugaan subsidi untuk masyarakat miskin bocor dan dinikmati masyarakat mampu. Soal kapan kenaikan dilakukan, Sujatmiko belum memastikan. (Jawa Pos, Senin 1 Mei 2017)
Motif Liberalisasi
Sesunggunya salah satu motif dari penaikan tarif listrik– sebagaimana halnya subsibdi BBM adalah upaya liberalisasi pemerintah untuk meliberalisasi sektor energi. Dalam Dokumen Blue Print Pengelolaan Energi Tahun 2010-2025 disebutkan bahwa salah satu tantangan pengembangan energi nasional adalah harga energi belum mencapai nilai keekonomiannya.
Oleh karena itu, salah satu misi dari Kementerian ESDM adalah mendorong keekonomian harga energi dan mineral. Hal yang sama juga dinyatakan oleh sejumlah lembaga asing yang menjadi rujukan kebijakan ekonomi pemerintah seperti IMF[1], Bank Dunia[2], USAID[3] termasuk OECD[4] dalam berbagai dokumennya.
Padahal kebanyakan negara di dunia ini–termasuk negara-negara maju sekalipun– intervensi pemerintah dalam berbagai bentuk seperti pemberian subsidi, pemotongan pajak dan kebijakan lainnya terus diberikan agar publik dapat menikmati energi listrik yang memadai karena diyakini ketersediaan energi tersebut merupakan salah satu sumber pendorong pertumbuhan ekonomi.
Hasil studi Pfund dan Healey (2011) misalnya menunjukkan bahwa pemberian subsidi energi di AS yang telah berlangsung sejak abad ke-19 terbukti dapat memacu pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Selain itu, dukungan pemerintah di negara itu juga telah mendorong terjadinya inovasi teknologi dalam penyediaan energi listrik sehingga memberikan dampak pada efisiensi biaya listrik per watt. (http://hizbut-tahrir.or.id/2013/02/01/liberalisasi-energi-motif-di-balik-kenaikan-tarif-dasar-listrik/)
Manusia Berserikat dalam Tiga Perkara; Air, Padang dan Api
Sesungguhnya pengelolaan listrik negara tidaklah berjalan dengan sendirinya. Pengelolaan listrik tersebut masih terkait dengan hal-hal lain, seperti sumber energi yang dipakai, investasi yang harus dikeluarkan negara, dukungan politik yang kuat oleh pemerintah dari pengaruh dan penjajahan asing dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, peran pemerintah hanya satu, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat (umum) tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, bukannya malah mengorbankan rakyat dengan harga yang mahal dan dilakukannya pemadaman seenaknya dengan alasan sistem transmisi tidak berjalan karena tidak optimalnya transmisi energi tersebut.
Dengan demikian, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah yang memang telah menjadi wakil rakyat untuk mengurusi seluruh urusan mereka. Termasuk dalam hal ini pengelolaan listrik yang telah menjadi tanggung jawab mereka. Negara harus benar-benar mengupayakan berjalannya secara optimal pengelolaan listrik tersebut karena rakyat sangat membutuhkannya.
Dari semua itu, kesalahan tidaklah sepenuhnya kepada PLN, tetapi neo-liberalisme dan kapitalisme global yang sampai saat ini diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Kita semua, termasuk PLN adalah korban neo-liberalisme dan kapitalisme global, yang hanya mungkin dilawan dengan menerapkan syariah Islam dalam seluruh tatanan kehidupan negara dan masyarakat.
Di dalam Muqaddimah ad-Dustur Hizbut Tahrir pasal 137 disebutkan, “Kepemilikan umum terealisir dalam tiga hal: A. Semua yang menjadi fasilitas umum seperti lapangan desa. B. Tambang yang tidak terputus seperti tambang minyak. C. Sesuatu yang tabiatnya menghalangi pengkhususan individu untuk menguasainya seperti sungai.”
Seperti pada pasal 138 juga dinyatakan, “Industri dari sisi industri itu sendiri termasuk kepemilikan individu, akan tetapi industri itu mengambil hukum materi yang diproduksinya. Jika materi tersebut termasuk kepemilikan individu maka industri itu merupakan milik individu seperti industri tenun. Jika materi tersebut termasuk kepemilikan umum maka industri itu merupakan milik umum seperti industri eksplorasi besi.”
Di pasal 139 dinyatakan, “Negara tidak boleh mengalihkan kepemilikan individu menjadi milik umum, sebab kepemilikan umum itu ditetapkan dalam tabiat dan sifat harta bukan menurut pandangan negara.” Pada pasal 140 dinyatakan, “setiap individu umat memiliki hak memanfaatkan sesuatu yang termasuk dalam kepemilikan umum, dan negara tidak boleh mengijinkan seseorang dan melarang orang yang lain diantara rakyat untuk memiliki kepemilikan umum dan mengeksploitasinya.” (http://www.cangkrukanpolitik.com/2017/01/indonesia-krisis-listrik-lukman.html)
Perspektif Islam
Kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi dengan segala macam alasannya, jelas tidak dapat dipisahkan dari paradigma dan sistem kapitalisme yang dianut oleh negara ini dalam penyediaan pelayanan publik. Padahal sistem kapitalisme sendiri dalam kenyataannya telah banyak menimbulkan penderitaan bagi ummat manusia termasuk di negara ini.
Dalam pandangan Islam sistem tersebut bertentangan dengan aqidah Islam karena sistem tersebut berlandaskan pada sekularisme dimana urusan kenegaraan termasuk bidang ekonomi dipisahkan dari agama. Berbeda dengan Islam yang mengharuskan seluruh aspek kenegaraan wajib diatur berdasarkan syariat Islam. Islam telah menegaskan bahwa listrik yang digunakan untuk keperluan bahan bakar masuk dalam kategori ’api’ (nâr) yang digolongkan sebagai barang milik publik dan bukan milik pribadi atau negara.
Termasuk dalam kategori tersebut adalah berbagai sarana dan prasarana penyediaan listrik seperti tiang listrik, gardu, mesin pembangkit, dan sebagainya Ditambah lagi, sebagian besar sumber energi dalam memproduksi listrik saat ini merupakan barang-barang tambang yang juga merupakan barang publik seperti minyak bumi, gas dan batu bara. Rasulullah saw bersabda: ”Manusia berserikat pada tiga hal: air, api dan padang gembalaan.” (HR. Muslim dan Abu Daud)
Di samping itu, pengelolaan barang publik hanya diwakilkan kepada khalifah untuk dikelola demi kemaslahatan rakyat dan tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh swasta baik domestik ataupun asing. Adapaun mekanisme distribusinya sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad dan pendapat khalifah.
Dengan demikian, listrik sebagaimana halnya barang publik laiinya seperti air didistribusikan sesuai dengan kebutuhan rakyat tanpa ada yang diistimewakan atau dikecualikan. Barang publik juga dapat dijual dengan harga pasar seperti minyak bumi dan logam. Meski demikian harga penjualannya dikembalikan kepada rakyat tanpa ada yang dikecualikan.
Di Baitul Mal, dana tersebut disimpan dalam pos harta milik umum dimana khalifah sama sekali tidak diperkenankan menggunakannya untuk kegiatan negara. (al-Maliky: 41: 1965).
Dengan menerapkan konsep Islam sebenarnya harga listrik di Indonesia tidak perlu dinaikkan bahwa sangat mungkin untuk digratiskan secara proporsional kepada seluruh rakyat. Meski demikian hal tersebut tidak mungkin terlaksana selama sistem ekonomi negara ini menganut sistem ekonomi kapitalisme.
Oleh karena itu penerapan syariah Islam secara menyeluruh melalui penegakan sistem Khilafah menjadi sebuah keharusan sehingga sistem Islam dapat ditegakkan secara menyeluruh termasuk dalam pengelolaan listrik. Wallahu a’lam bisshawab. [syahid/voa-islam.com]
Catatan Kaki :
1) Jawa Pos, Senin 1 Mei 2017
3) http://www.cangkrukanpolitik.com/2017/01/indonesia-krisis-listrik-lukman.html
Catatan Kaki:
1) Jawa Pos, Senin 1 Mei 2017
3) http://www.cangkrukanpolitik.com/2017/01/indonesia-krisis-listrik-lukman.html