View Full Version
Kamis, 31 Aug 2017

Impor Garam, Bukti Pemerintah Tak Berpihak kepada Rakyat

SALAH satu bukti ketidakberpihakan pemerintah kepada rakyat adalah upaya pemerintah membuka kran impor garam di saat petani garam tengah panen garam. Hal ini jelas merugikan petani garam karena berlimpahnya garam di dalam negeri akibat impor garam, khususnya dari Australia, menyebabkan harga garam lokal menjadi anjlok. Harga garam dari petani hanya dihargai Rp 200 perkilo. Padahal, agar biaya produksi dapat tertutupi, harga garam dari petani minimal Rp 400 perkilo. Untuk mencegah kerugian, banyak petani garam yang menahan garamnya untuk tidak dijual. (http://www.suratkabar.id)

Dengan dalih mengatasi kelangkaan dan tingginya harga garam di pasaran, Pemerintah melalui PT.Garam telah mengimpor 75 ribu ton garam dari Australia. Direncanakan pemerintah akan mengimpor pula dari India jika impor garam dari Australia tidak memadai.(http://www.rmolbabel.com)

Kebijakan impor garam yang dikeluarkan oleh pemerintah ini, tentu justru akan mematikan usaha petani garam. Alih-alih mencari penyebab kelangkaan garam di lapangan, pemerintah justru mengambil jalan pintas dengan mengimpor garam dari Australia. Padahal, Indonesia sebagai negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia dan memiliki lautan yang luas seharusnya bisa mengembangkan industri  atau produksi garam nasional, tanpa harus mengimpor dari negara lain.

Pemerintahpun belum jelas dalam menghitung berapa sebetulnya kebutuhan garam nasional dan berapa kebutuhan yang tidak tertutupi dari petani garam. Namun dengan mudahnya pemerintah langsung mengeluarkan kebijakan membuka kran impor garam daripada menggunakan anggaran yang ada untuk mengembangkan teknologi pengembangan garam sehingga kasus kelangkaan garam seharusnya bisa diantisipasi sebelumnya. Ditambah lagi dengan perusahaan-perusahaan pengimpor garam yang tidak mendukung program swasembada pangan karena mereka sudah berada di zona nyaman dengan mengimpor garam daripada mendukung program teknologi pengembangan garam.

Dengan mencermati tata kelola garam yang dilakukan pemerintah, maka jelaslah bahwa pemerintah tidak serius dalam mengelola garam dalam negeri yang berdampak pada meruginya petani-petani garam. Walaupun pemerintah mengeluarkan argumen bahwa kelangkaan garam terjadi sebagai akibat faktor cuaca, hal ini tidak bisa diterima mengingat kejadian alam ini terjadi berulang setiap tahun. Pemerintah seharusnya sudah bisa mengantisipasi hal ini dengan memindahkan pusat produksi garam nasional atau mengembangkan teknologi pengembangan garam yang tidak hanya dari sisi kuantitas bisa menutupi kebutuhan garam nasional, tetapi juga meningkatkan kualitas garam yang diproduksi petani garam agar bisa diserap oleh industri dalam negeri, bahkan diekspor ke luar negeri.

Kebijakan impor garam pemerintah sekali lagi menambah deretan kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Kebijakan impor beras, kedelai, gula pasir, bawang merah dan bawang putih adalah sebagian contoh bagaimana pemerintah lebih memilih kebijakan  impor “yang mudah dan cepat” daripada mengeluarkan anggaran untuk program swasembada pangan. Apalagi Indonesia adalah negara agraris dengan lahan yang subur yang jika pemerintah memiliki kemauan politik yang kuat, Indonesia tidak akan menjadi negara pengimpor. Sebaliknya, Indonesia akan menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhannya sendiri secara mandiri.

Semua ini tentunya tidak terlepas dari sistem neoliberalisme yang diterapkan di negeri ini yang menjadikan pemerintah hanya sebagai fasilitator dalam urusan yang menyangkut hajat hidup rakyat banyak. Tidak heran jika pemerintah “kalah” dari para pengusaha pengimpor yang lebih memilih kebijakan mengimpor daripada mendukung program swasembada pangan. Ditambah lagi dengan keterbatasan anggaran yang mendukung program swasembada pangan karena dipotong untuk membayar utang negara plus dengan bunganya yang terus bertambah tiap tahunnya.

Pemerintah seharusnya memposisikan diri sebagai "raain", yaitu pengurus urusan rakyat, yang lebih mendahulukan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan para kapitalis. Orientasi pemerintah seharusnya adalah kesejahteraan rakyatnya, termasuk didalamnya para petani garam, karena rakyat adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah SWT di akhirat kelak. Dan amanah ini tidak akan bisa terlaksana jika pemerintah masih menerapkan sistem neoliberalisme. Amanah ini hanya bisa terlaksana ketika pemerintah negeri ini menerapkan aturan yang berasal dari Allah SWT, Zat Yang Maha Menciptakan,yaitu sistem Islam.Wallaahu'alam. Thirza Yasmin Mumtaaz, tinggal di Bandung, Jawa Barat


latestnews

View Full Version