Oleh: Firdaus Bayu (Dir. Pusat Kajian Multidimensi)
Hingga hari ini, hiruk pikuk peringatan kemerdekaan Indonesia masih ramai berlangsung. Berbagai perlombaan digelar, karnaval terbujur panjang, pesta dangdut semalam suntuk, jalan sehat padat merayap. Pidato dan kobaran semangat 45 digaungkan sembari berteriak : Merdeka! Hm.. Rasanya tidak banyak yang tahu, bahwa di tengah semarak peringatan HUT negeri ini, dimana di setiap tempat kita dengar kata merdeka, sesungguhnya kita belumlah benar-benar merdeka.
Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan menyebut Per akhir Juli 2017, total utang pemerintah pusat tercatat mencapai Rp 3.779,98 triliun. Dalam sebulan, utang ini naik Rp 73,46 triliun, dibandingkan jumlah di Juni 2017 yang sebesar Rp 3.706,52 triliun. Dalam denominasi dolar AS, jumlah utang pemerintah pusat di Juli 2017 adalah US$ 283,72 miliar,naik dari posisi akhir Juni 2017 yang sebesar US$ 278,29 miliar.
Sementara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pekan lalu menyebutkan bahwa belanja negara dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 tercatat mencapai Rp 2.204,3 triliun. Dari total tersebut, pemerintah harus menyisikan untuk pembayaran bunga utang. Total bunga utang yang harus dibayar pada 2018 adalah Rp 247,6 triliun.
Coba kita amati pelan-pelan data di atas. Sudah hutang menumpuk, beban bunga turut pula menambah. Jujur saja, ini adalah kabar buruk. Beberapa waktu lalu, Sri Mulyani (Menteri Keuangan) sesumbar untuk tidak takut berhutang lantaran kita negeri kaya. Memprihatinkan, kita berteriak merdeka dalam keterjajahan. Semua ini terjadi tentu karena sistem ekonomi kapitalis yang kejam selama ini liar mencekeram. Negera dijajah lewat gurita bunga yang semakin melilit.
Malang betul Indonesia, di hari ulang tahunnya menanggung hutang yang terus bertambah. Apabila mengacu pada definisi merdeka yang tertulis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni “bebas dari perhambaan, penjajahan, dan sebagainya, atau berdiri sendiri”, rasanya kita sulit untuk merasa telah merdeka, sebab dalam praktiknya, meski secara fisik kita tidak sedang disakiti, namun dalam kehidupan ekonomi kita tetap diperbudak.
Data di atas hanyalah salah satu derita dari sudut keuangan atau hutang. Jika kita tambah dengan dimensi yang lain, akan semakin jelas keterjajahan ini. Semoga dengan kejujuran hati para pemimpin, kesungguhan juang para penyelamat bangsa, dan kesadaran penuh para pemegang kendali, Indonesia segera benar-benar merdeka dari hutang dan derita lainnya. [syahid/voa-islam.com]