Oleh: Eka Rahmi Maulidiyah
(Mahasiswi Sastra Inggris, Univesitas Airlangga)
Pasangan pemimpin DKI Jakarta terpilih, Anis Baswedan dan Sandiaga Uno, berjanji akan menjual saham di perusahaan bir terkenal PT Delta Djakarta Tbk. Saham yang dimiliki Pemprov DKI Jakarta sejak tahun 1970 di perusahaan bir tersebut sebesar 26,25 persen. Namun, mereka harus mengantongi izin dari DPRD agar hal itu bisa terealisasi.
DPRD akan mengkaji usulan tersebut. Terdapat dua hal yang perlu dikaji. Pertama, terkait pelayanan PT Delta Djakarta kepada masyarakat Jakarta. Kedua, besar keuntungan yang didapat Pemprov DKI Jakarta dari kepemilikan saham di perusahaan bir tersebut. DPRD akan mempertimbangkannya untuk kemudian diputuskan dalam sidang paripurna.
Hal lain yang menjadi janji kampanye Anis dan Sandiaga adalah menutup Alexis, tempat prostitusi yang sudah menjadi rahasia umum. Alexis adalah nama sebuah hotel yang berada di Jalan RE Martadinata, Ancol, Pademangan, Jakarta Utara. Alexis meyediakan fasilitas tempat karaoke, bar, spa dan kamar hotel.
“Saya tidak menyangkal adanya prostitusi di Alexis. Kita mengalami kendala, kita tidak tahu apa yang terjadi, apakah ada prostitusi, karena terjadinya di kamar. Kami sedang bahas, cari masukan bagaimana melakukan pengawasan agar bisa efektif sehingga kita mendapatkan bukti yang nyata”, kata Catur Liswanto Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Lagi-lagi, cagub-cawagub terpilih mendapat kendala untuk merealisasikan janjinya. Alexis berdiri di lokasi yang legal dan sudah memiliki izin usaha. Tak satupun Undang-undang di Indonesia yang mengatur mengenai praktik prostitusi. Alexis hanya bisa ditutup ketika terdapat penyalahgunaan perizinan bangunan atau menjadi tempat peredaran narkoba.
Inilah kekhasan sistem demokrasi sekuler. Sistem yang melahirkan sistem ekonomi kapitalis yang hanya mempedulikan keuntungan berupa materi semata. Adanya pemimpin baik yang ingin menerapkan kebijakan yang berpijak syariat saja tidak cukup. Karena nyatanya selalu akan terganjal peraturan yang berlaku. Hal tersebut dikarenakan Undang-undang di Indonesia tidak berlandaskan pada syari’at.
Sebaliknya, Indonesia justru menerapkan undang-undang peninggalan Belanda dan masih dipertahankan hingga saat ini. Selama tidak ada revisi atas peraturan ini, maka setiap pemimpin harus tunduk pada undang-undang. Sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sistem Islam. Kebijakan pemimipin senantiasa dilandaskan pada syariat. Keuntungan materi tidak boleh menjadi alasan bagi pemberlakuan aturan yang melanggar syariat.
Penutupan tempat yang diindikasi menjadi tempat maksiat adalah suatu keharusan. Begitupun produksi minuman keras harus dihentikan. Standar penetapan kebijakan bagi pemimpin adalah halal-haram, didasarkan pada dalil yang dinukil dari Al-Qur’an dan Hadits. Hal tersebut hanya akan bisa dilakukan melalui sistem Khilafah karena Khilafah berdiri di atas dasar akidah Islam.
Adanya pemimpin baik dan Islami adalah keharusan. Namun yang tak kalah penting harus ada pula sistem baik yang berasal dari Sang Maha Pencipta. Perjuangan mewujudkan penerapan sistem Islam harus menjadi agenda utama umat karena hanya sistem Islam dalam naungan Khilafah Islam saja yang mampu menjamin adanya pemimpin muslim yang menerapkan syari’at. Wallahualam bishowab. [syahid/voa-islam.com]