View Full Version
Selasa, 18 Jul 2017

Ilusi Konstitusi, Demokrasi dan HTI

SURAT PEMBACA:

Sudah banyak tulisan beredar di sosial media tekait respon masyarakat terhadap Perppu no. 2 tahun 2017 tentang pembubaran ormas. Sudah dilakukan juga poling dari berbagai media via sosial media, dan hasilnya mengejutkan. Rata-rata 90% menolak Perppu tersebut. Bahkan ada yang menjadi ‘dagelan politik’ yaitu menghilangnya salah satu poling yang diadakan pemerintah ketika sampai di angka 64% tidak setuju terhadap Perppu. Apakah takut kalah telak? Kok tiba-tiba tidak bisa diakses.

Saya fikir wajar mayoritas tidak setuju. Banyak pasal karet disematkan pada perppu ini. Meminjam kutipan bapak Yusril Ihza Mahendra "Yang sangat mengkhawatirkan kami adalah pasal 59 ayat 4 bahwa dikatakan ormas dilarang untuk menganut, menyebarkan faham yang bertentangan dengan Pancasila," Bagi bapak Yusril pasal itu adalah pasal karet, karena penafsiran pemahaman yang bertentangan dengan pancasila berbagai macam (detik.com, 13/07/17).

Dengan kata menganut saja, pasal ini tidak hanya hendak memperkarakan aktivitas masyarakat (fisik yang nampak) tetapi juga apa-apa yang masih di dalam otak (pemikiran) yang menurut subjektif pemerintah bertentangan dengan pancasila. Ini kan berbahaya? Contoh saja HTI, dalam AD/ ARTnya dikatakan ormas ini berasaskan Islam. Namun mengapa dalam perkembangannya, melalui Perppu tersebut, ormas ini dibubarkan? Sejak kapan Islam menjadi pemahaman yang bertentangan dengan pancasila?

Dikatakan subjektif, Perppu ini hendak menghapus meja hukum. Pemerintah seolah enggan kooperatif dalam menentukan ormas tertentu layak dibubarkan atau tidak dengan meniadakan proses pengadilan. Dari pasal-pasal dalam perppu, untuk membekukan atau membubarkan sebuah ormas cukup melalui kementerian terkait. Yaitu, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM. Lucunya, untuk penjatuhan sanksi pidana tetap harus melalui pengadilan. Dan sanksi yang dijatuhkan tidak main-main minimal lima tahun dan maksimal mencapai 20 tahun atau pidana seumur hidup. Bayangkan jika satu ormas dituding telah melanggar pasal tanpa ada pembelaan hukum dan ormas tersebut memiliki 1 juta orang anggota, mau dipenjarakan kemana anggota-anggota tersebut?

Lagi, atas nama konstitusi penguasa berhak melakukan apapun yang dianggap benar meskipun secara objektif itu salah. Dan mengganggap salah meskipun secara objektif itu benar. Dahulu, atas nama konstitusi, penguasa membiarkan Timor timur lepas dari NKRI, atas nama konstitusi, penguasa membiarkan Freeport menjarah emas papua, atas nama konstitusi penguasa menjual aset-aset berharga negara kepada swasta, atas nama konstitusi penguasa menaikan harga minyak dan tarif dasar listrik, atas nama konstitusi pemerintah menarik pajak yang tinggi padahal indonesia negeri kaya sumber daya alam. Salah diagnosa, jika masih memakai konstitusi apabila ingin membungkam ormas. Itu justru akan menjadi palu godam bagi pemerintah sendiri. Terbukti masyarakat tak lagi bisa dikibuli dengan konstitusi. Alih-alih mendapat dukungan masyarakat, pemerintah justru dinilai represif kepada rakyat.

Akar masalah adalah demokrasi. Sebaik-baik frase kebebasan berbalut demokrasi, seperti kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, demokrasi sudah cacat sejak dari kelahirannya. Dengan label dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, Demokrasilah yang mengakomodir manusia untuk membuat aturan-aturan dan hukum dalam konstitusi (Aturan dan hukum yang seharusnya menjadi hak Allah Yang Maha Benar). Jadi, siapa saja rakyat yang berkuasa, atas nama demokrasi, maka dia yang berpeluang besar menentukan hukum. Meski rakyat tersebut hanya 1% dari total penduduk. Inilah ironi hukum di negara demokrasi. Inilah ilusi konstitusi. Apabila rezim ini mulai berubah menjadi rezim diktator otoriter. Maka sesungguhnya demokrasilah yang merubah itu.

HTI sudah sejak awal mengingatkan kita semua akan kebobrokan demokrasi. HTI yang dahulu diremehkan justru selalu menyeru kepada kita untuk kembali kepada sistem yang benar yaitu Islam. Sistem yang memanusiakan manusia, sistem yang meletakkan segala aturan dan hukum hanya kepada Allah Yang Maha Sempurna. HTI yang katanya anti NKRI itu yang selalu menyerukan kepada pemerintah untuk mewaspadai gerakan separatisme di Indonesia agar papua dan maluku tidak sama nasibnya dengan Timor timur.

HTI yang katanya anti pancasila itu yang justru paling keras peringatannya ketika para penguasa korupsi dan menjual aset-aset negara. Bahkan, aktivisnya terkenal santun, tak pernah terlibat korupsi apalagi narkoba dan kehidupan malam. HTI yang katanya anti kebhinekaan itu yang justru siap dengan konsep-konsep bernegara yang elegan dan anti rasis. Mereka dengan dakwah tanpa kekerasannya yang ingin menyelamatkan negara ini dengan solusi total yang tidak hanya menyelamatkan satu ras dan satu agama saja, tapi semua ras dan semua agama yang hidup di dalamnya.

Solusi itu adalah Khilafah ala min hajjin Nubuwah yang menerapkan sistem islam secara kaffah pada seluruh sendi-sendi kehidupan Sehingga Rahmatan tidak hanya pada islam atau suku arab saja, tetapi Rahmatan untuk manusia, rahmatan untuk hewan dan tanaman. Rahmatan untuk seluruh alam semesta. Wallahu’alam bisshowab.

Kiriman Alfiyah Kharomah Praktisi Kesehatan Peduli Ummat


latestnews

View Full Version