Oleh: Irfan Saeful Wathon, S.I.Kom.
(Alumni Prodi Ilkom Fisip dan Mantan Ketua DKM Ulul Abshor Unpas)
Akhir-akhir ini perbincangan terkait Pancasila semakin hangat saja hadir di permukaan publik. Di sudut-sudut kota, lembaran-lembaran koran, layar-layar kaca media online pun sempat dihiasi dengan ungkapan: “Saya Indonesia, saya Pancasila.” Tema-tema diskusi tentang Pancasila kerap dijumpai di forum-forum tertentu. Bahkan ISLAMIA, Jurnal Pemikiran Islam padaHarian Republika edisi Kamis, 15 Juni 2017, memuat pembahasan Pancasila sebagai tema besarnya.
Di samping mencuatnya ungkapan-ungkapan itu, segelintir pertanyaan mulai terbesit dalam benak umat Islam di Indonesia tentang kedudukan Pancasila dan implementasinya untuk seorang muslim yang berwarganegara Indonesia. “Bolehkah kita menjadikan Pancasila sebagai hukum?” “Pancasila tuh Islam bukan ya?” “Kita kan Indonesia, ya berarti kita hidup di bawah naungan Pancasila sebagai dasar negara.” “Pancasila bukan wahyu dari Allah, berarti haram diikuti.” “Anti Pancasila ya, dasar radikal!”
Beberapa ungkapan seperti di atas kerap terdengar akhir-akhir ini. Pembahasan ini pun tak ayalnya membuat masyarakat menjadi terbagi atas beberapa sikap, yaitu; pro, kontra, dan ada yang tak acuh sama sekali.
Dinamika Pancasila
Sebagai seorang muslim, tentu kita memiliki identitas agama kita sebagai kedudukan yang tertinggi dibandingkan sekadar identitas kewarganegaraan. Inilah yang disampaikan Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya: “Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu..” (QS. 22:78). Perbedaan identitas kewarganegaraan tidak akan memengaruhi keislaman seseorang, karena Islam bukanlah agama Indonesia, juga bukanlah agama Arab, tetapi agama yang tersebar ke berbagai penjuru dunia. Di manapun seseorang berada, apabila ia beriman kepada Allah dengan hati, lisan, serta tindakannya, maka identitas muslim sudah berada padanya.
Namun bagaimana sikap kita sebagai seorang Muslim atas Pancasila yang ditegakkan sebagai dasar pedoman di negeri ini?
Secara aqidah Islam, seorang Muslim tidak boleh meyakini adanya pedoman kehidupan yang lain, melainkan TAUHID (mengesakan Allah dalam penghambaan serta peribadatan); serta tidak mengambil rujukan hukum apapun, selain syari’at Islam. Hal ini sebagaimana termanifestasikan dalam komitmen hidup dan mati seorang muslim: Laa ilaaha Illallah, Muhammad Ar-Rasulullah.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka inginkan? Dan siapakah yang lebih baik hukumnya dari Allah, yaitu bagi orang-orang yang yakin?” (QS. 5:50). Seorang muslim tidak boleh mengambil dasar kehidupan lain (seperti Pancasila) sebagai dasar hidupnya, pun demikian dengan UUD 1945 sebagai rujukannya, ini tak perlu lagi diragukan. Karena keduanya bukan wahyu dari Allah Sang Pemberi Petunjuk, melainkan hanya produk buatan akal manusia –dengan segala keterbatasannya. Maka dari itu keduanya tidak bisa diangkat untuk menggantikan aqidah dan syari’at Islam.
Menurut analisis Adnan Buyung Nasution, terjadinya polemik dan konfrontasi ide antara Islam dan Pancasila dalam sejarah di Indonesia. Adalah akibat dikembangkannya konsep Pancasila sebagai doktrin atau pandangan dunia (worldview) yang kompleks dan khas sehingga berbenturan dengan pandangan dunia lainnya, seperti Islam.
Lebih jauh, Buyung Nasution menulis: “Pancasila juga menjadi saingan utama bagi agama Islam, yang bagi para penganutnya merupakan wahyu Ilahi mengenai kebenaran dan keadilan dalam kehidupan pribadi dan masyarakat!” pungkasnya. (Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959 (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995)) – dikutip dari Adian Husaini, Bagaimana Mengamalkan Pancasila? Jurnal ISLAMIA Harian Republika Edisi Kamis, 15 Juni 2017.
Hanya saja, dalam kehidupan majemuk di Nusantara ini, kaum Muslimin tidak bisa memaksa orang lain untuk ber-aqidah Islam serta berhukum dengan syari’at Islam. Jangankan Non-Muslim, di antara orang-orang beridentitaskan Islam saja kerap dijumpai mereka yang alergi terhadap nilai-nilai Islam. Jangankan syari’at, seorang aktivis dakwah membutuhkan sebuah perjuangan yang tidak sederhana walau hanya sekadar menyampaikan bahwa sholat lima waktu adalah wajib.
Para aktivis dakwah tidak bisa memaksakan keyakinannya, karena pemaksaan dan benturan akan berkonsekuensi perang, sedangkan biaya operasional yang perlu dianggarkan untuk perang bukan jumlah yang sederhana. Maka ditempuhlah cara dakwah, pembinaan, dan membangun kesadaran –dengan waktu tempuh yang tidak pendek. Dengan cara dakwah yang damai dan bijaksana, diharapkan masyarakat Indonesia mau menerima prinsip-prinsip Islam secara utuh. (Waskito, 2013:114)
Hal ini sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala tuturkan dalam Al-Quranul Karim: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS. 16:125)
Tidak hanya menyampaikan kebaikan dengan cara yang baik, bahkan bantahan yang kita lakukan pun haruslah dipenuhi dengan kebijaksanaan, agar dakwah ini dapat melunakkan kerasnya pemikiran-pemikiran jahiliyah dari objek dakwah kita –berlaku dalam situasi dakwah damai. Sampai di sini umat Islam tidak menempuh cara-cara yang bersifat kekerasan, pelanggaran hukum, atau lainnya. Kita sedia untuk memperjuangkan cita-cita dan harapan bangsa secara damai, tanpa perlu melakukan konfrontasi fisik dan tindakan-tindakan destruktif.
Secara aqidah, masalahnya sudah jelas. Namun secara politik, kita bisa menerima Pancasila dan UUD 1945 sebagai “kata sepakat” dengan sesama warga bangsa (yang tidak ber-aqidah Islam). Sekitar awal tahun 80-an, rezim Orde Baru pernah mau memaksakan konsep Azas Tunggal Pancasila. Ketika itu seluruh ormas dan partai politik harus menggunakan Pancasila sebagai azasnya. Muhammadiyah pun termasuk yang menerima kebijakan itu.
Alm. KH. AR. Fachruddin, mantan Ketua PP Muhammadiyah, mengemukakan teori “helm”. Kalau kita mengendarai motor di jalan raya harus menggunakan helm, agar tidak ditilang polisi. Tanpa helm pun, seseorang bisa selamat, asalkan tetap berhati-hati saat berkendara (Waskito, AM. 2013. Invasi Media Melanda Kehidupan Umat. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar).
Ini juga sebagaimana yang pernah dilakukan oleh shahabat Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu ketika berada dalam desakan kaum Musyrik Quraisy semasa di Makkah dulu. Tatkala ia mendapatkan siksaan yang hampir membuat ia tak sadarkan diri (karena sakit yang dideritanya), terucaplah apa yang diinginkan oleh kaum Musyrikin, yaitu mengucapkan nama-nama dari sesembahan paganisme hari itu.
Namun, jawaban Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam justru menenangkan hati Ammar, karena Ammar diperintahkan untuk melakukannya lagi apabila siksaan demikian didapatkannya kembali. Fatwa yang diberikan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam terhadap Ammar bin Yasir pun berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Al-Quranul Karim: “..kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)..” (QS. 16:106) (Haikal, Muhammad Husain. 2014. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera AntarNusa.)
Hal ini juga menandakan bahwa nilai dari setiap tindakan seorang Muslim di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala berawal dari niatnya. Sebagaimana ditegaskan dalam penggalan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Innamal a’malu binniyaat” (setiap perbuatan begantung pada niatnya). (HR. Muslim)
Seseorang yang bersiasat dengan Pancasila sebagai “kata sepakat” dapat melancarkan gerakan dakwahnya lebih aman. Yang menolaknya pun tak apa-apa, asalkan lebih berhati-hati dalam bergerak. Ini pun sebagai upaya kita agar dakwah ini lebih menyentuh di hati publik. Sikap “Ngebom” dengan kata-kata haram, bid’ah, sesat, perlu diubah dengan sikap yang lebih persuasif dan dialogis.
Namun sekali lagi, aqidah kita tetaplah syari’at Islam. Pancasila hanyalah siasat sebagai tameng yang melindungi umat Islam dari kecaman rezim yang ada hari ini. Karena moral Islam tidaklah sama dengan moral Pancasila. Adian Husaini menyatakan, bahwa pendidikan karakter Pancasila tidak mampu ditanamkan secara utuh. Karena penanaman karakter memerlukan keteladanan, pembiasaan, dan penegakkan aturan. Siapakah manusia Indonesia yang bisa dijadikan sebagai suri teladan (uswah hasanah) dalam pengamalan Pancasila? (Adian Husaini, 15/06/2017)
Sementara itu, sejak usia dini, anak-anak Muslim sudah diajarkan adab dan akhlaq yang sangat terperinci, mencontoh Sang Teladan Abadi, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam. Sejak bangun tidur, anak-anak Muslim diajarkan “bangun tidur kuterus berdoa”, bukan “bangun tidur kuterus mandi”. Melangkah ke kamar mandi sekalipun, ada contohnya dari Sang Uswah Hasanah.
Karena ada konsep uswah dan model itulah, Islam memiliki karakter yang berbeda dengan agama-agama lain. Ritual dan nilai-nilai akhlaq Islam bersifat terperinci dan tidak berubah. Islam adalah agama yang sempurna sejak awal, dan tidak tunduk pada perubahan zaman dan budaya. [syahid/voa-islam.com]