View Full Version
Ahad, 09 Jul 2017

Dilema Kaum Muslimin Saat Idul Fitri

Oleh: Asti Marlanti, S.Pt

Saat itu, malam H+6 lebaran. Kami dalam perjalanan pulang dari Pamekasan (Madura) menuju ke Bandung. Bagi orang Madura, H+7 lebaran merupakan puncak dari lebaran Idul Fitri yang biasanya disebut Hari Raya Ketupat. Masyarakat Madura merayakannya dengan festival yg disebut Musik Daul.

Festival tersebut dilombakan di setiap Kabupaten. Dimeriahkan dengan menghias kendaraan ala kerajaan atau keraton, dihias lampu kerlap kerlip yang indah sambil diiringi musik tradisional dan shalawatan. Jalanan yang kami lewati macet, penuh dengan warga yang menyambut festival tersebut. Tua-muda, pria-wanita, hingga anak-anak dan balita memadati ibukota kabupaten untuk menyambut festival musik tersebut. Begitu meriahnya suasana saat itu.

Saya membayangkan, seperti itulah suasana hari raya ketika di zaman Rasulullah SAW dan para khalifah. Lampu-lampu dinyalakan. Di zaman Rasul, ketika belum ada listrik, di rumah-rumah, masjid dan jalan-jalan lampu-lampu yang diisi minyak pun dinyalakan untuk memeriahkan hari raya. Seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini tetap dipertahankan oleh Khilafah Bani Umayyah, bahkan lebih meriah lagi. Karena itu, kemeriahan ini bisa dilakukan oleh khilafah yang akan datang.

Khilafah bisa mengisi Hari Raya dengan berbagai hiburan yang mubah. Dengan suasana yang terang-benderang di malam harinya, baik di jalan, di masjid maupun di rumah-rumah. Saling berkunjung kepada keluarga, tetangga dan teman juga merupakan salah satu kegembiraan yang menghiasi hari raya. Saling mendoakan, “Taqabbala-Llahu minna wa minkum [Semoga Allah menerima amal kami dan Anda].” Doa-doa ini menghiasi pertemuan kaum Muslim di antara sesama mereka.

Bahkan, di zaman Khilafah ‘Abbasiyyah, istana negara telah melakukan tradisi open house. Dengan jamuan makan-makan yang bisa dinikmati oleh publik, setelah mereka kembali dari tempat shalat. Khalifah pun menjadi tuan rumah dalam open house tersebut. Ini merupakan salah satu cara yang digunakan oleh khalifah untuk mendekatkan diri dengan rakyat, sekaligus menyaring aspirasi mereka.

Begitulah Idul Fitri dirayakan oleh sebagian kaum Muslim dan begitulah Khilafah merayakan Hari Raya Idul Fitri dulu. Lantas, bagaimana dengan saat ini?? Sungguh sesuatu yang dilema. Di satu sisi kaum muslimin bersuka cita, di sisi lain harus berduka. Di belahan bumi yg satu bersuka cita dengan meriah, makanan berlimpah ruah, bertemu dengan banyak saudara. Namun di belahan bumi yang lain, tidak demikian.

Lantas bagaimana dengan kondisi negeri kita yang tercinta ini? Jawabannya sama saja. Dilema Idul Fitri pun terjadi disini. Sebagian bersuka cita karena cuek dengan negerinya, sebagian lagi bersedih dan juga waspada karena memikirkan kondisi negeri ini yang semakin carut marut. Diperparah lagi dengan rezim saat ini yang sekuler radikal, anti Islam dan represif.

Menjelang bulan yang suci para ulama dikriminalisasi dan ormas HTI yang gigih memperjuangkan Islam terancam dibubarkan. Selain itu, kasus penistaan al-Quran oleh Ahok yang diikuti oleh sejumlah kasus penghinaan terhadap Islam dan Rasulullah saw. dengan beragam bentuknya, khususnya lewat media sosial. Itulah kondisi negeri ini yang sangat ngeri bagi kaum muslimin yang beriman pada Allah swt.

Di luar negeri persoalan umat tak kalah memilukan. Di Suriah, misalnya, umat Muslim harus terus menghadapi kekejaman rezim Bashar Assad yang berkonspirasi dengan Iran, Rusia dan Cina.Di Palestina, kaum Muslim yang hampir 14 abad menjadi penduduknya, selama puluhan tahun harus tinggal di wilayah sempit Jalur Gaza dan Tepi Barat. Mereka hidup di bawah bayang-bayang kekejaman militer Israel yang tidak sungkan menembak mati anak kecil dan perempuan. Di Xinjiang, Tiongkok, kaum Muslim pun mengalami penderitaan. Mereka tidak bebas menjalankan ibadah, bahkan sudah beberapa tahun dilarang keras mengerjakan puasa Ramadhan, termasuk pada Ramadhan tahun ini.

Kondisi memilukan juga dialami umat Muslim Rohingya. Selain terusir, mereka juga dibunuh dengan cara keji seperti dibakar hidup-hidup. Kaum Muslimahnya diperkosa oleh pasukan militer dan para biksu Budha di Myanmar. Nasib Muslim di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat pun makin terancam. Gelombang opini anti-Islam semakin meningkat. Sejumlah masjid dibakar seperti di Inggris, Jerman, Bulgaria juga di Texas, AS.

Beberapa negara seperti Prancis melarang pemakaian burqa di jalan-jalan oleh para Muslimah. Bagaimana kaum muslim di Afrika..?? Menurut TEMPO.CO, New York -Badan Kemanusiaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB menjelaskan empat negara di Afrika, yakni Yaman, Somalia, Sudah Selatan, dan Nigeria, mengalami bencana kelaparan dan malnutrisi terparah di dunia. Jumlahnya mencapai 20 juta jiwa dan sebagian besar anak-anak. Bahkan ketika Ramadlan dan Idul Fitri pun mereka sedang kelaparan. Sungguh ironis..

Seandainya ada Khalifah dengan sistem kekhilafahannya, maka kondisi dalam dan luar negeri seperti ini tidak akan pernah terjadi. Kaum muslimin di lindungi bahkan tercukupi kebutuhan pangannya. Tidak akan terjadi malnutrisi dan kematian akibat kelaparan. Apalagi saat Idul Fitri, Negara Khilafah tidak akan membiarkan rakyatnya kelaparan dan bersedih. Wahai kaum muslimin di seluruh negeri. Kembalilah pada Syari'at Allah dalam bingkai Daulah Khilafah Islam. InsyaAllah kita akan damai sentosa dan sejahtera. Wallaahu a'lam bishshawab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version